“Pakai mobilku aja, lu yang joki!” Kulemparkan kunci mobilku padanya.Aku sengaja menyuruhnya memakai mobilku agar nantinya aku bisa segera pulang kembali ke Jakarta setelah urusan Nasya berada dalam penanganan orang yang tepat.Aku masih memutar-mutar ponselku di tangan, memilih kalimat yang tepat untuk mengabari Tania mengenai keberangkatanku kali ini ke Bandung ketika justru Tania lah yang menelepon duluan. Ragu-ragu, aku menjawab telepon dari Tania. Rasa bersalah semakin menguasai ketika ternyata Tania menelepon karena ingin aku pulang lebih awal hari ini. Bagaimana ini? Aku melirik Roy yang sedang berkonsentrasi menyetir. Ah, seharusnya tadi aku mengabaikan ajakan Roy. Apakah Tania akan memahami alasanku kali ini? Atau aku akan kembali menggoreskan luka di hatinya?Dengan hati-hati kukatakan pada Tania jika aku sedang berada di jalan menuju Bandung. Jujur saja, aku terbata-bata saat harus kembali menyebut nama Nasya pada istriku. Namun di luar dugaanku, Tania justru mengatakan ka
Nasya tersenyum semringah saat keluar dari kamarnya diiringi oleh Bi Ina. Ia menghampiriku dan sama sekali tak memperdulikan Roy yang justru dari tadi menunggu dengan gelisah di depan pintu kamarnya.“Kupikir aku hanya berhalusinasi, Mas. Rupanya Mas Fahry memang ada di sini.”Aku sedikit menggeser dudukku ketika Nasya duduk di sampingku.“Kita mau ke mana?”Aku bergeming, melirik Roy yang menatap tajam ke arah kami.“Hari ini ulang tahun Mas Fahry, kan? Aku senang Mas Fahry mengunjungiku kemari.”“Sebentar ya, Sya. Aku mau bicara dengan Roy dulu.”Kutinggalkan Nasya yang kemudian menatap tak suka.“Dia kalau gini kelihatan normal. Terus mau kita bawa ke mana dia?” tanyaku pada Roy dengan suara pelan.“Gue juga bingung. Tapi lu liat sendiri kan tadi dia seperti apa kalau lagi kumat? Apa mungkin kita bawa ke rumah sakit aja dulu.”Aku meremas kasar rambutku.“Lu putusin segera, Roy! Gue enggak mau lama-lama di sini. Istri gue nungguin gue!” Aku mulai emosi.Roy menatapku, masih dengan
“Nilam pun merasakan hal seperti itu saat berhadapan dengan Mas Lukman. Nilam pernah mencintainya, lalu kemudian hubungan kami harus terpisah. Sekarang, saat melihatnya dengan segala problema hidupnya, Nilam masih sering merasa iba. Mas Lukman meski punya kuasa di perusahaannya, meski terlihat sangat perkasa karena sering berganti-ganti wanita, tapi sebenarnya dia rapuh. Hanya pada Nilam lah dia mau jujur, hanya Nilam lah yang tau apa sebenarnya yang sedang bergejolak dalam hatinya. Nilam tau dia selalu merasa kesepian, dia tak punya siapa-siapa, dia juga tak mungkin punya keturunan setelah vonis mandul yang diterimanya. Dan Nilam tak pernah bisa mengabaikannya, meski pun Nilam sadar Nilam sudah punya Mas Gibran.”Aku terenyuh mendengar cerita Nilam. Tak menyangka jika gadis lincah itu punya masalah yang sama denganku. Sungguh ikatan masa lalu ini tak bisa benar-benar pergi dari kehidupan kami masing-masing.“Kamu masih sering menghubungi Hasan Lukman?”"Tidak sering, aku dan Mas Lukm
Sudah tengah malam saat aku dan Nilam tiba di rumah. Rasa lelah setelah bolak balik Jakarta – bandung – Jakarta membuat seluruh tubuhku merasa pegal. Kupersilakan Nilam masuk ke dalam kamar Khanza, karena ia memang sering tidur di kamar itu ketika sedang menginap di rumah kami.“Sepertinya Tania sudah tidur, Dek. Kamu istrirahat dulu, ya.”Nilam mengangguk dan segera menghilang dari pandanganku, masuk ke kamar Nilam. Dengan hati-hati kubuka pintu kamarku dan Tania, beruntung Tania tak mengunci pintunya, mungkin ia juga sedang menungguku.Dalam remangnya lampu tidur, aku melihat tubuh istriku itu berbaring memunggungiku. Ada rasa cemas di dalam hati, apakah Tania akan marah dan protes atas kepergianku ke Bandung kali ini?. Kurebahkan tubuhku di sampingnya setelah terlebih dahulu membersihkan tubuh. Ya, aku memilih mandi agar tak ada bekas-bekas aroma Nasya yang mendekapku erat saat membawanya ke rumah sakit tadi. Paling tidak, ini adalah usahaku untuk datang dengan tubuh bersih dari Na
Kilau cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah gorden kamarku membuatku menggeliat dari tidurku. Kuraba ruang di sebelahku, tak ada lagi Tania di sana. Tentu saja Tania sudah bangun lebih dahulu karena ini memang sudah pagi, lagi-lagi aku melewatkan salat subuh. Semalam aku tak bisa memejamkan mata membayangkan bagaiman nantinya respon Tania. Kulirik nakas di sebelah tempat tidurku, tak ada lagi bingkai foto Tania dan Mas Farhan disana. Padahal semalam aku meletakkannya di sana. Mungkin Tania sudah menyimpannya kembali.Ibu menatapku dengan tatapan sinis saat aku keluar dari kamar.“Tania dan Khanza ke mana, Bu?”“Ibu kecewa padamu, Nak. Kenapa kamu terus-menerus melakukan kesalahan yang sama? Bukankah hanya orang bodoh yang jatuh berulang-ulang dalam kesalahan yang sama? Tapi kamu tak bodoh, Nak. Kamu anak ibu yang paling cerdas.”Aku memejamkan mataku, merasa bersalah pada ibu. Lalu aku menarik tubuh wanita renta itu dalam dekapanku, mencari kekuatan di sana.“Fahry lelah, Bu.”
Kebahagiaan melingkupi keluarga kami setelah info mengenai kehamilan Tania tersebar. Tak hanya ibuku, tapi juga ibu mertuaku juga kerap datang dan membawakan berbagai macam makanan untuk Tania. Kali ini aku berjanji akan benar-benar menjaga Tania agar tak mengalami keguguran lagi seperti yang pernah di alaminya waktu itu.Tania pun tak mengalami kondisi mengidam yang parah, ia hanya tak suka dengan beberapa aroma tajam. Yang berubah hanya satu, Tania semakin manja padaku. Kondisi ngidam yang menguntungkan bagiku, karena jika sedang bersamanya, Tania akan selalu bergelayut manja padaku. Ia juga sangat suka menghirup aroma tubuhku, membuatku sedikit kerepotan jika ia justru melarangku untuk mandi karena menyukai aroma keringatku. Namun aku menikmatinya, menikmati semua perubahan ajaib Tania seiring dengan perutnya yang semakin hari semakin terlihat membuncit.Sesekali ketika sedang di kantor, Roy juga masih bercerita padaku mengenai kondisi Nasya yang ternyata hingga saat ini masih menj
“Kamu udah kayak dokter beneran deh, Sayang,” kataku saat Tania menjelaskan dengan detail mengenai hasil pemeriksaannya.“Iya, Mas. Aku menghapal semua yang dikatakan dokter agar aku bisa kembali menceritakannya padamu.”Aku terkekeh. Lalu meraih tubuhnya, menenggelamkannya dalam dekapanku.“Kenapa nggak minta kuantar aja sih, Tan. Kan aku bisa dengar langsung dari dokter beneran bukan dari dokter gadunganku ini.”Ia tak menjawab, hanya mencubit kecil pingganggku ketika aku menyebutnya dokter gadungan. Lalu kemudian kami tertawa bersama. Ah, indahnya masa-masa ini. Walaupun sesekali aku melihat Tania terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi kurasa itu adalah hal yang wajar, sebab ia tengah mengandung.***Berita yang kudapat berikutnya dari Roy adalah tenyata bayi Nasya yang terlahir sebelum waktunya tak dapat bertahan hidup. Menurut Roy, selain karena terlahir prematur, kondisi bayi Nasya juga memang kurang nutrisi mengingat selama hamil Nasya tak pernah mengurus dirinya sendiri, apa
Aku hanya mengintip dari balik pintu ruangan perawatan Nasya di rumah sakit jiwa ketika akhirnya aku mengabulkan keinginan Tania untuk menjenguknya. Ternyata bukan hanya Tania, tapi ibuku pun meminta ikut saat kukatakan jika kami akan ke Bandung menengok Nasya.Aku memilih untuk tidak ikut masuk, tak mau ada insiden yang tak kuinginkan lagi. Sementara Roy, yang juga ikut ke Bandung karena memang setiap weekend ia akan mengunjungi Nasya menemani ibu, Tania dan Khanza ke dalam ruangan Nasya.“Ayah, Tante Nasya sakit apa? Kenapa nggak cantik seperti dulu lagi?” tanya Khanza sesaat setelah keluar dari sana.“Ayah juga nggak tau, Sayang. Yang pasti Tante Nasya butuh doa dari Khanza agar ia cepat sembuh,” jawabku.“Tapi Tante Nasya tetap baik sama Khanza, Ayah. Dia tadi meluk Khanza katanya kangen. Khanza juga kangen Tante Nasya.”Aku melirik Tania, ia hanya mengangguk.“Ibu tak menyangka Nasya bisa jadi seperti ini, Nak. Ibu kasihan melihatnya.” Kali ini ibu yang menggumam.“Kita doakan sa
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep