Apa yang dipikirkan Aji hari itu setelah pertemuan kak Juna dengan Rio? Banyak. Sangat banyak. Saking banyaknya dia nggak tau harus bagaimana. Setiaji yang sedari awal tahu tentang bersitegang Aji dan gerombolan kakak kelas cuma bisa diem pas Aji cerita. Kayak nggak tau harus kasih nasihat apa.
Sosok yang mengikuti Aji beberapa hari lalu muncul lagi untuk pamit dan menghilang. Mereka ketemu di rooftop kelas 11.
"Gue pergi."
"Bentar, sebelum itu, ada banyak pertanyaan yang pengen gue tanyain ke lo."
Aji menatap mata hitam Tiara, sosok itu. Hanya ada gelap, tapi rasanya ada banyak jawab di mata itu. Aji menghela napas sebentar kemudian mulai bertanya.
"Kenapa lo tulis semua yang pernah gue alami. Biar apa?"
Sosok tadi terkekeh kecil, kemudian membetulkan tali rambutnya yang sedikit melonggar.
"Karena secara nggak langsung, lo adalah gue." Tiara bilang gitu. Aji sedikit kaget. Di
***Raina bingung, sih sama penawaran yang Rio kasih. Dia harus gantiin Lia buat jadi sandra sedangkan Arjuna dan Raina pun nggak pernah ada hubungan apa apa. Atau misal dia jadi sandra, masalahnya bakal tetep sama. Lia atau Raina, Arjuna bakal tetep marah dan murka. Terus kenapa harus begitu.Raina pamit pulang setelah selesai nerima telfon. Alasan kalo ada temen kampus yang bakal main ke rumah buat ngopi tugas. Arjuna dan yang lain nggak curiga makanya Raina bisa melenggang pulang. Masalahnya apakah Raina harus dateng atau enggak. Itu ganggu pikiran dia sekarang.Raina sampai di depan rumah dan nggak tau kenapa ada orang asing di sana. Cowok, tinggi banget dan rambutnya lumayan gondrong. Berdiri bersiap mau ngetok pintu."Wait, siape lu?" khas gaya bicara Raina."Ah, sorry. Lo Raina, kan?""Iya. Raina. Kenapa?" Raina nada bicaranya agak genit. Nggak apa apa goda cowok orang walaupun keadaannya hatinya lagi bersitega
***"Sekarang apa?" Raina bilang gitu setelah semua bagian tubuhnya terikat. Hanya menyisakan perih."Nggak ada. Kita tunggu besok malem." Rio mundur beberapa langkah. Kemudian menjatuhkan diri pada sebuah sofa usang yang masih terlihat emput dengan penutup kain berwarna putih."Lama banget. Kenapa nggak malem ini aja?"Rio kelihatan agak khawatir dengan gerak mata itu. Namun sepertinya dia masih mencoba untuk tenang."Lo kasih tau Arjuna?""Ye, Babi. Lo bilang jangan kasih tau Arjuna. Ya gue nggak kasih tau dia, lah." Raina dalam keadaan apapun tetaplah Raina yang tanpa filter kalo ngomong. Padahal keadaannya lagi tegang."Emang gue bisa percaya lo?""Tunggu aja sampe besok pagi. Kalo Juna dateng, berarti gue bo'ong. Kalo dia nggak dateng, berati gue jujur.""Kenapa gue harus nurut?""Sumpah, ya. Lo gaya gaya'an doang punya otak nggak pernah di update."Rio m
***Seharusnya dingin. Tapi rasanya hangat. Laluna berjalan tenang dengan tangan sedikit melebar menyeimbangkan gerak kakinya yang lurus melewati garis kuning trotoar bagi penyandang disabilitas. Malam sudah larut dan dingin sudah menyapa tapi rasanya Aji tetap merasa hangat."Lo balik aja, Ji. Cari ojol buruan. Nanti kemaleman." Luna bilang begitu. Pada Aji yang sejujurnya masih asik menikmati hangat bersama Luna."Gue anterin sampe rumah.""Nggak usah. Nanti lo kemaleman sampenya." Luna meraih satu tas belanja miliknya kemudian bersiap melambai."Gue pengen tau rumah lo, biar besok bisa jemput."Luna terdiam begitu pula Aji. Apa terlalu kaku? Aji bukan modus, sungguh. Karena dari awal Aji mengajak Luna untuk berkunjung ke makam Zahra. Luna menerimanya dan sangat tidak gentleman jika Aji menyuruh Luna menunggu di pinggir jalan. Motor bang Banyu pasti tidak dipakai dan menganggur di rumah karena yang punya lagi sibuk.
***"Dunia nggak harus berpihak ke lo semua, Li. Gampangnya, lo nggak bisa miliki Saka, Ecan dan Arjuna secara bersamaan ketika lo punya Satria dan keluarga lo yang berharga. Ya, gue nggak menyalahkan gimana lo cemburu, tapi gue menyayangkan waktunya. Harusnya lo cari tau lebih banyak soal gue dan mereka sebelum memutuskan buat cemburu." Raina bilang gitu. Lucu, kan? Ketika Lia sedang membencinya dan berharap dia musnah dari dunia. Raina justru hadir dan menjadi orang yang menasihatinya. Padahal dialah objek yang secara tidak langsung membuat otak Lia berpikir berlebihan. Secara tidak langsung, Raina adalah orang dibalik kandasnya hubungan Lia dan Arjuna.Pagi tiba-tiba hadir. Masih dalam posisi sama. Lia mengigil namun kini sebuah jaket menyelimutinya. Entah milik siapa, namun dari wanginya, jaket itu terasa asing."Tuan putri udah bangun?" sapa seorang. Sungguh, Lia tak tau siapa dia. Wajahnya cukup asing namun sepertinya dia pernah m
***Sejak semalam Raina tidak bisa di hubungi. Padahal Arjuna mau ngambil hoodie yang tempo hari di pinjam oleh Raina. Arjuna mau nongkrong di warkop bang Lucas soalnya ada temen masa SMA nya yang baru balik dari perantauan."Masa motoran bertiga, Jun?" Ecan tanya gitu. Lebih ke nggak terima soalnya motornya ngambek dan nggak mau nyala karena dia lupa service."Ya kalo lo mau jalan kaki sampe warkop bang Lucas, silakan." Saka udah naik ke motor Arjuna. Menyisakan satu tempat kecil di jok belakang untuk Ecan tempati. Tapi cowok itu masih terlihat mikir."Udah malem. Nggak akan ada polisi. Ya nanti kalo ada lo turun dulu ngegembel." Arjuna bilang gitu. Si Ecan makin manyun. Tapi setelahnya dia tetap naik. Pegangan pada pinggang Arjuna yang otomatis membuat Saka terjepit. Tapi ketiganya malah ngakak."Kalo Raina ikut, dia bisa duduk di depan." Saka bilang gitu. Eh, Arjuna malah ketawa."Juna nggak mau beli mobil, sih." Ecan ma
***Aji baru sampai di rumah Luna sekitar jam sebelas siang. Tadi udah kasih kabar kalo dia kesiangan dan nggak mungkin langsung otewe ke rumah Luna. Alhasil janji yang tadinya pagi dirubah jadi siang. Ke makam Zahranya nanti sore sekalian. Jadi di jam sebelas sampe sebelum sore, Aji mau ngajak Luna jalan gitu.Luna udah melambai di depan gang. Aji kira dia bakal nunggu di depan rumah, ternyata enggak."Percuma semalem gue anterin lo sampe depan rumah kalo ujungnya lo berdiri di depan gang." Aji bilang gitu setelah ngulurin helm warna pink ke Luna."Pink banget warnanya.""Punya Ali, kembaran gue.""Pasti anaknya manis, imut, soft gimana gitu." Luna mengimbuhi kemudian naik ke jog motor belakang."Jangan deketin Ali, anaknya udah punya pacar." Habis bilang gitu Aji langsung tancap gas. Dia nggak denger kalimat Luna setelahnya, tapi yang pasti cewek itu seperti menggerutu.Jalan motoran
***Pernah mikir nggak, sih apa yang terjadi sama perasaan Arjuna setelah Satria, cowok yang katanya dimintai tolong sama Raina kasih kabar kalo Raina sama Lia di sandra sama komplotannya Rio. Arjuna pengen marah, tapi kalo dia marah Saka sama Ecan akan melakukan hal yang sama. Alhasil, bolak balik Arjuna cuma bisa hela napas. Yang jelas mancing perhatian beberapa orang yang masih stay di tongkrongan."Ada masalah, Jun?" tanya salah satu cowok. Juna ngangguk sambil lagi lagi hela napas. "Ngobrol, lah.""Lo habis putus?" tanya cowok lain. Yang sekarang keluar bawa gorengan satu piring hasil ganggu tidur tenangnya bang Lucas."Gue putus sama Lia udah lama."Pada terkejeod. Gimana, ya. Lia sama Juna tuh couple goals banget. Terkenal sejak mereka masih SMA. Huru haranya, sih, anak anak bakal mikir kalo Arjuna tuh pacaran sama Raina, tapi makin kesini Raina sama Juna jadi friendship goals yang love-hate relationship banget. Orang orang
***Setiyaki diem tapi dalam hati pasti memaki. Arjuna kena lemparan penggaruk kayu punya Bang Banyu dan dapet cipokan manja dari sandal jepit Ali ketika Arjuna tetap ngeyel untuk nyanyi. Namun setelah itu rumah kembali hening. Bang Banyu kembali ke habitat sedangkan Ali dan Setiyaki memilih untuk pergi. Katanya mau ke kafenya Setiaji, itung itung bantu manggang. Mas Abim juga pergi. Biasa, Mas Abim tuh sibuk banget.Bosan dalam keheningan Arjuna memutuskan naik ke kamar dan berniat terlelap. Namun sebuah pesan membuat Arjuna mengerjap. Sebuah pesan dari Lia. Dia mengirim sebuah lokasi familiar bagi Arjuna. Kemudian sebuah foto tangan seseorang yang berdarah. Tidak jelas itu tangan milik siapa, namun dari ukuran jelas itu tangan perempuan. Yang Arjuna lakukan setelahnya hanya meraih hoodie hitam dan keluar setalah mengambil kontak motor maticnya. Tanpa pamit, setelah meneruskan pesan pada Saka dan Ecan, Arjuna langsung meluncur.Panas. Bukan ha
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu