Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.
Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Naya memang baik-baik saja. Bahkan terkesan sangat dekat. Naya tengah menempuh kuliah di luar kota. Jika dia pulang, akulah yang selalu menjemputnya, menghabiskan waktu di restoran, di salon, shopping di mall. Ya hampir dimanapun dan di berbagai kesempatan, Naya selalu melibatkanku. Tapi hari ini, aku seperti melihat topeng Naya terlepas. Seolah dia mendukung dan turut andil penuh atas kebohongan yang dilakukan oleh keluarganya. Tanpa aku tau dimana letak salahku.Dan aku sadar, bahwa sakit hati yang dalam bisa saja hadir bahkan dari orang terdekat kita, orang yang kita anggap baik."Jangan buat onar di acara keluarga kami," ancam Mama mertua dengan tatapan tajam menghujam.Image mertua baik, lembut, loyal seketika hilang dalam dirinya. Dan kini aku sadar, semua hanya sandiwara belaka. Semua kebaikanya hanyalah kepura-puraan belaka. Jika statusnya saat ini bukan mertuaku, mungkin sudah aku tampar mulutnya.Aku tersenyum kecut."Santai Ma. Takut banget sih," ujarku melengang masuk.Namun rupanya Mama mertua terus mengikuti langkahku dari belakang. Beliau setengah berlari."Heh Manda. Enak sekali kamu masuk. Kamu bukan tamu disini. Tidak. Kamu tidak ada undangan. Silahkan pergi." larangnya lagi dengan tegas.Sedikitpun aku tidak gentar. Aku tak menjawab sepatah katapun. Aku sodorkan tanganku yang memakai gelang kertas pertanda akses masuk.Ku lihat juga dari ekor mataku bahwa Mas Agam tampak protes kepada panitia. Dia tampak marah besar.Dan panitia hanya tertunduk, tanpa bisa berbuat apa-apa.Rasakan!Apa yang dia rencanakan dengan baik bahkan penuh dengan kematangan, belum tentu berjalan dengan mulus juga.Dasar bodoh!Kenapa aku bilang begitu? Sudah tau ketangkap basah. Masih saja memperlihatkan gejala kebohongan mereka.Mama mertua masih diam. Mungkin beliau bingung dengan apa yang harus dilakukan.Aku tak mau membuang waktu terlalu lama. Aku menyeruak untuk maju lebih depan. Melihat dekorasi yang di persiapkan suami dan mertua di belakangku.Dan yang paling penting adalah melihat kejahatan mereka secara asli. Melihat orang yang dulu mengaku begitu baik terhadapku, perlahan melepas topengnya masing-masing.'Tasyakuran atas kelahiran anak kedua kami'Ada foto Mas Agam dan seorang wanita.Begitulah tulisan di layar depan.Mereka yang hebat atau aku yang bodoh bisa dibodohi hingga anak kedua?Aku sejenak berhenti. Mengatur nafas. Aku memang marah. Marah sekali. Tapi aku bertekad untuk bersikap elegan.Ternyata Mas Agam berhasil menyusulku yang tengah berdiri di depan dekorasi yang begitu indah. Dia meraih lenganku. Dan sedikitpun aku tidak menoleh."Kita bisa bicara baik-baik, Amanda," ucapnya dengan lembut.Tingkah paniknya tadi mendadak hilang. Entah dia di breafing apa oleh Mamanya sebelum menghampiriku."Bicara baik-baik? Setelah kamu melakukan sesuatu yang tidak baik-baik saja terhadapku? Seadil itukah?""Kamu boleh marah Manda. Tapi tolong jangan rusak acara ini.""Aku sudah bilang, aku tidak akan membuat onar. Aku hanya ingin menjadikan acara ini menjadi acara yang tidak akan kamu lupakan seumur hidup kamu. Baik bukan aku?"Mas Agam bergeming."Aku tau kamu cerdas, Manda. Tapi tolong jangan lakukan hal ini kepadaku. Apapun permintaanmu akan aku turuti. Kamu mau apa? Kamu mau penthouse? Kamu mau villa mewah? Atau kamu mau uang nafkah bertambah? Katakan berapa? Dua ratus juta? Tiga ratus juta?" tanyanya.Kali ini aku bergantian menatapnya dengan dalam, tajam menghujam.Plakkk....Tanganku berhasil mendarat di pipi Mas Agam dengan sempurna.Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan."Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan
Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Manda menjawab pertanyaan sang Mama dengan yakin. Dan tentu saja dengan tegar.Tetapi namanya seorang ibu, tentu saja dia khawatir dengan keadaan sang anak. Walaupun sebelumnya lewat sambungan telefon pun , Manda menceritakan semua dengan kuat, tanpa ada suara terisak sedikitpun."Manda, kamu tidak apa apa Nak?" tanya Bu Yosi dengan trenyuh dan tatapan nanar.Manda justru menatap sang Mama dengan aneh."Mama apaan sih? Lihat Manda baik baik saja. Mau diperiksakan ke Psikiater sekalipun juga pasti tak apa. Mama tenang saja. Manda juga bukan tipikal orang yang diam diam lalu bunuh diri. Dih amit amit. Laki laki seperti itu saja ditangisi sampai segitunya," komentar Manda dengan santai."Betul itu Manda. Papa suka cara kamu. Laki laki seperti Agam, banyak modelnya diluar. Bahkan yang lebih dari dia juga banyak. Kalau perlu, papa bisa Carikan yang jauh diatas Agam. Bagaimana?" tanya Pak Irwan kepada sang putri.Namun Manda menggeleng dengan cepat."Tuh kan Pa. Lihat anakmu. Dia bahkan bel
"Kamu itu tidak usah ikut campur Aisyah. Tidak usah sok menjadi pahlawan. Kamu itu sudah beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Harusnya bersyukur. Jadi lain kali jangan banyak tingkah. Saya pulangkan ke kampung baru tau rasa kamu," kata Bu Melisa dengan ketus.Aisyah hanya tertunduk lesu. Nuraninya bertabrakan. Tentu sebagai wanita ia mengerti perasaan Amanda. Baginya ketegaran Amanda hanya kebohongan belaka."Kasihan Mbak Manda, Ma," ujar Aisyah yang justru mendapat tatapan mendelik dari Bu Melisa."Kasihan kamu bilang? Memangnya hidupmu sudah paling benar hingga kamu berani kasihan ke orang lain? Kalau bukan karena saya, mungkin kamu sudah mati loh di kota besar ini."Mendengar itu, Aisyah tidak berani bersua kembali.Amanda benar. Bahwa image mertua baik hati, lembut dan dermawan hanya topeng Bu Melisa saja. Dan sikap tersebut hanya ditunjukan kepada Manda dulu. Ya dulu, karena sekarang Manda sudah tau kebusukannya.Agam juga hanya terdiam setelah acara itu. Dia lebih ba
Aisyah kesal bukan main. Namun ia hanya mampu memendamnya. Ia tak punya keberanian seperti Amanda."Tidak usah protes Syah. Kamu saya nikahi bukan untuk cerewet terhadap hidup saya," gerutu AgamAisyah melengos dengan wajah cemberut. Ia tidak berharap Agam akan peka, akan merayu seperti saat Amanda yang merajuk. Tidak sama sekali. Semata karena ia ingin menunjukan ekspresi kesalnya saja. Tidak lebih.Agam berlalu dari kamar mereka. Dan deru mobilnya mulai menjauh dari apartemen. Aisyah sempatelihat dari jendela."Aaaarrrggghhh," teriaknya.Ia bingung. Ia bisa apa. Ia bahkan tidak punya siapa siapa di kota ini. Kemana ia harus membawa kedua anaknya? Ke kampung? Lalu apakah dia sanggup membesarkan mereka tanpa nafkah dari seorang ayah?Tentu dalam hati kecilnya, ia ingin seperti Amanda. Dengan lantang dan berani melawan mereka, melawan kesewenangan mereka. Tapi dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda dengan Amanda, dia berfikir seribu kali untuk mengambil langkah itu.Tanpa Agam,
Agam meremas baju bagian bawahnya. Wajah merah padamnya tak dapat ditutupi. Sementara Manda masih dengan wajah santai dan sumringahnya."Cukup Manda. Tidak usah kamu teruskan," tegur Agam.Amanda tertawa kecil."Kenapa? Panas ya? Salah sendiri bermain api," balasnya dengan ketus.Tidak disangka, justru langkah Manda menuju mobilnya kembali."Amanda, aku belum selesai bicara," kata Agam.Amanda menoleh dengan tatapan sinis."Aku punya rumah. Aku bukan siput yang rumahku, aku bawa kemanapun aku pergi," jawabnya dengan ketus.Agam tertunduk."Tapi Nda. Aku tak berani ke rumahmu. Apa kata orang tuamu nanti. Tolonglah mengerti aku," pintanya setengah mengiba."Mengerti kamu? Enak saja. Punya istri lain saja kamu berani, ketemu orang tuaku kok nyali kamu justru menciut? Laki laki macam apa sih. Pengecut," seru Amanda dengan kesal."Nda," panggil Agam lagi."Kamu dengar, penyesalan dalam hidupku yang paling mendalam adalah saat bertemu kamu. Andai aku boleh memutar waktu, aku tidak akan mau
"Tutup pintunya Manda," perintah Bu Yosi seperti tergesa-gesa.Namun dengan cepat pula tangan Aisyah menahanya."Tante, tolong jangan. Saya ingin berbicara dengan Mbak Manda. Hargai kedatangan saya Tante. Saya menitipkan anak saya yang masih bayi dan balita kepada orang dengan biaya per jam. Hanya saja saya ingin berbicara dengan Mbak Manda, Tante. Ini penting," pinta Aisyah yang begitu mengiba."Bentar Ma," kata Manda akhirnya. Dia memang keras, tapi dia masih punya rasa iba dan kasihan.Begitupun Bu Yosi, yang sepenuhnya percaya bahwa sang putri yang telah tumbuh dewasa, mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik."Duduklah," perintah Manda mempersilahkan.Aisyah sempat mengedarkan pandang ke setiap sudut rumah yang ditinggali Manda saat ini. Kemewahan ya juga tak kalah dari rumah milik Agam."Sebelumnya saya minta maaf. Mbak Manda berhak memaki saya sebagai perusak rumah tangga orang lain. Saya akui saya memang salah," ucap Aisyah dengan lirih."Berhenti. Mau kamu mengakui kalau pe
Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.
"Darimana saja kamu Neni. Di telfon lebih dari sepuluh kali tapi tidak kamu angkat?" gerutu Agam saat sang istri baru pulang.Neni sudah lelah. Ia hanya meletakan sebuah kantong plastik di meja."Nih makan. Ini resto milik artis yang baru buka itu Mas. Rame banget," jawab Neni, mimik wajahnya terlihat senang.Agam masih lurus menatap Neni. Tangannya dilipat di dada."Aku tanya apa, jawabmu apa?" sengit Agam.Neni yang biasanya akan membentak balik saat dibentak Agam hanya tersenyum. Karena apalagi kalau tidak karena hatinya sedang senang saat ini."Mas, aku sudah bilang, aku dari rumah Mama. Kamu sudah lupa? Atau pura pura lupa?" tanya balik Neni dengan tenang.Namun sepertinya jawaban Neni tersebut tidak member rasa puas untuk Agam."Lalu kenapa kamu justru pergi ke restoran artis itu?"Neni sedikit salah tingkah."Tidak. Ini tadi saudaraku yang membelikan. Makanlah mas. Kamu sedari tadi belum makan bukan? Pasti keluargamu sibuk karena huru hara ditipu calon suami," kata Neni.Tak me
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa