Marry, Anggun, dan Rossy, sibuk menerima dan mengantar tamu. Naura dan Rara sibuk mengawasi persiapan konsumsi para tamu. Aku dan Nandean melayani dan menemani tamu-tamu kerabat Bapak dan Mama. Beberapa orang mempertanyakan tentang peristiwa beberapa minggu lalu, kami menjelaskan bahwa kejadian itu murni kecelakaan biasa.
Saat ada yang bertanya tentang Lily dan Antar, kami hanya bilang bahwa mereka berkenalan dalam sebuah perjalanan udara. Jika ditanya sudah berapa lama kenal dan berhubungan, kami jawab sudah lama. Ketika mereka menanyakan sendiri kepada Lily, cuma dijawab: "ya, cukuplah." Entahlah, cukup yang dimaksud cukup singkat atau cukup lama.
Tamu-tamu terus berdatangan hingga malam hari. Bapak meminta aku dan Nandean tetap berada di tempat dan menemani Bapak dan Mama melayani tamu-tamu dari kerabat dekat. Ipar-iparku sudah nampak lelah. Naura dan suaminya beristirahat di paviliun samping bersama dengan keluarga Rara. Marry sudah masuk ke kamar. Rossy dan Anggun
"Jangan-jangan dia punya rencana jahat ya, kak," gumamnya."Kita doakan saja semoga tidak begitu," jawabku."Minta tolong Kak Anggun untuk mengeluarkan barang-barang berharga dari kamar Lily," usulku."Bagaimana caranya?" tanya Rossy. "Bilang saja mau ambil beberapa barang Marry, Lily dan Marry satu kamar kan? Siapa tahu masih ada pakaian atau barang Marry yang lain disana," jawabku. Rossy menemui Anggun.Kulihat Anggun bicara pada Lily di ruang depan. Antar masih di luar, beramah tamah dengan beberapa teman Nandean. Tak lama kulihat Anggun keluar dari kamar Lily, membawa beberapa buah pakaian."Sudah," lapornya pada Rossy."Nay, perhiasan yang dikasih Naya tetap saya biarkan disana ya. Seandainya diambil juga tidak apa-apa kan?" tanya Anggun sambil tersenyum."Iya, tidak apa-apa," jawabku."Untuk pancingan kan?" tanyaku lagi.Anggun dan Rossy tertawa. Malam itu aku tidur nyenyak. Bahkan Leang pun tidak terbangun sama sekali
"Kalau dia kemudian tahu?""Aku akan mengelak, bilang saja dia yang sengaja menukarnya!" "Orang licik, balas licik!" kata Nandean lagi.Aku memandangi suamiku. "Jangan protes ya, ini kulakukan karena dia saudaraku. Biar dia dapat pelajaran!" Nandean seolah tahu apa yang kupikirkan. Usai waktu maghrib Nandean keluar, membawa amplop uang."Nanti aku pulang agak malam ya, Nay," katanya. "Antisipasi kalau mereka nanti mencariku ke rumah," kekehnya."Ya," sahutku."Kalau mereka tanya padamu, bilang kita cuma jadi nasabah BR*. Tunjukkan beberapa amplop coklat dalam kamar itu," titahnya. "Ya," jawabku.Aku mulai paham maksud Nandean membungkus kertas uang tadi dengan dua lapis amplop. Kini tugasku hanya menunggu. Namun hingga tengah malam, Lily tidak datang. Sampai Nandean pulang. ### "Nanti siang ke rumah Mama saja, Nay," kata Nandean saat kami sarapan pagi."Bantu-bantu menyiapkan minum orang-orang
Aku sedang menemani Leang menonton TV saat ponselku berbunyi.Nama Rossy tertera di layar pipih."Ya, Assalamualaikum," sapaku."Waalaikumsalam, kakak di rumah atau di toko?" tanya Rossy."Di rumah," jawabku."O ya sudah, aku ke rumah kakak ya," katanya.Lima belas menit kemudian ada suara motor berhenti dan suara pintu pagar dibuka. Kulihat dari vitrase transparan, Rossy sedang memarkirkan motornya di halaman. Marry menutup pintu pagar.Aku agak tercengang. Baru kali ini Marry mengunjungi rumahku. Kulihat dia memperhatikan tampak depan rumahku dan menyentuh tanaman hias di sudut teras.Pintu ruang tamu kubuka sebelum mereka mengetuk."Assalamualaikum," sapa Rossy."Waalaikumsalam, masuk, sy," ajakku.Ku ulas senyum ramah untuk Marry. Kusalami tangannya. Tangan yang pernah menjambak rambutku, menampar pipiku, meremas tanganku dengan keras saat Bapak memaksanya meminta maaf.Kutatap matanya dengan hangat. Mata ya
"Nanti aku akan rutin memberimu uang," kata Rossy."Tapi kau harus janji, tidak mengikuti Lily lagi. Kau mau?" tanya Rossy.Marry mengangguk cepat."Kalau masalah uang, asalkan kau bersikap baik pada kami, pada Bapak Leang, pada Ibunya Leang, aku yakin tidak ada yang keberatan memberimu uang saat kau membutuhkan sesuatu," kata Rossy lagi."Bapak Leang juga sering memberiku uang," kata Marry."Tapi kadang direbut Lily," lanjutnya."Katanya itu uang haram," bisik Marry pelan."Astaghfirullah.." aku dan Rossy beristighfar serentak.Betapa busuknya hati Lily, aku membatin."Lalu diapakan oleh Lily uangnya?" tanyaku.Marry menggeleng."Aku tidak tahu," jawabnya."Maaf ya, kak. Berapa biasanya Bapak Leang memberi uang pada kakak?" tanyaku."Biasanya limaratus ribu, kalau mau hari raya satu juta, pernah juga satu juta lima ratus," jawab Marry."Dan semua direbut Lily?" tanya Rossy."Iya." Marry mengangguk.
Chat WA Lily berderet-deret, kubuka untuk memenuhi rasa penasaran.[Kenapa Bapak Leang tidak bisa ditelpon?][Takut ya?][Sudah memberi uang palsu pada kami][Kau juga sama][Memberi emas palsu][Suami istri penipu!][Sok kaya!][Kami akan lapor polisi!][Ini penipuan!][Teman kami banyak polisi][Tunggu saja kalian akan dipenjara!][Jangan harap bisa lolos!]Dan masih banyak lagi.Entahlah, aku malah tertawa membaca rangkaian chatnya.Beberapa menit setelah chat kubaca, panggilannya masuk lagi. Tak kuhiraukan. Handphone-ku bergetar-getar beberapa menit kemudian tak terputus. Aku memandikan Leang, menemaninya makan, lalu menyiram tanaman di halaman. Hingga tiba waktu Nandean pulang.Setelah beristirahat, kutunjukkan chat WA Lily padanya. Nandean tersenyum."Balik lagi berarti si Antar," gumam Nandean sambil tertawa."Maksudnya?" tanyaku."Kan dia sudah mencoba kabur bawa uang mainan
"Ly, apa pun yang dimiliki istri, itu adalah hak istri. Tidak ada hak suami disana. Kecuali istri dengan ikhlas dan rela menyedekahkan atau menghadiahkan uang atau benda atau harta lain miliknya kepada suami. Apa kau telah memberikan uang itu kepada suamimu secara ikhlas?" tanya Nandean."Ya gak lah! Antar bawa sendiri tanpa izin!" tukas Rara."Aku bertanya pada Lily," ujar Nandean datar.Tampak Bang Ishaq mencolek lengan istrinya."Kalau Lily belum memberikan padamu, masih disimpan di lemari, lalu kau bawa tanpa izin, apalagi sampai menginap di tempat lain, itu namanya mencuri! Paham kau?" Kata Nandean kepada Antar."Kalau sudah suami istri kan semua jadi milik bersama," jawab Antar."Sudah kubilang tadi, dalam harta istri tidak ada hak suami, kecuali istri menyedekahkan atau menghadiahkan harta itu kepada suami. Tetapi dalam harta suami selalu ada hak istri. Karena suami memegang tanggungjawab penuh pada semua kebutuhan hidup istri sementa
Sambil menutup pintu pagar Nandean tergelak pelan."Mau main-main, kita layani mereka bermain," gumam Nandean."Aku curiga, secepat itu Lily mengajak calon suami menghadap Bapak dan mendesak untuk segera dinikahkan. Belum kenal lama kedua orang itu," ujarnya."Tapi kan tidak ada yang menolak," sahutku."Kasihan kalau mau ditolak, umur sudah berapa, entah kapan lagi dia mau mengajukan orang untuk diajak menikah," jawab Nandean."Bapak sudah bertanya pada Lily, yakin kau dengan pilihanmu? Tidak akan ada penyesalan nanti? Dia jawab yakin, ya sudah dinikahkan." "Lily jelas mengejar tantanganku, uang 50 juta. Itu pun dipersepsikan pemberian khusus untuknya, padahal aku sudah bilang bahwa aku menyumbang dana pernikahan 50 juta, bukan mau memberi hadiah secara pribadi untuknya, dia saja yang serakah. Pesta ingin dibiayai, uang juga ingin dikantongi. Naura dan aku menikah dulu, tak serupiah pun dia mengeluarkan uang. Bahkan marah-marah, mencak-mencak, menghalangi," gerutu Nandean."Kalau is
Semoga saja dalam waktu dekat dia diboyong si Antar Kabuprovi ke rumah orangtuanya. Walaupun kecil kemungkinannya Lily akan mau. Tapi tunggu dulu, benarkah Lily kenal si Antar lewat telpon nyasar seperti kata Anggun? Atau justru lewat situs kontak jodoh online yang kudaftarkan? Kalau memang karena telpon nyasar, aku tak harus merasa bersalah saat si Antar nanti benar-benar ketahuan sebagai penipu atau penjahat. Tetapi bagaimana kalau mereka kenal karena situs kontak jodoh? Bukankah aku juga yang akan merasa bersalah? Sekelumit kekhawatiran menelusup dalam hatiku. "Memikirkan apa?" tanya Nandean mengejutkanku."Ah? Tidak..." Jawabku gugup."Tidurlah, kalau ada kejadian lanjutan pasti Bapak atau Mama akan menghubungi kita," kata Nandean. Aku beranjak. Memeriksa Leang di kamarnya. Dia sudah tertidur sejak usai maghrib tadi. Kupandangi wajah anakku, lelap, polos tanpa dosa. Kuusap rambut ikalnya. Kucium pipinya penuh cinta. Dialah pengikat aku dengan suamiku dan keluarganya. Ciri fisikn
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak