Your secrets keep you sick.
Your lies keep you alive, but you’ll never be happy.
***
“Bu, tolong izinin Abrar ketemu Mia!”
Sekarang ada keributan lain di rumah sakit. Seorang pasien yang baru saja mengalami kecelakaan kemarin, kini memohon di depan ruang perawatan adiknya. Pria itu memang tidak memiliki luka berarti, tidak seperti Syila yang harus kehilangan kakinya, tapi dokter tetap memintanya tinggal selama beberapa hari untuk dilakukan observasi.
Aku sudah menyuruh Xei pergi untuk melihat keadaan Andra, karena hanya hal Andra yang saat ini memenuhi benakku, tapi aku terlalu takut untuk menemui sosok mungilnya. Meski mungkin Andra belum cukup mengerti, tapi bagaimana jika suatu hari nanti orang-orang akan membahas masalah ini di depan Andra yang sudah cukup dewasa untuk memahami jika ibunya adalah korban pemerk*saan beberapa pria mabuk. Bagaimana jika akhirnya penilaiannya kepadaku akan berubah
Aku sangat lelah.Lebih dari pada yang bisa kau bayangkan.Aku sangat lelah.“Ibu, bisa tinggalin kami dulu sebentar?”Setelah terdiam beberapa saat akhirnya ia kembali berbicara.“Kamu mau apa lagi, Abrar?! Kalau kamu mau ngomong, ngomong di depan Ibu!”Kedua mata pria itu menatap lekat ke dalam mataku, seakan mencoba menyelami kelamnya jiwaku.“Jangan macam-macam lagi, Abrar! Jangan buat Ibu lebih malu dari ini! Berhenti sekarang juga! Jangan buat kesalahan yang lain. Lepaskan mereka, atau Ibu sendiri yang akan tuntut kamu!”Wajah tua Ibu tampak sangat kecewa. “Ayah macam apa yang tega menyakiti anaknya sendiri, Abrar?” tanya Ibu getir. “Ibu pikir ibu sudah mendidik kamu dan Syila dengan cukup baik selama ini, tapi ternyata ibu sangat salah. Kamu menikahi Mia, walau tau dia korban pemerk*saan, itu tindakan yang benar. Tapi kamu menyimpan video pemerk*saan Mia, itu salah. K
Waktu selalu butuh beberapa saat untuk memutar balikkan hidupmu.“Aku minta maaf, Mi.”Di antara jutaan rasa sakit yang kumiliki, pengkhianatan orang terdekat adalah hal yang paling membekas. Itu membuatmu menjadi takut mempercayai orang lain, membuatmu selalu waspada kepada kebaikan yang datang. Seakan pasti ada tujuan di balik semua kebaikan-kebaikan itu, seakan semuanya palsu.Pernah sekali ku berpikir akhirnya takdir memberikan hal yang indah melalui persahabatanku dengan Lina. Sampai aku menyadari bahwa semua senyumannya hanya kamuflase belaka.Kini, ketika takdir kembali membuat kami duduk berhadapan di kafe seberang kantorku, ia menunjukkan air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Alunan lagu terdengar samar dari speaker yang terpasang di langit-langit kafe. Aroma kopi membaur sempurna dengan aroma lezat roti yang baru saja dikeluarkan dari dalam oven. Seorang gadis kasir tersenyum riang sambil memasukkan roti itu ke da
Maaf,Aku egois. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Kututup pesan terakhir yang ia kirimkan ke ponselku. Pesan itu sangat berbeda dengan pesan-pesan yang ia kirimkan sebelumnya. Padahal dulu ia selalu mencoba menahanku pergi, ia selalu berusaha mengumbar kata untuk tetap mempertahankan pernikahan kami, menghujaniku dengan janji-janji jika kelak ia akan berubah, tapi tak pernah ditepati. Sampai aku tak lagi bisa mengerti, jika ia mencintai kami sebesar itu, cinta seperti apa yang ia miliki?Namun, pesan terakhir yang ia kirimkan setelah pertengkaran kami tak lagi berisi sanggahannya, atau upayanya untuk mempertahankan, hanya sebuah permintaan maaf, dan… sebuah kekosongan.Seakan ia sudah tau, tidak peduli sekeras apa usahanya untuk mempertahankan, pada akhirnya, kami berdiri di sebuah persimpangan yang berbeda.“Mama, kenapa kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit?”Pertanyaan da
24 Tahun Kemudian“Eh, udah dengar belum gosipnya?”“Soal Dokter An lagi?”“Ya, siapa lagi?”Aku melirik sekilas kepada dua perawat yang tengah berbincang di balik meja resepsionis sambil terus mengisi formulir di hadapanku.“Pakai BPJS atau umum, Bu?” tanya perawat muda yang melayaniku. Pertanyaannya secara otomatis membuat lamunanku buyar seketika.“Umum,” jawabku singkat.Perawat berusia 20 tahunan itu tersenyum dan mengangguk, lalu mengetik sesuatu di komputernya.Setelah megisi seluruh folmulir, aku kembali menyerahkannya kepada si perawat.“Baik, Bu, silakan tunggu sebentar ya, nanti akan dipanggil kembali.”“Tapi suster, antriannya masih lama nggak yah?” tanyaku, sambil melirik bocah kecil yang sekarang bersidekap di belakang punggungku.Gadis berseragam merah muda itu memeriksa data di komputernya. &ldq
“Kamu nggak harus antar Mama dan Willia, An. Mama bisa naik taksi juga,” kataku, saat kami duduk di mobilnya. Willia yang tadi mendapat perawat pembersihan karang gigi dari Dokter Kinan, sekarang tengah terlelap di kursi belakang.Andra tersenyum lembut. “Kan jarang-jarang Mama ke tempat kerja Andra. Pokoknya kalau Mama ada apa-apa, Mama telepon Andra, biar Andra jemput.”“Kamu kan sibuk, pasienmu paling banyak.”Andra membelokkan mobilnya ke jalan raya. “Yah, Andra bisa curi-curi waktu sedikit, apa sih yang nggak bisa buat Mama,” ujarnya santai.Aku tersenyum, meski mungkin ia mengatakannya dengan asal, tapi kata-kata itu terdengar sangat hangat bagi seorang ibu.“Oya, tadi Mama dengar gosip soal rumah sakit baru dan tawaran Dokter Heru.”Kedua mata putraku membulat kaget. Mungkin sama sekali tidak menyangka aku bisa mengetahui hal itu.“Kenapa kamu nggak pernah cerita
“Om! Om Andraaa!!! Lama banget sih?!” Buk. Buk. Buk. Willia menggebrak pintu kamar mandi berkali-kali. “Ommmm udah beluuumm??!” teriaknya, mengintip dari celah kecil sudut pintu. “Wooy!” Andra yang menyadari sosok mungil itu tengah mengintip langsung melempar sikat gigi dari dalam kamar mandi, membuat Willia tertawa keras. Tak lama, keduanya berlarian menuruni tangga sambil berteriak kencang. “Maaaa ada monster!!!” teriak Willia riang, sambil terus berusaha mengelak dari amukan Andra. “Andra, Willia, jangan lari-lari di tangga,” tegur Miranda. Hampir saja mereka berdua menyenggol baki berisi piringan keik pisang kesukaan Syila, adik iparnya. Willia melompat ke sofa, tempat ibunya tengah duduk bersandar sambil mengusap perut yang membuncit. “Mamaaa!” “Duh, hati-hati, Will,” keluh Syila. Ia menahan tangannya di udara, khawatir putri sulungnya akan melompat tanpa pikir panjang. Meski ia adalah gadis
“Cantik kok, Sayang.”“Eh?” Kinan menutup cermin di tangannya secepat kilat. Ia berdeham pelan, lalu bangkit dari kursinya. “Papa, tumben ke sini…,” gumamnya malu-malu. Ia menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga.Heru tersenyum lembut. “Habis belakangan ini susah banget ketemu putri Papa satu-satunya.”“Mmm, maaf, Pa, pasien Kinan—”“Iya, Papa tau. Kamu ini dokter gigi favorit di sini, makanya pasien apalagi yang anak-anak pasti lebih nyaman sama kamu. Kemarin bahkan Dokter Juniar sampai komplain loh, mereka pikir kamu Papa spesialkan.”“Ya? Tapi kan itu nggak benar.”Heru mengangguk setuju. Ia tidak pernah membeda-bedakan dokter yang ada di rumah sakitnya. Meski rumah sakit itu tidak sebesar rumah sakit di ibu kota, tapi Heru berupaya memberikan fasilitas yang terbaik untuk pasien dan dokter di rumah sakitnya. Dan ia tidak pernah mendahu
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “