“Kenapa enggak ibu aja yang nemanin ke resepsinya Nasya, Ry?” tanyaku. Saat ini kami semua sedang berada di Bandung.Ibu menyetujui ajakan Fahry mengajak kami berlibur ke Bandung, maka sejak kemarin pagi kami sudah berada di kota kembang ini. Fahry bahkan sudah mengajak kami jalan-jalan tadi siang. Ia juga membelikan gamis mewah untukku dan ibu di sebuah butik terkenal. Kulihat Fahry pun sangat menikmati liburan kali ini. Mungkin karena ia memang sedang cuti bekerja, meskipun sesekali kulihat gawainya berdering kemudian terlibat pembicaraan serius mengenai pekerjaannya. Fahry juga sangat senang mendorong stroller Khanza sambil sesekali membetulkan letak bando mungil Khanza yang selalu saja turun menutupi matanya.Ia pun dengan gesit akan segera meraih Khanza dari dalam keretanya lalu menyerahkan bayi itu padaku ketika Khanza menangis karena kehausan.“Yaaa ... jangan bareng ibu dong, Mbak. Maunya bareng Mbak Tania. Lagian ibu juga diundang kok, hanya saja ibu memilih enggak hadir dan
“Aku serius, Mbak. Kalau Mbak Tania mau, aku akan segera melamar Mbak Tania pada Pak Edi dan Bu Ratih.” Ia menyebut nama kedua orangtuaku.“Ck!” Aku berdecak kesal, dan baru menyadari jika saat ini Fahry sudah menepikan mobilnya.“Kenapa berhenti?” tanyaku.“Karena hanya ini kesempatanku bisa bicara empat mata dengan Mbak Tania. Aku tau Mbak selalu menghindariku kalau di rumah.”“Kamu mau ngomong apa?”“Aku serius ingin meminang Mbak Tania. Kalau kata orang istilahnya itu turun ranjang.”Aku menghela napasku. Aku memang pernah mendengar istilah semacam itu.“Aku belum bisa membuka hati untuk orang lain, Ry. Siapa pun itu. Aku masih ingin seperti ini, bagiku Mas Farhan masih tetap hidup didalam hatiku, di dalam diri Khanza.”“Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan Mbak Tania menutup hati untuk pria lain. Meski bukan denganku, tapi Mbak Tania tetap memerlukan pendamping. Mbak masih muda dan cantik.”“Entahlah, Ry. Kakakmu telah berhasil mengisi penuh hatiku, tak menyisakan tempat lagi untuk d
“Fahry!” pekikku tertahan ketika melihat siapa yang sedang duduk di ruang tamu di rumah orangtuaku. Aku sendiri sama sekali tak memperhatikan apakah di depan tadi ada mobilnya parkir karena fokus memastikan barang-barang Khanza lengkap diturunkan dari mobil ayahku yang dikendarai Nilam saat menjemputku dan Khanza.“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku curiga.“Eh ... sama tamu kok gitu, Nak?” tegur ibuku sambil meraih Khanza dari gendonganku.“Tamu?” Aku menggaruk-garuk kepalaku. Entahlah! Mungkin di sini Fahry memang tamu karena ini adalah rumah orangtuaku. Sedangkan di rumah ibu mertuaku, ia justru pemilik rumah.“Duduklah, Nak. Ada yang ingin Nak Fahry bicarakan,” ajak ayahku. Aku sudah bisa menebak akan ke mana arah pembicaraan ini.Akhirnya percakapan kami pun bermuara pada niat Fahry untuk menikahiku. Maka saat ini ia sedang meminangku pada ayah dan ibuku.“Ibu tau kamu ke sini, Ry?” tanyaku.“Iya, Mbak. Aku sudah mengantongi restu ibu, makanya memberanikan diri datang ke sini.”Aku m
“Kuantar pulang, ya, Mbak.” Kini kami berdua sudah berjalan keluar dari area pemakaman umum.“Mbak tadi pakai motor Nilam, Ry.”Ia mengangguk mengerti.“Oiya, Mbak dan Khanza kapan pulang? Ibu sudah nanyain, katanya udah kangen kalian.”Aku memang masih menginap di rumah orangtuaku, setelah dijemput Nilam kemarin.“Mungkin besok aku minta antar Nilam, Ry.”“Enggak usah, Mbak. Nanti biar aku yang jemput Mbak Tania dan Khanza.”“Jangan, Ry. Kamu kan sibuk dengan perkerjaanmu. Biar Nilam yang antar.”Nilam adikku memang mahir menyetir mobil, tidak sepertiku yang hanya bisa mengendarai motor.“Pokoknya besok Fahry yang jemput, Mbak.”Aku tak menjawabnya lagi. Lalu kemudian kami berpisah, aku berjalan ke arah motorku sedangkan Fahry menuju ke arah mobilnya. Namun ternyata ia mengikutiku sepanjang jalan, aku bisa melihat dari spion motorku mobilnya terus mengiringiku dari belakang. Hingga tiba di depan rumahku dan menghentikan motorku. Kubuka helmku saat mobil Fahry sejajar dengan motorku,
Fahry menuntunku ke arah kamarnya di malam hari setelah suasana rumah sudah sepi. Hanya ada beberapa kerabat ibu yang datang dari luar kota yang masih menginap di rumah kami. Keluarga besarku sendiri sudah pulang sejak sore tadi.Aku masih melirik sekilas ke arah pintu kamarku dan Mas Farhan sebelum mengikuti langkah Fahry ke dalam kamarnya. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar Fahry, kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamarnya. Ukuran dan bentuk kamarnya sama persis dengan kamarku dan Mas Farhan. Hanya saja kamar ini terlihat lebih maskulin dengan cat abu-abu, sedangkan kamarku hanya dicat putih.Tak ada hiasan apa pun di kamar Fahry, karena aku memang menolak ketika pihak salon menawarkan hiasan untuk kamar pengantin. Bagiku, ritual seperti itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Padahal ketika masih gadis dulu, aku selalu memimpikan kamar pengantin yang dihias cantik penuh taburan bunga-bunya yang semerbak. Namun kini aku justru menolaknya ketika aku bisa saja memintanya dari
Rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku saat subuh menjelang, sedangkan pria yang menyebabkan tubuhku pegal dan remuk redam karena permaianannya semalaman tadi masih mendengkur di sampingku, dengan tangan kekarnya yang masih berada di atas tubuhku.Ya, tadi malam adalah malam pertamaku dan Fahry sebagai suami istri. Tak seperti yang kubayangkan, ternyata Fahry sangat lihai melakoni semuanya dari awal hingga akhir. Aku yang harusnya lebih berpengalaman darinya karena statusku sebagai wanita yang sudah pernah menikah justru takluk di bawah kuasanya. Fahry Aditama, pria yang masih mendekap erat tubuh polosku ini ternyata bukanlah lelaki biasa. Ia bahkan sanggup melakukkannya berkali-kali untuk petualangan pertamanya.“Good morning, Honey,” gumamnya masih dengan mata terpejam.“Sudah bangun?”“Hmmm ....”Ia membuka matanya dengan malas, kemudian menarik kepalaku ke dalam dadanya. Kunikmati debaran jantungnya yang beraturan.“Kamu mau tau satu rahasia?”“Apa itu, Mas.”“Dulu aku pernah
Dengan tubuh gemetaran aku mengabarkan orangtuaku mengenai kabar yang baru saja kuterima, aku memilih tak mengabari ibu mertuaku yang sedang berada di Jogja karena khawatir beliau akan panik. Tak lama kemudian, Nilam datang menjemputku bersama seorang temannya yang belum pernah kulihat sebelumnya.“Kenalkan ini Mas Lukman, Mbak. Aku meminta tolong untuk jemput Mbak Tania tadi karena mobil sedang dipakai ayah, katanya mau isi bensin dan nambah angin untuk ngantar Mbak Tania ke Bandung.”Aku hanya mengangguk dan tersenyum sekilas pada teman yang baru saja dikenalkan Nilam. Kemudian lebih memilih berkonsentrasi pada Khanza, sementara Nilam dan teman lelakinya sesekali saling bercanda di kursi depan.“Mas Lukman ini orang Bandung, Mbak. Tapi sedang mengerjakan proyek di Jakarta.” Nilam menoleh ke arahku.“Oohhh.” Hanya seperti itu aku menanggapinya, sehingga Nilam tak lagi meneruskan memperkenalkan temannya.Pikiranku masih fokus memikirkan Mas Fahry. Mengapa ia kecelakaan di Bandung seda
Aku pun mengiyakan dan menyuruh ayah dan Nilam mengikuti langkah Gibran untuk beristirahat, sementara aku sendiri memilih menunggu di depan ruang ICU.“Mbak Tania ....” Gibran kembali memanggil namaku. Kurasa aku tertidur di kursi yang berada di depan ruang Icu. Aku menunggu di luar karena keluarga pasien tak diperbolehkan masuk ke ruang ICU.“I-iya, Gib. Maaf Mbak tertidur,” sahutku sambil mengusap-usap mata.“Pihak kepolisian ingin bertemu dengan Mbak Tania sebagai keluarga korban kecelakaan. Mbak Tania bisa ikut saya.”Aku pun mengikuti langkah Gibran hingga tiba di hadapan beberapa aparat berseragam kepolisian.“Keluarga dari Fahry Aditama?” tanya salah seorang di antara mereka.“Iya, benar, Pak. Saya istrinya.”“Kami ingin menyerahkan ini, barang-barang pribadi yang ada di dalam mobil korban. Kalau untuk kendaraannya, sementara masih berada di kantor kepolisian guna penyelidikan lebih lanjut dan kepentingan lain.”“Baik, Pak. Terima kasih. Aku menerima barang-barang yang dimaksud
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep