Raline dalam kegamangan. Sejak kedatangan wanita muda itu ke rumahnya, Raline mulai ragu. Bukan ragu pada Hamid. Tetapi, ia ragu pada dirinya sendiri. Raline merasa trauma akan perselingkuhan itu membayangi kehidupan rumah tangganya dengan Hamid.
"Ya Rabb, bantu aku. Yakinkan hatiku, jika Hamid berbeda dengan Galih. Jika Hamid, pria yang akan menjadi jodoh terbaik dari-Mu."Raline terpaku hingga tidak menyadari ada seseorang yang datang dan berniat jahat padanya. Dari arah belakang, tiba-tiba ada seseorang memakai jubah hitam memukulnya hingga jatuh pingsan.Orang itupun langsung membawa Raline menggunakan ranjang rumah sakit ke sebuah lorong yang menuju pintu keluar. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 23.55. Sudah sangat sepi dan itu memudahkannya membawa Raline dengan aman."Pak, pesan kopi 2 ya."Hamid berada di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari rumah sakit. Setelah mendapatkan kopinya, ia pun kembaliHamid tidak kenal lelah. Ia terus mencari keberadaan mobil yang membawa Raline tengah malam itu dari rumah sakit. Sejak pagi, ia mengelilingi ibukota tidak lelah. Hingga akhirnya, pukul 16.45, seorang kawannya memberikan info jika mobil yang diduga membawa Raline itu berada di sebuah gudang tua. Gudang yang berada di sekitar pelabuhan kapal.[Hamid, tolong kamu segera datang ke gudang dekat pelabuhan Tanjung Priok. Aku share lokasinya. Kamu segera ke sini ya.][Ok.]Setelah Hamid mendapatkan lokasi di mana Raline kemungkinan berada, Hamid pun bingung. Karena lokasinya sangat dekat dengan gedung miliknya. Gedung itu dijadikan tempat untuk pengiriman barang-barangnya dari dan ke Jepang."Loh, ini kan? Jika benar, ini pasti kerjaan Lexy. Karena hanya aku dan Lexy yang bisa memberikan perintah untuk membuka gedung itu."Hamid pun langsung bergegas menuju lokasi gudang penyimpanan itu. Ia yakin, Lexy ada
Andre dalam sebuah dilema. Ia memang sangat mencintai Raline. Tetapi, merebutnya dengan cara culas dari Hamid, itu juga bukan pilihan yang baik. Hubungan persahabatannya dengan Raline yang terjalin lama bisa saja hancur berantakan."Kita boleh mencintai. Tetapi, cinta nggak harus mencintai. Jika mereka bahagia, kita juga harus bahagia."Kata-kata itu kembali terngiang. Sisil yang juga sangat mencintai Hamid, bisa merelakan ia bahagia bersama Raline. Bahkan berkat Sisil, Raline bisa membuka hatinya kembali untuk Hamid."Nggak. Aku nggak boleh mengkhianati Raline. Hamid adalah lelaki terbaik yang bisa membahagiakan Raline," batin Andre."Kamu ini kan adiknya Hamid. Kenapa kamu bisa sejahat ini? Menghancurkan kebahagiaan Kakakmu sendiri?"cecar Andre.Lexy tersenyum sinis"Dia memang Kakakku. Tetapi, dia sudah merebut semua yang seharusnya menjadi milikku," jawab Lexy."Maksudmu?"
Raline yang mencurigai Hamid malam itu akhirnya mengikutinya. Saat bersamaan, Dion pun datang untuk membawakan hadiah dari Galih untuk putra kesayangannya."Raline, kamu mau ke mana?" tanya Dion. saat melihat Raline jalan terburu-buru."Mas, aku mau ngikutin Hamid. Dari tadi gelagatnya aneh. Kamu masuk aja ya, ada Sisil di dalam," sahut Raline yang langsung bergegas pergi.Karena takut terjadi sesuatu, Dion pun mengikuti Raline. Saat sudah bisa menyusul wanita itu, Dion pun meminta Raline naik ke atas motornya. Raline pun ikut bersama Dion."Tunggu!"teriak Raline.Semua mata pun tertuju pada Raline yang berjalan cepat menghampiri Hamid yang terkapar di lantai. Raline pun menatap Lexy dengan sorot mata tajam. Lexy pun menunduk. Bukan pertemuan seperti ini yang diinginkan Lexy saat bertemu kembali dengan Raline."Raline ....""Lexy, apa yang kamu lakukan pada Hamid? Apa salah dia?" pekik
Bahagianya Hamid begitu terpancar jelas saat ia sudah resmi menjadi suami Raline. Wanita yang dicintainya sejak di bangku sekolah dulu."Aku bahagia banget, akhirnya kita bisa mewujudkan impian kita dulu. Kamu bahagia nggak, Sayang?" tanya Hamid sambil menggendong Austin di atas pelaminan."Bahagia, Mas. Nggak nyangka banget ya, akhirnya kita bisa menikah dan alhamdulilah akhirnya kedua orang tua kamu mau merestui hubungan kita," ucap Raline berusaha tersenyum."Tapi ....""Kenapa, Sayang? Kok wajah kamu jadi sedih. Ada apa? Cerita sama aku," tanya Hamid."Sisil ke mana? Kenapa dia nggak datang, Mas?" tanya Raline dengan wajah sedih."Eh iya ya. Ke mana ya? Apa dia ada sesuatu?" sahut Hamid. Hamid pun langsung mengambil ponsel di sakunya dan memanggil nomor Sisil. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari sahabat baiknya dan Raline itu. "Gimana, Mas?" tanya Raline. Hamid han
Sisil memulai hidupnya yang baru di Amerika. Berkumpul dengan keluarganya membuat ia sedikit melupakan rasa sakitnya. Luka hatinya yang ia pendam sendiri. Namun, ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan.Bayangan tentang Hamid. Tentang persahabatannya dengan Raline, membuat ia merindukan semua itu. Terlebih, ia belum punya kesibukan yang berarti.Seorang kawan lama Sisil saat kuliah di LA pun datang ke rumahnya saat tahu jika Sisil sudah kembali ke New York. Demi bertemu sahabat lamanya, ia rela menempuh perjalanan jauh hingga akhirnya sampai di depan rumah Sisil.Sisil yang tidak mengetahui kedatangan Zayn malam itu dibuat terkejut saat ia membuka pintu dan melihat pria tampan yang dulu sempat menaruh hati padanya itu kini sudah berdiri tegak di hadapannya."Zayn?""Zayn, is it really you?""Yes, it's me.Your most handsome friend."Keduanya pun tertawa. Raline pun mengajak sahabat bu
Andre datang tepat pada waktunya. Pria yang selalu menjadi garda terdepan untuk Raline itu mempunyai firasat tidak baik saat bertemu Raline di sebuah pusat perbelanjaan dan mengatakan jika Austin dititipkan di rumah Galih."Ternyata dugaan aku betul kan? Kalian ya, masih aja belum taubat. Belum puas ya menyakiti Raline? Menyakiti keluargaku? Sekarang, kalian mau menyakiti Austin dengan memisahkan dia dengan Ibu kandungnya?" hardik Andre."Andre, ini nggak seperti dugaan kamu. A-aku ....""Kamu bilang tidak seperti dugaanku?Waw! Terus untuk apa kalian bawa tas besar juga koper? Dan sudah ada taksi di depan. Aku juga sudah tanya kok. Kalian menuju bandara kan?" pekik Andre.Galih dan Nyonya Amira hanya diam tertunduk."Andre su—""Maaf, apa jadi pergi ke bandaranya?" tanya supir taksi yang menunggu terlalu lama."Maaf, Pak. Berangkatnya batal ya. Ini ambil aja tip karena Bapak sudah lama
Netra Hamid terbelalak saat membuka pintu kamar Galih dan melihatnya sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Tidak ada luka atau apapun yang mencurigakan hingga membuatnya pingsan."Ya Allah, Galih. Galih, kamu kenapa, Nak?" ucap Nyonya Amira beristighfar melihat anaknya pingsan sesaat setelah Hamid berteriak memanggilnya dan Raline."Mas, kita bawa ke rumah sakit aja gimana?" tanya Raline dengan wajah panik."Kenapa Raline panik itu ya? Apa dia ...." gumam Hamid dalam hatinya."Mas!" teriak Raline menyadarkan Hamid dari lamunannya."Iya, kita bawa aja. Kalian langsung ke mobil ya. Biar aku langsung bawa Galih."Hamid pun langsung menggotong tubuh Galih dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia pun langsung tancap Gas menuju rumah sakit terdekat.Di dalam perjalanan, Raline pun terus menenangkan Nyonya Amira agar lebih banyak berdoa. Isak tangisnya membuat Austin pun ketakutan hingga
Sisil dalam kegamangan. Ia memang mulai merasakan kenyamanan saat bersama Zayn. Ia juga tidak bisa berjauhan dengan pria teman bisnisnya di Amerika itu. Tetapi, untuk merasakan sebuah cinta seperti saat ia bersama Hamid, itu belum dirasakannya."Ingat, Sil. Menikah tanpa cinta, akan membuat hidup kamu menderita. Pikirkan baik-baik. Jangan sampai kamu salah melangkah," ucap sang Mami mengingatkannya.Sisil akhirnya melakukan istikarah. Berhari-hari ia dekatkan dirinya pada Rabb-Nya dan menjaga jarak dengan Zayn. Hingga akhirnya, sebuah keputusan diambilnya. Sisil pun mantap mengambil keputusan ini. Sore itu, Sisil pun menghubungi Zayn dan memintanya bertemu malam ini di sebuah cafe. Zayn pun akhirnya menyetujuinya. Inilah hal yang sudah ditunggunya beberapa hari. Rasa cemas, takut mulai membayanginya.Sekitar pukul 19.45, Zayn pun sampai lebih dulu di cafe tempat ia dan Sisil janji bertemu. 30 menit berlalu, Sisil belum juga na
Hari itu Lexy pun menyiapkan semuanya. Setelah semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lalu pada Raline dan Hamid, Lexy ingin menebusnya dengan membahagiakan kedua kakaknya malam ini.[Mas, nanti kamu sama Raline datang sama Austin ke Cafe D'cante jam 20.00 ya. Aku tunggu.]Setelah mengirimkan pesan ke nomor Hamid, Lexy pun melanjutkan semua persiapan agar tampil sempurna. Surprise malam ini, dia persembahkan tepat di hari anniversary Raline dan Hamid.Beberapa jam berlaluMobil yang dikendarai Hamid pun sampai di pelataran cafe mewah itu. Raline pun sudah turun dan duduk di atas kursi rodanya, ditemani oleh Austin."Mas, kamu saja yang masuk ya. Aku menunggu di mobil saja," ungkap Raline yang merasa tidak percaya diri sejak duduk di atas kursi rodanya."Sayang, kamu nggak boleh gitu. Kasihan dong sama Lexy, dia undang kita berdua, bukan hanya aku kan?!" bujuk Hamid. Raline akhirnya setuju d
Sejak Hamid memutuskan kembali ke Indonesia, praktis Lexy maupun kedua orang tuanya tidak pernah lagi bertemu dengan putra sulung kebanggan Tuan Amran.Masa-masa yang pernah dirasakan Lexy bersama Hamid dulu menorehkan banyak kenangan. Tanpa sepengetahuan sang Mami, Lexy pun berangkat ke Jakarta untuk memberi surprise untuk kakak dan kakak iparnya itu."Lexy, berapa lama kamu di Singapura?" tanya Marissa saat mengantar putra kesayangannya itu di bandara."Mungkin satu atau dua Minggu, Mi. Ya kalau udah selesai secepatnya aku pasti pulang. Mami sama Papi jangan terlalu capek ya," pesan Lexy.Setelah mendengar informasi akan keberangkatan pesawat, Lexy pun berpamitan pada kedua orang tuanya. Langkahnya pun cepat menaiki tangga pesawat."Maafkan aku, Mi. Aku terpaksa berbohong. Tapi, aku sudah merindukan Mas Hamid. Aku harus memberikan ini langsung padanya. Ini haknya. Bukan milikku," gumam Lexy dalam hatinya.
Sisil dalam sebuah dilema. Persahabatannya dengan Raline sedang dipertaruhkan. Rumah tangganya dengan Zayn pun bisa goyah jika ia jujur tentang perasaannya.Sisil mencintai Hamid, ya itu memang benar. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sisil pun sudah mengikhlaskan semuanya. Baginya, persahabatannya dengan Hamid dan Raline jauh lebih berharga dari rasa cintanya."Katakan yang sebenarnya Sisil. Kenapa kamu diam?!" cecar Dion.Zayn dan Hamid menatapnya tajam. Raline pun menunggu jawaban dari pertanyaannya. Namun, akhirnya Sisil memilih jujur tentang semuanya."Oke, aku akan jujur tentang semuanya," ungkap Sisil memulai pembicaraan."Dion benar. Aku memang mencintai Hamid. Tapi itu dulu. Sekarang aku hanya mencintai Zayn, dia suamiku.""Perlu kalian tahu, jauh sebelum aku menikahi Zayn, aku sudah mengikhlaskan Raline dan Hamid menikah. Karena aku tahu,mereka saling mencintai dan aku ingin melihat Raline bah
Andre yang terkejut dengan kedatangan Dion dan Nyonya Amira pun langsung menarik paksa keduanya keluar dari ruangan. Andre tidak ingin semua rencana yang sudah disusunnya dengan rapih jadi berantakan."Mau apa kalian ke sini?" pekik Andre saat menarik Dion kasar ke teras rumah. Menjauh dari perkumpulan sahabatnya."Lepaskan tanganku, Andre!" bentak Dion."Ingat, Andre. Aku ini Kakakmu!" hardiknya yang langsung hendak memukul Andre tapi dicegah Nyonya Amira."Stop! Jangan kayak anak kecil kalian!" bentak Amira.Kedua kakak beradik itu hanya terdiam saat ibu tirinya memisahkan pertengkaran itu. Sesungguhnya Amira hanya memanfaatkan Dion dan Andre demi dendamnya pada Raline."Kita di sini satu team. Nggak seharusnya kalian berdua ribut begini Nanti kalau mereka dengar, gimana?" bentak Nyonya Amira."Andre, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Amira berbisik Andre pun berbi
Hamid yang tidak ingin kembali ada pertengkaran dengan kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah pamitan dengan sang Papi yang selama ini sudah begitu menyayanginya, Hamid pun tetap berusaha menghormati Maminya."Nggak usah. Lebih cepat kamu pergi, itu lebih baik!" ketus Nyonya Marissa saat Hamid hendak mencium tangannya dengan takjim.Tuan Amran pun menegur istrinya itu tapi Marissa tak perduli. Ia tetap dengan kekerasannya. Tuan Amran pun menggendong Austin dan mencium kening anak lelaki Raline yang sudah dianggapnya cucu itu. Tuan Amran pun mencium kening Raline. Pelukan hangat orang tua yang dirindukannya itu kini didapat Raline. Andre pun begitu haru menyaksikan kebahagiaan Raline, walau hanya sesaat.Saat hendak beranjak meninggalkan rumah mewah itu, tiba-tiba suara teriakan pria yang memanggil nama Hamid dengan keras membuat langkah Hamid terhenti."Tunggu, Hamid!" panggil Lexy.Hamid pun
Marissa tetap dengan keputusannya. Ia menekan suaminya untuk memilih antara ia dan Lexy ataukah memilih mempertahankan Hamid dan Raline. Cara jitu Marissa seperti berhasil. Ia tahu bagaimana karakter Hamid yang diurusnya sejak kecil."Mami, Papi, dengarkan aku," cegah Hamid saat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Lexy pun hanya diam mengamati."Kalian nggak perlu bertengkar, aku yang akan mengalah. Aku dan Raline akan segera meninggalkan semua ini. Termasuk rumah ini. Aku akan memulai hidup baru bersama Raline," ucap Hamid tegas."Tidak, Hamid!" sergah Tuan Amran."Maaf, Pi. Kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Papi. Aku akan tetap pergi. Semua demi kebaikan kita semua," jawab Hamid lugas."Baguslah," sahut Marissa tersenyum sinis.Hamid tetap dengan keputusannya walau Tuan Amran terus mendesaknya dengan berbagai cara. Hamid tidak ingin ia dan Raline menjadi penyebab kehancuran rumah tangga o
Raline akhirnya kembali ke rumahnya. Wanita yang dinyatakan tim dokter sudah mengalami cacat permanen dengan semangat dari sang suami yang begitu mencintainya pun memasuki rumah megahnya.Walau matanya kini tak dapat melihat bagaimana Hamid menata dengan rapih rumah itu demi menyambut kepulangannya, Raline dapat merasakan wangi harum bunga Rose kesukaannya."Mas, kamu taruh bunga Rose ya di ruangan ini?" tanya Raline dengan wajah tersenyum di atas kursi rodanya."Iya, Sayang. Ini kan bunga kesukaan kamu," jawab Hamid mengenggam tangan Raline. Hamid pun berlutut dihadapan istrinya itu.Nyonya Marissa dan Tuan Amran yang ikut mengantar kepulangan Raline pun akhirnya duduk di sofa berwarna keemasan itu menatap anak dan menantunya yang memasuki kamar utama.mi"Sayang, kamu istirahat dulu ya. Aku temani Mami sama Papi dulu. Nggak enak kalau ditinggal," pamit Hamid. Raline pun memutuskan beristirahat di ranjang empuk i
Hamid akhirnya bisa tersenyum bahagia ketika sang dokter menyatakan kesembuhan Raline. Raline kini sudah sadar. Namun, kebahagiaan Hamid hanya sesaat. Seketika wajahnya kembali sendu saat mendengar pernyataan dokter yang lainnya."Maaf, tapi kami juga punya kabar buruk untuk anda," ucap dokter Tanaka."Ada apa, Dok?" sahut Hamid."Istri anda memang sudah dinyatakan sadar dari komanya tapi ada hal lain. Raline mengalami kelumpuhan dan matanya buta," ucap sang dokter dengan berat hati.Hamid yang syok tak bisa berkata apapun. Kakinya seperti tak bisa berpijak lagi. Nyonya Marissa pun membantu putra angkatnya itu duduk di sebuah kursi. Marissa pun mempertanyakan kemungkinan Raline kembali normal."Apa dia bisa kembali normal?" tanya Marissa."Kemungkinan Raline sembuh seperti sediakala sangat tipis," terang dokter Tanaka."Ada apa ini?" celetuk Tuan Amran yang baru saja datang karena men
Hamid sedikit bernapas lega pada akhirnya Austin dinyatakan sudah membaik dan diijinkan dibawa pulang. Namun, karena kondisi Raline yang belum mengalami perubahan, ia memilih Austin tinggal bersamanya menemani Raline di kamar VVIP."Hamid, apa sebaiknya Austin di rumah papi aja? Kasian kan dia harus di rumah sakit," ujar Pak Amran menawari Hamid agar Austin berada dalam perawatannya."Pi, maksudnya apa sih?" celetuk Marissa ketus. Hamid pun menyadari ketidaksukaan ibu angkatnya itu."Ya nggak apa-apa kan? Bisa untuk teman Mami," ledek Amran tertawa."Nggak usahlah, Pi. Biar Austin sama Hamid di sini. Kasihan dia, takutnya cari Raline," ujar Hamid menengahi.Setelah kedua orang tua Hamid itu pulang, Hamid pun kembali ke kamar Raline dan membujuk Austin yang menangis karena Mamanya yang hanya diam tidak bereaksi ketika diajak bermain.****Hari ini Andre mulai memainkan per