"Kakak! Itu Ayar–" Candra menunjuk Ayar yang berada sedikit jauh dari posisi Anila berdiri. "–dan itu kakaknya, dia berniat memarahiku sedemikian rupa, makanya aku mengadu pada kakak dan meminta kakak kemari. Untung saja kakak tadi datang tepat waktu," jelas Candra dengan nada manja, tetap memeluk erat pinggang Aldrich.
Ayar tak mau kalah. Dia ikut menghampiri Anila lantas juga memeluknya. Candra dan Ayar saling mendengus satu sama lain. Sifat anak-anak mereka masih sangat tampak walaupun di usia yang sudah delapan tahun. Itu adalah usia sifat anak SD paling imut.
"Jadi, kamu kakaknya gadis cantik ini?" Tangan Aldrich maju, mencubit pipi Ayar. Terpaut sebuah lesung pipi diwajah Ayar setelah Aldrich menarik kembali tangannya.
"Ya, apakah pria menggemaskan ini adalah pangeran kecilmu?" Anila mengikuti gaya Aldrich, menarik ke bawah topi yang digunakan Candra. Rambut tebalnya yang terlihat rapi, ikut tertarik ke bawah mata.
Candra mengaduh, lantas memben
"Bagaimana pertandingannya? Apa tangannya masih terasa sakit jika untuk bermain?" Aldrich berhenti berpikir, "Oh, tidak. Tentu tidak, tadi pertandingan berlangsung baik–" melanjutkan perkataannya dalam batin, "–apalagi setelah kamu ikut duduk menontonnya," Aldrich tersenyum tipis. "Itu akan menjadi pertandingan yang baik dari yang terbaik" sambungnya lagi. "Kamu memang pemain basket yang handal. Wajar saja jika tadi kamu menang. Apalagi Smart Insani memang terkenal tidak terkalahkan." Anila berlanjut menyeruput minumannya. Saat Anila hendak mendekatkan sedotan ke bibirnya. Anila merasakan jari telunjuk nya sudah tidak nampak. Iya, mungkin akan baik-baik saja saat Anila menatapnya, tidak untuk orang lain. Jarinya sudah tidak berfungsi, seperti menghilang atau dipotong, tidak berwujud. Anila meng-hah kaget. Buru-buru ia menurunkan tangannya."Selalu saja, mengapa yang menghilang tangannya lebih dulu!" "Kenapa?" Adrich langsung m
Setelah tiga hari kemarin, Aldrich untuk pertama kalinya merasa penasaran terhadap seorang wanita. Sebelumnya, Aldrich sangat tak acuh pada hal-hal semacam itu. Sebenarnya, tidak serta-merta Aldrich penasaran kepada Anila karena parasnya. Aldrich lebih terfokus akan hal aneh yang terjadi, dan Anila menolak untuk menjelaskannya. Aldrich melihat Anila jalan kaki berangkat ke sekolah. Sengaja, Ia membiarkan Anila berjalan tanpa menawarkan tumpangan kepadanya. Aldrich mendahuluinya cepat, mengegas penuh kecepatannya. Anila yang sedang berjalan santai, wajahnya tampak murung hari ini, ia melihat Aldrich melintas, kebut. "Tumben," gumam Anila singkat, mood-nya sedang tidak baik hari ini. Tit Tit Tit!Jam Anila berbunyi menandakan sudah pukul delapan pagi. "Oh, Tidak! Ini sudah siang!" Anila berlari kencang, tanpa terkendali mengaktifkan kekuatan superspeednya supaya cepat sampai. Wussh!Secepat angin Anila melintasi kota. Hingg
"Aku manusia biasa. Apa yang kau tanyakan ini? Ada apa? Apa ada masalah? E-e... Ini sudah malam, mari kita pulang saja." Anila berdiri, niat hatinya hendak menjauhi pria di depannya itu. Dia lupa sekarang berada di mana. Kincir angin kembali naik ke atas.Gerakan kasar peralihan posisinya membuat tumpuan berdiri Anila rubuh. Tubuh Anila terdorong ke arah Aldrich duduk. Tangannya berusaha menopang wajahnya agar tidak menyatu dengan wajah Aldrich. Matanya tidak bisa mengelak, bola mata mereka saling menatap tajam satu sama lain. Hanya saja, ketajaman mata Anila tampak sangat khawatir. Aldrich seperti menyihir Anila,"Apa 3A itu?" Anila lantas tersadar, terburu-buru untuk membenahi posisinya, kembali duduk. "Ba-gai mana kau bisa tahu tentang itu?" Anila mengigiti bibirnya, merasa ketakutan. "Apa yang diinginkan Aldrich? Siapa dia? Bukankah dia orang yang baik?" Beribu pertanyaan menyelimuti wajah cemas Anila. Aldrich mengelu
"Baiklah, Pak saya akan segera menyelesaikan ceritanya minggu ini." "Iya, Pak, segera saya tamatkan. Terima kasih, bapak... Iya." Terdengar sebuah percakapan telepon pagi itu. "Apanya, Kak, yang mau kita diakhiri?" Ayar bertanya pada kakaknya, Anala. Yang barusan menutup teleponnya. "Udah diem! Anak kecil ga usah kepo!" Ayar memanyunkan bibirnya.Anila datang dari kamarnya, telah siap untuk berangkat ke sekolah.Wajahnya menunjukkan rasa sebal terhadap perilaku Anala. Hal itu harus dilihatnya, setiap hari. Meja makan telah siap. Ibunya kembali datang membawa persajian terakhir. "Kamu hari ini yang antar Ayar, Nay. Gue ada urusan, pulangnya paling nanti malam atau pagi," ucap Anala. "Mau kemana, Na?" sahut Ibunya, bertanya. "Mau jemput bos, Bu. Di bandara, barusan pulang dari luar kota. Kaya gitu aja ya... katanya cuma pengen di jemput aku, iih..." jawab Anala dengan nada bicaranya yang khas menyebalk
"Ada apa?" jawab Anila pada telepon yang berdering malam itu. "Segera ke rumah sakit. Kakakmu di sini," ucap seorang pria dari jaringan telepon seberang. "Aku tidak perduli. Mau dia mati juga aku tidak perduli! Huh!" Dengan susah payah Anila mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Sebenarnya hatinya sangat khawatir. Bahkan, matanya pun sudah berkaca-kaca. Di seberang sana, ternyata Aldrich yang menemani Anala terbaring. Saat Aldrich hendak memarahi Anila, memaksanya datang Anala menggeleng lembut. Menghentikan Aldrich, matanya menunjukkan ketidakmampuannya untuk menangis.Dia adalah wanita yang hampir tidak pernah tampak sedih atau murung sedikit pun. Aldrich menurunkan ponselnya dari telinganya. Menatap Anala lamat-lamat. "Kenapa?" "Jika dia tidak mau datang, tidak usah. Biarkan." Nada suara Anala terdengar berbeda dari biasanya. Aldrich berusaha ikut tersenyum, lantas menariknya kembali. "Tapi dia harus dat
Aldrich masih terus mempertahankan skor teamnya yang lebih unggul dari team Alegars High School. Kapten Alegars semakin lama, geram dengan kesombongan team Aldrich. Ia memberikan kode ke satu anggotanya, satunya meneruskan kode ke anggota satunya. Begitu terus, hingga Aldrich yang sedang menggiring bola dikepung oleh empat orang di depannya, menghadang masuknya bola. Dua orang di belakangnya. Saat Aldrich mulai melemparkan bolanya. Salah seorang dari mereka meloncat, menangkap bola itu, dan membawanya berlari sembari sengaja menyandung kaki Aldrich. Aldrich mendesis pelan. Penjagaan ring milik teamnya lemah. Bola berhasil dimasukkan. "Yeee! Yas! Yas!" Teriakan senang team Alegars mengudara. "Pertandingan semakin sengit. Akhirnya, kini team Alegars High School dapat menyusul team Smart Insani High School. Ini pertama kalinya dalam sejarah, kedua team mampu bersaing dalam skor seimbang..." seru pemandu acara. "Ini babak ter
⊱ ──ஓ Welcome toThe World Of Book Magic ࿐ ஓ ── ⊰ Panggilan Aldrich sama sekali tidak terdengar oleh Anila. "Anila, tunggu!" Anila berjalan secepat kilat, membuat Aldrich kehilangan jejak. Tidak sempat Aldrich berdecak kagum atas keindahan alam buku.Pikirannya sekarang fokus, kemana dia harus pergi mencari Anila? Dia berada di mana, dan harus berbuat apa? "Nenek! Nenek! Bukakan pintunya," teriak Anila. "KAK ANILA!" Baku dan Takbaku langsung bangkit dari keasyikan mereka, menyadari suara yang berseru itu milik kakak cantik yang sangat mereka kagumi. Pintu dibuka, Anila tidak menghirau hadirnya kedua anak kembar itu. Padahal, mereka sudah siap untuk dipeluk. Hampa, Anila kembali mengusap air matanya, dan terus berjalan masuk. "Neneekk...." Anila bersimpuh, meluapkan tangisannya. "Ouh, cucuku sayang.... Ada apa, Nak?" Nenek mengusap rambut Anila, lembut. "Apa semuanya baik-baik saj
Dengan kekuatan superspeed dan menghilangnya, tidak perlu waktu lama bagi Anila untuk sampai di kerajaan Ratu Angin. Anila tiba-tiba hadir, berdiri tegak di depan Penjaga Angin yang sedang melindungi istana. Penjaga angin tertegun sebentar. Lantas bertanya,"Siapa kau?! Mengapa engkau terlihat ganjil?" Anila telah melupakan sesuatu. Bagaimana bisa? Dia lupa belum mengganti pakaian. "Sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya," selidik sang Penjaga. "Dia manusia!" teriak penjaga lainnya. Mereka langsung melancarkan serangan angin kepada Anila. Anila yang merasakan akan hadirnya serangan itu. Tubuhnya secara refleks bergeser-geser dengan cepat. "Hentikan! Aku hanya ingin menemui Ratu angin!" ucap Anila, sembari terus menghindar. Penjaga itu tidak acuh sama sekali, mereka justru menambah terus kekuatan serangannya. "Aku bilang hentikan! hentikan!" pekik Anila yang semakin kewalahan menghinda
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida