Aku sudah harus melipat perasaanku dari lembaran yang besar menjadi lipatan paling kecil, kemudian mengemasi dan menutup hatiku lalu menggenggamnya dan membawanya pergi. Luka-luka yang ikut bersama rasa yang telah kukemas, niscaya akan mewarnai kehidupan dan jadi pelajaranku di masa depan... Mungkin sebagian jadi trauma dan keraguan ketika aku akan jatuh cinta... Tapi ini jalan terakhir. Cukup sudah dihina, disakiti dan dikhianati. Telah kucoba untuk memahami sifat suamiku. Mencoba mengerti bahwa ia dalam keadaan bingung, terkejut dengan kemarahanku dan belum menata kata-katanya untuk menjelaskannya padaku. Aku mencoba memahami bahwa dia sedang dalam posisi mencoba untuk menyetarakan antara aku dan istri barunya, meski belum maksimal dan masih ada kekurangan di sana-sini. Aku mencoba untuk memahaminya. Aku tidak ingin dendam dan sakit hati tapi pertanyaan dan protes-protes atas ketidakadilannya memaksaku untuk bertanya. Aku tidak ingin mengintervensi atau menekannya tapi terkadang
Melihatku bersama Tuan Fadli, spontan kecemburuan suamiku terlihat dengan jelas di matanya, seakan ada api yang berkobar dengan cepat. Seakan ada arang yang disiram dengan bensin lalu menyembur menjadi lidah api yang sangat besar. "Kau mau kemana?" Jarak antara mobilku dan mobilnya tidak sampai 1 meter jauhnya. Melihatku bersama bosku suamiku langsung turun dari mobilnya dan mendekat dengan cepat. Melihatnya menghampiriku, aku panik mencari tuas untuk menaikkan kaca mobil namun aku gagal. "Kau mau kemana Alya!" Dia menurunkan badannya, membuat wajahnya tepat di depan wajahkum "Mau bekerja!" jawabku sekenanya. Mataku yang sembab, suaraku yang serak serta dia yang sudah terlanjur melihat koper jok belakang, langsung meradang."Kau mau kabur ya, kau mau meninggalkan suamimu ya?!" Dia tertaw, lalu berteriak yang sukses membuat pengguna jalan melihat kami. Hujan semakin deras, lelaki itu basah kuyup di luar mobil Ferrari Tuan Fadli. "Husein!! biarkan alya menenangkan diri!" Mendeng
Udara pagi berkabut dengan rintik hujan yang tak kunjung selesai, air mata ini tak berhenti tumpah meski mata menerawang memandangi jendela. Gedung dan pohon berlari seakan mengejar di belakangku sementara aku seperti kura-kura yang merangkak di posisi yang sama."Aku mohon jangan menangis, banyak konflik yang terjadi di antara suami dan istri, kuharap kau tegar menghadapi ini!""Aku sedih atas sikap suamiku dan bagaimana caranya mempermalukan kita. Juga khawatir tentang mobil Anda yang rusak, Mas." "Jangan khawatirkan mobil, aku bisa memperbaikinya. Aku lebih mengkhawatirkan tentang perasaan dan jiwamu. Seorang wanita sejatinya harus diperlakukan dengan baik dan lembut. Tapi kau mendapatkan perlakuan kasar tepat di depan mata semua orang.""Dia benar-benar emosi Mas," desahku dengan perasaan yang gamang. Ada rasa takut, khawatir dan cemas. Takut kalau dia akan mencari dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, takut dia menyebarkan berita-berita yang tidak sedap tentang aku dan
Mendengarnya mengatakan ucapan cinta aku hanya diam saja, aku tidak punya kata-kata untuk menanggapinya, sebab diperpanjang pun... obrolan terasa sakit dan hambar. "Kenapa kau diam saja Alya?""Aku hanya terkejut bahwa kau masih nyaman mengucapkan omong kosong, aku kaget tanpa malu kau mengatakan cinta pada wanita yang terus kau sakiti!""Dengar alya... Kadang kemarahan membuat seseorang gelap mata. Aku tahu persis aku mencintaimu tapi aku cemburuan telah membuatku merugi, aku menyakitimu dan aku menyakiti badanku sendiri. Tidak ada penyesalan yang lebih menyakitkan dibandingkan apa yang kurasakan sekarang. Tolong beri aku kesempatan dan beritahu aku di mana tempatmu agar aku bisa menjemputmu dan membawamu pulang.""Apa yang telah kau buat tidak akan kembali dalam bentuk yang sama. Kau telah mengusirku, merampas harta dan membuatku merasa tersisih di dalam rumahku sendiri. Kau mengambil perhiasan dan uangku juga menahan tabungan kita. Kekejaman macam apalagi yang harus kutahan?"Lu l
"keputusan Apa yang kau ambil tanpa berdiskusi lebih dahulu pada suamimu?" Seketika tangisan suamiku terhenti, matanya mendongak dan melihat padaku dengan lekat. "Aku tetap ingin berpisah. Ini jalan terbaik untuk kita.""Namun aku tetap ingin berusaha...""Tidak Mas sudah cukup! Mari kita selesaikan semua ini baik-baik dan kita bagi Apa yang harus kita bagi.""Tapi semuanya milikmu Alya, semua yang kuberikan adalah milikmu dan aku tidak akan mengambilnya kembali.""Kalau begitu aku bebas mempergunakan sesuka hatiku?""Iya.""Aku tetap memutuskan berpisah denganmu. Tentang rumah itu aku tidak tertarik lagi... Kau bisa menyimpannya untuk kau dan keluargamu, juga uang tabungan dan perhiasanku. Aku cuma minta agar kau mengembalikan surat-menyurat dan berkas-berkasku agar aku bisa menyelesaikan urusan kita.""Kenapa kau begitu keras hati Aliyah?""Dikhianati itu sakit, Mas. Daripada menyimpan luka itu terus-menerus lebih baik kita selesaikan saja."Aku bangun dari tempat duduk agar perdeb
"Bukannya tidak nyaman, saya sedikit canggung karena bos besar malah memilih duduk di meja karyawan biasa." di tengah alunan lagu dan keriuhan karyawan yang mengobrol dengan sesamanya. Suara kami timbul tenggelam tapi aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Fadli serta melihat bagaimana ia menatapku dengan binar mata yang sedikit berbeda. "Aku biasa membaur dengan semua orang jadi tenang saja," jawabnya sambil mengedipkan mata. Fiora melirik kami dan ia terlihat menahan tawa. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ada yang berbeda dengan sikap bosnya, pun aku pun memahami kalau dia memiliki kepedulian yang berbeda padaku tapi aku tidak segera menyimpulkannya sebagai perasaan cinta atau ketertarikan yang berlebihan.Anggap itu kebaikan dan kepedulian seorang bos pada bawahannya. "Sepertinya kau tidak betah di situasi yang ramai seperti ini!""Sebenarnya iya tapi Saya menghargai acara pestanya. Jadi saya akan baik-baik saja.""Mau ikut bicara di balkon denganku, kebetulan aku juga i
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H
(jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d
Demi kenyamananku dan kenyamanan keluarga, kukira aku harus segera pindah rumah. Mas Husein tahu alamat orang tuaku jadi dia bisa mencariku sewaktu-waktu. Oleh karena itu penting bagiku untuk mengamankan diri agar aku tak lagi bertemu dengannya, agar tak ada kesalahpahaman pada istrinya juga isu-isu tak sedap yang bisa dibicarakan oleh para tetangga. Pagi ini aku terbangun, dan berniat untuk membicarakan keputusanku pada ayah dan ibuku. Mereka yang seperti biasa duduk di meja makan dengan segelas kopi menatap kedatanganku yang sudah rapi, siap pergi ke kantor dan menyambut hari yang baru. "Aku berniat untuk menyewa apartemen dan pindah ayah. Kejadian semalam telah membuatku berfikir dan kurasa kita tidak nyaman kalau Mas Husen terus datang.""Kenapa kamu yang harus menyingkir dia yang harus di ultimatum untuk tidak perlu datang lagi ke sini. Jangan kamu yang menghindar dari rumah orang tuamu.""Selagi aku ada di sini dia akan terus mencari cara untuk menemuiku. Jadi pilihan terbaikn
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya ayah sambil berusaha melindungiku dan menarik tanganku dari tangannya. "Aku hanya mencari Alya, ayah!""Kenapa kamu mencari anakku, dia sudah bercerai denganmu. Kenapa kau datang ke sini, apa kau tidak takut istrimu akan curiga dan kau akan tercoreng rasa malu?""Untuk apa aku merasa malu Alya mantan istriku, dan sekalipun kami bercerai, masih mungkin untuk bisa bersama jika aku meyakinkannya untuk rujuk.""Cih, Siapa yang mau rujuk denganmu. Daripada rujuk denganmu aku lebih suka dengan kesadaran penuh menguras air laut," jawabku sambil tertawa.Dia tercengang dan menatapku dari atas ke bawah, terkejut juga dirinya melihat penampilanku yang berubah lebih modis dan anggun juga cantik dan makin sehat saja. Bahkan sekarang berat badanku naik 2 kilo hingga membuat pipiku sedikit berisi dan tidak terlalu tirus lagi. "Kau... Apa yang kau kenakan ini?" desisnya."Masuk ke dalam Alya!" Ayah memerintahkanku dengan tegas, lelaki paruh baya bertubuh
Makan malam berlangsung dengan nyaman, duduk di resto dari lantai lima sebuah gedung mewah, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang cantik dia tambah berhadapan dengan pria tampan yang kata-katanya selalu terdengar lembut dan menyenangkan, menciptakan suasana berbeda yang tidak terbeli harganya. Terlebih ia terus membuat jantungku bergetar. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai ketergantungan emosional atau pelampiasan sebab aku baru saja berpisah dari suamiku. Aku menyebut ini keberuntungan dan rezeki karena sangat jarang seorang berasal dari kalangan menengah mengenal seorang pengusaha terkenal lalu menjadi begitu dekat. Kadang aku berpikir ini hanya euforia, hanya keberuntungan sesaat atau aku terlalu terbawa perasaan sebab mengenal orang sesempurna Tuan Fadli adalah hal yang jarang bisa dirasakan oleh semua orang. Aku harus mencubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang kualami. Aku sedang memakai pakaian terbaikku, duduk menikm
Saat dia menyebut namaku ada ledakan flare warna warni di hati ini, ribuan bunga seakan jatuh dari langit membuatku tak bisa mengendalikan senyum. Tanganku seketika panas dingin dan berkeringat membuat jantung ini berdegup kencang.Lalu, aku hanya bisa tersipu malu dan menundukkan kepalaku."Aku menyukaimu, tapi tenang saja, kau jangan takut, aku tidak buru buru untuk segera melamar dan membuatmu tidak nyaman, aku tahu kau masih dalam proses menata hatimu, jadi aku akan menunggu dengan sabar."Hmm, dia pintar sekali membaca suasana hatiku, tapi buru buru pun tak masalah, aku menyukainya. "Ini mengejutkan sekali, tapi, saya menghargainya.""Apa kau bisa memberi sinyal bahwa kau akan menerima perasaanku?" tanyanya sambil menatap mataku, di lokasi parkir itu, aku rasanya ingin lari keluar dari mobil dan menghindarinya tapi aku tahu bahwa ia menunggu jawabanku. Aku ingin menjawab iya, namun aku tak mau terlihat buru buru menerima dan kesannya menjadikan dia pelarianku, mungkin saja kan,
Kupandangi diriku di depan cermin, kupandangi gamis putih yang kukenakan, juga jilbab senada, jam tangan dan bros cantik yang menampilkan presentasi diriku yang sempurna. Ya, tidaknya ini adalah penampilan terbaik yang bisa kuberikan malam ini untuk diriku sendiri. Kuraih ponselku dan kutunggu kabar dari tuan Fadli, kapan dia merapat ke rumahku dan kapan dia berdiri di depan pintu gerbang untuk membawa diri ini pada situasi makan malam yang menyenangkan."Oh dia belum memberiku kabar, kapan dia akan mulai jalan." Jujur saja aku antusias, aku belum bilang aku jatuh cinta meski jatuh cinta adalah hal manusiawi. Aku tidak akan secepat itu menilai ini sebagai hal yang membuat diriku terbang melayang. Menurut penelitian terbaru Cinta itu bukan seperti emosi yang Mudah dihilangkan, dia seperti kebutuhan fisiologis tubuh yang sama halnya dengan lapar dan haus. Ketika seseorang lapar atau haus mereka akan mencari makan dan minuman.Maka, seperti itulah cinta mendeteksi kebutuhan manusia ak
Kupandang wajahnya kupandangi dia dengan seksama hingga aku mampu meneliti betapa apa yang ia ucapkan itu adalah benar bermakna dari hati atau mungkin hanya lampiasan perasaan emosi dan kecewa. "Iya benar masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa diduakan dan itu adalah kesepakatan Kita sejak awal. Jika kau menduakanku maka aku akan pergi.""Tapi itu pembicaraan 15 tahun yang lalu saat aku dan kamu masih menggebu dan saling mencintai. Saat kau sakit dan tidak bisa memberiku anak maka keputusanmu itu opsional bisa berubah. Apakah aku salah dan harus bertahan setia padamu sementara aku tidak bisa melanjutkan keturunanku?""Kita sudah bicara banyak," jawabku sambil menutup koper, dan tersenyum manis padanya. "Kenapa kau menghindari ucapanku?""Maaf aku sudah 30 menit di sini, aku harus pulang sebelum timbul fitnah dan asumsi negatif dari para tetangga terlebih jika ini sampai ke telinga istrimu.""Tapi kau masih istriku masih status kita sedang menggantung di pengadilan.""Oh ya?""Sampai
Lalu kami pun mengurus perceraianku, seminggu berlalu setelah pertemuan dengan keluarga Mas Husein Ayah membantuku untuk memasukkan berkas ke pengadilan agama. Mendampingiku mencatatkan gugatan serta membantuku membayar biayanya. Setiap kali dia menatapku dengan sedih meski aku sendiri berusaha tersenyum di hadapannya, Ayah selalu menguatkanku, menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa semuanya akan berubah dan hari esok akan jadi baik-baik saja meski statusku sendiri."Kak, ayah akan selalu mendukungmu. Fokuslah pada impian dan kehidupanmu, bila kau sembuh kau harus bahagiakan dirimu sendiri. Berkarir dengan baik dan jadilah sukses.""Iya, ayah.""Ayah mau kau jadi lebih kuat.""Insya Allah."Sepulangnya dari pengadilan agama, aku dan ayah mampir di restoran seafood kesukaan kami, aku dan dia makan bersama dan menikmati hidangan favorit keluarga yang selalu kami beli sejak aku remaja. Kami berbincang sambil makan berdua, memikirkan rencana masa depan, apa yang akan aku lakukan den
(jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H