Dengan tubuh gemetaran aku mengabarkan orangtuaku mengenai kabar yang baru saja kuterima, aku memilih tak mengabari ibu mertuaku yang sedang berada di Jogja karena khawatir beliau akan panik. Tak lama kemudian, Nilam datang menjemputku bersama seorang temannya yang belum pernah kulihat sebelumnya.“Kenalkan ini Mas Lukman, Mbak. Aku meminta tolong untuk jemput Mbak Tania tadi karena mobil sedang dipakai ayah, katanya mau isi bensin dan nambah angin untuk ngantar Mbak Tania ke Bandung.”Aku hanya mengangguk dan tersenyum sekilas pada teman yang baru saja dikenalkan Nilam. Kemudian lebih memilih berkonsentrasi pada Khanza, sementara Nilam dan teman lelakinya sesekali saling bercanda di kursi depan.“Mas Lukman ini orang Bandung, Mbak. Tapi sedang mengerjakan proyek di Jakarta.” Nilam menoleh ke arahku.“Oohhh.” Hanya seperti itu aku menanggapinya, sehingga Nilam tak lagi meneruskan memperkenalkan temannya.Pikiranku masih fokus memikirkan Mas Fahry. Mengapa ia kecelakaan di Bandung seda
Aku pun mengiyakan dan menyuruh ayah dan Nilam mengikuti langkah Gibran untuk beristirahat, sementara aku sendiri memilih menunggu di depan ruang ICU.“Mbak Tania ....” Gibran kembali memanggil namaku. Kurasa aku tertidur di kursi yang berada di depan ruang Icu. Aku menunggu di luar karena keluarga pasien tak diperbolehkan masuk ke ruang ICU.“I-iya, Gib. Maaf Mbak tertidur,” sahutku sambil mengusap-usap mata.“Pihak kepolisian ingin bertemu dengan Mbak Tania sebagai keluarga korban kecelakaan. Mbak Tania bisa ikut saya.”Aku pun mengikuti langkah Gibran hingga tiba di hadapan beberapa aparat berseragam kepolisian.“Keluarga dari Fahry Aditama?” tanya salah seorang di antara mereka.“Iya, benar, Pak. Saya istrinya.”“Kami ingin menyerahkan ini, barang-barang pribadi yang ada di dalam mobil korban. Kalau untuk kendaraannya, sementara masih berada di kantor kepolisian guna penyelidikan lebih lanjut dan kepentingan lain.”“Baik, Pak. Terima kasih. Aku menerima barang-barang yang dimaksud
“Mbak, sebentar lagi Fahry akan dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang ICU. Mbak Tania silahkan menunggu di ruang rawat, ya.” Gibran kembali menghampiriku. Aku menoleh.“Dimana wanita yang bersama Fahry, Gib?” tanyaku. Ada rasa iba tergambar di wajah Gibran.“Nasya dirawat di ICCU, Mbak. Keadaannya sedikit lebih parah dari Fahry.”“Kamu kenal Nasya juga, Gib?”“Aku sahabat Fahry, Mbak, dan Nasya mantan kekasih Fahry jadi aku mengenalnya.”“Mantan kekasih? Apa kamu yakin mereka hanya mantan kekasih?” Pertanyaan yang sebenarnya tak seharusnya kutanyakan pada Gibran tapi harusnya kutanyakan langsung pada Fahry.Gibran tak menjawab, dan aku pun sebenarnya tak membutuhkan jawaban dari sahabat suamiku itu. Kemudian Gibran mengantarku ke ruangan yang nantinya akan menjadi ruang perawatan Fahry. Ruang VIP di rumah sakit terbesar di Bandung ini. Mungkin Gibran yang mengurus semuanya dengan kartu asuransi kesehatan milik Fahry. Mengingat ia adalah kepala arsitek di perusahaan bertaraf intern
Kulihat Nilam dan Gibran melirikku, kurasa mereka berdua masih sempat melihat sisa tangisku tadi. Kumasukkan ketiga ponsel tadi ke dalam tas branded milik Nasya.“Punya siapa, Mbak?” Nilam berbisik sambil melirik tas hitam tadi.“Nanti kuceritain, Nil. Aku enggak mau ayah tau.” Kurasa jawabanku justru membuat Nilam penasaran, ia berusaha meraih tas itu dari tanganku namun segera kutepis tangannya dan memberinya kode dengan kedipan mata.Pintu ruangan kembali terbuka lebar, kemudian beberapa perawat mendorong brankar pasien yang di atasnya terbaring tubuh Mas Fahry.“Tania ... Tania ... Di mana Tania? Istriku ada di sini kan, Gib?” gumamnya.Dari posisiku berdiri aku bisa melihat jelas beberapa luka lebam di wajahnya dan perban di keningnya, sepertinya itu bekas jahitan yang diceritakan Gibran tadi. Di leher Mas Fahri terpasang alat bantu untuk menyangga lehernya, sehingga kepalanya tak bisa menoleh dan bergerak bebas.“Iya, Mbak Tania ada di sana.” Gibran menjawab Mas Fahry sambil men
Aku masih duduk di kursi di samping ranjang pasien ketika ponselku berdering. Rupanya panggilan dari ibu mertuaku.“Tania, kamu di mana, Nak? Bagaimana keadaan Fahry? Kenapa tak memberitahu ibu?” Ibu langsung memberondong pertanyaan setelah kami saling membalas salam.“Mas Fahry baik-baik saja, Bu. Cuma terluka sedikit. Hanya saja Mas Fahry belum bisa pulang ke Jakarta karena masih harus dirawat beberapa hari. Maaf Tania sengaja enggak mengabari ibu biar ibu enggak kepikiran.”“Iya, Nak. Ibu kaget sekali tadi sewaktu Bu Endang menelepon ibu mengabarkan kepergianmu ke Bandung karena suamimu mengalami kecalakaan. Rasanya ibu mau segera balik ke Jakarta, Nak. Tapi ibu takut naik pesawat sendirian, jadi ibu terpaksa menunggu kerabat yang lain baru bisa pulang.”“Itulah kenapa Tania sengaja tak mengabari Ibu. Tania enggak mau Ibu jadi panik begini. Toh, Mas Fahry juga baik-baik saja, Bu. Ibu mau ngomong?”“Enggak usah, Nak. Ibu percaya pada Tania. Oia, cucu ibu dimana, Nak? Tania dengan si
Mas Fahry, mengapa jadi seperti ini? Padahal aku sudah mulai mencintainya. Kasih sayang yang selama ini ditunjukkkannya padaku dan Khanza serta keromatisannya setiap saat padaku sungguh telah membuat hatiku luluh padanya. Pria itu sama sekali tak menampakkan hal yang aneh dan mencurigakan selama ini. Ia suami yang baik dan romantis, bahkan tak segan-segan menampakkan keromantisannya padaku di depan ibu. Ia ayah yang sangat baik dan penyayang bagi Khanza, putriku itu bahkan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Mas Fahri dibanding denganku jika ayahnya itu sedang libur.Mengapa sekarang semua jadi begini? Apa semua yang diperlihatkannya selama ini hanyalah kepalsuan semata? Sejak kapan ia berhubungan kembali dengan Nasya? Sudah sejauh mana hubungan mereka?Rasa penasaran mambuatku meraih ponsel yang kuyakini milik Nasya. Kucoba memasukkan tanggal lahirnya sebagai sandi, namun tak jua terbuka. Aku memang tau tanggal lahir Nasya karena hanya selisih 5 hari dari tanggal lahirku, dan lu
“Mbak Tania!” Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Gibran terlihat berjalan menuju ke arahku.“Maaf, aku sengaja nungguin Mbak di lobby. Ada yang mau ku sampaikan.”Aku menautkan alis.“Mbak Tania boleh menemui Nasya, tapi jangan mengajaknya untuk mengobrol yang berat-berat dulu, ya, Mbak. Nasya mengalami benturan di bagian kepala pada saat kecelakaan itu. Jadi kalau bisa Mbak Tania jangan mengajaknya bicara serius dulu. Maaf, aku mengerti perasaan Mbak Tania, tapi aku juga harus menyampaikan ini sebagai tenaga medis.”Kutatap mata Gibran, ia memang terlihat iba padaku, tapi aku juga tak bisa mengabaikannya sebagai seorang dokter yang sedang melindungi pasiennya.“Baiklah, Gib. Mbak hanya ingin menegmbalikan barang-barang pribadinya ini. Mbak janji enggak akan bertanya macam-macam padanya.”Gibran mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian mempersilakanku berjalan mengikutinya ke arah ruangan di mana Nasya dirawat.Aku mengeryitkan keningku saat mendapati di dalam ruangan N
Di hari ketiga Mas Fahry dirawat, akhirnya Mas Fahry sudah diperbolehkan pulang dan menempuh perjalanan darat ke Jakarta. Belum ada penjelasan apa pun yang kudapat dari pria itu. Ia hanya terus nenerus membisikkan kata maaf ketika aku menyuapinya, menyeka tubuhnya ataupun membetulkan alat-alat medis di tubuhnya. Bukan tanpa sebab aku masih membiarkannya, tapi ayahku ternyata menolak untuk tidur di hotel dan justru memilih tidur di sofa rumah sakit, sehingga aku memilih menghindari bertanya ataupun meminta penjelasn pada Mas Fahry.Selain itu, aku juga ingin agar ia segera pulih dan kami semua bisa kembali ke Jakarta. Aku tak mau ibu mertuaku bertambah panik memikirkan putra bungsunya ini, juga aku sudah merasa kangen pada Khanza. Ini kali pertama aku berpisah dari putriku dan Mas Farhan itu.Sesekali Mas Fahry juga menanyakan Khanza dan memintaku untuk melakukan panggilan video padanya. Ya, untuk urusan kasih sayangnya pada Khanza, aku memang tak meragukannya. Meski kini rasa ragu itu
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep