Siang itu aku yang bingung memutuskan untuk melihat jadwal penerbangan. Aku tak bisa diam saja, ini bukan lagi masalah sepele. Apa lagi pertanyaan Kang Dadan semalam aku merasa itu bukan lagi andai-andai.
Berbekal tiket yang kupesan lewat online. Besok pagi seharusnya aku akan terbang. Tepat saat aku mulai memasukkan beberapa helai pakaian dan kebutuhan selama di perjalanan ibu malah masuk ke kamar.
“Kamu kok packing, mau ke mana? Inget, kamu ini lagi hamil. Jangan bilang kamu mau terbang ke sana!”
“Aku harus ke sana Bu, aku sudah dapet tiketnya.”
“Ayah kamu enggak akan ngizinin.”
“Kali ini aja, bisa enggak ibu minta sama Ayah buat ngizinin aku?”
“Ibu temani kamu ke sana, ya?”
Saat itu aku hanya bisa memeluk ibu dengan erat. Meski sejenak rasanya berada dalam pelukan ibu, begitu menenangkan.
Akhirnya setelah perdebatan alot semalam. Ayah mengizinkan kami untuk pergi dengan syarat Azam juga ikut. Untunglah saat itu kami
Saat itu tepat ketika Azam menuntunku keluar. Kami malah kembali berpapasan dengan Kang Dadan. Ia yang tampak gagah dengan pakaian adat, mendadak menghentikan langkahnya, tepat ketika kami saling menatap mataku tak kuasa menahan tangis lagi.“Yasmin!”Sepertinya dia mulai sadar dengan penyamaranku, tapi sungguh aku benar-benar tak peduli. Meski, ia berlari ke arahku. Aku benar-benar membencinya.“Yas, maafin Akang. Ini semua enggak seperti yang kamu pikirkan. Yas maafin, Akang. Kenapa kamu enggak bilang mau ke sini.”“Sudahlah Dan! Percuma kamu mohon-mohon, faktanya kamu mau menikahi perempuan lain,” ucap Ibu.Jangankan bicara rasanya untuk sekedar membuka mulut saja aku tak sanggup lagi. Rasanya terlalu sakit, mungkin jika dari awal Kang Dadan tidak memperlakukanku dengan sangat baik, rasanya mungkin tak akan sesakit ini.Kenapa Kang? Kalau aku tidak datang, mau sampai kapan kamu menyembunyikan pernikahan
“Enggak bisa begitu dong, Sayang. Akang enggak mungkin ninggalin kamu. Apa lagi lagi hamil.”“Memangnya apa yang enggak bisa Akang lakukan? Akang aja bisa menikah diam-diam di belakangku.”“Ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Akang juga enggak pernah cinta sama dia. Semua ini cuma sebatas tanggung jawab.”“Lalu apa tanggung jawabmu padaku? Kamu bahkan enggak bisa menepati janji setiamu.”Entah kenapa tiba-tiba langit mendadak mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.“Ayo masuk ke dalam dulu, sudah mau hujan!”Saat itu ia malah menarik lenganku. Entah kenapa rasanya perasaan jijik mulai menghampiriku? Entah berapa kali tangan ini menyentuh perempuan lain.“Lepasin tangan aku!”“Yas, percayalah Akang juga enggak pernah nyentuh Nining. Demi Allah, Yas! Walaupun Akang bolak balik rumha sakit, yang ngurus dia ‘kan perawat. Akang juga sadar
“Yas…. Tarik kata-katamu itu! anak-anak kita enggak salah. Akang yang salah. Kalau mau pukul saja Akang! Pukul sampai kamu puas!”“Memangnya dengan memukul, akan mengubah fakta kalau Akang sudah menikahi perempuan lain? Enggak ‘kan? Sudahlah hentukan semu aini, aku hanya ingin beristirahat. Kedatanganmu sangat mengganggu!”“Yas, aku tahu kamu marah. Kamu bisa istirahat sampai kapan pun akan pergi dari sini, tapi tolong jangan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri, apa lagi janin di kandungan kamu.”Memangnya kenapa mau melakukannya atau tidak, kenyataannya aku telah mati di hari di mana kamu memutuskan menikah, tanpa berdiskusi dulu denganku.“Yas, Akang mohon jangan kayak gini! Akang janji enggak akan pernah nyentuh dia. Percayalah! Kalau, bukan karena tanggung jawab Akang juga enggak mau menikah seperti ini.”“Itu urusanmu, aku enggak peduli kamu mau menafkahinya atau
“Geger satu kampung, tapi kompak buat tutup mulut."“Maafin aku ya Teh, seharusnya kalau dulu aku nekat aja ngasih tahu Teteh pasti sekarang pernikahan Teteh baik-baik saja.”“Sudahlah, kamu juga punya tanggung jawab sama keluargamu Tik. Enggak ada yang salah, memang sudah takdirnya begini. Terus sekarang apa yujuan kamu apa bicara semuanya? Udah terlanjur juga mereka menikah.”“Maaf kalau aku lancang, karena ikut campur masalah pribadi Teteh, tapi aku yakin Kang Dadan cintanya juga cuma sama Teteh.”“Dari mana kamu yakin? Namanya suami istri, lama-lama juga dia pasti berpaling sama istri mudanya. Apalagi mereka pernah dekat sebelumnya.”“Aku bisa bicara kayak begini, karena kemarin aja pas akad Nining langsung ditinggal. Kang Dadan nyusul Teteh ke rumah sakit, ‘kan?”Aku mana tahu soal itu. aku bahkan melarang pria itu untuk masuk.“Ba
“Mulutmu, Mbak. Jadi begini caramu bicara sama orang yang lebih tua?”“6 tahun aku mengabdi padanya, tapi apa yang aku dapatkan. Ibu malah menikahkan anaknya padamu.”“Aku begini juga, karena suamimu.”“Dan kamu memanfaatkannya untuk bisa menikah dengannya. Kamu pasti sangat bahagia sekarang?”Aku memindai penampilannya hari ini. Ia bahkan memoles make updengan sangat tebal.“Kenapa kamu melihatku begitu?”“Memangnya ada larangan melihat wajahmu? Apa kamu akan langsung memanggil tukang pukul ke sini?”Aku bahkan bisa merasakan perubahan wajah Nining yang memerah perlahan. Entah kenapa aku menikmati hal itu.“Kenapa kamu jadi pintar bicara? Sudahlah Ning, dari dulu dia memang begini. Ayo, kita pergi aja!”Dia pasti ketakutan kalau kedoknya akan terbongkar di depan menantu barunya itu. Aku hanya tersenyum menyaksikan kedua wa
“Bisa jadi Kang Dadan terpaksa nikahin Nining, karena enggak mau ngelihat kita celaka. Aku bukannya berada di pihak Kang Dadan, tujuanku bicara begini juga bukan maksud mendukung perbuatannya. Aku cuma pengen Mbak tahu, kalau Kang Dadan juga enggak diam aja.”Andai kamu tahu apa yang aku lakukan selama pernikahan kami berlangsung, aku hanya sudah lelah. Ini seperti puncak masalah, jadi ada pun kali ini ia memperjuangkan pernikahan kami, biarkan saja. Aku sudah tidak punya keinginan untuk menjalaninya lagi.“Ibu sama ayah sudah datang. Sudahlah lain kali saja kita bahas.”“Tapi, Teh.”“Zam, aku tahu kita mungkin berhutang budi, tapi kukira semuanya impas. Jadi enggak perlu merasa harus membalasnya dengan tetap mempertahankan pernikahan. Aku enggak ingin jadi alasan dia berbuat zalim. Menahan hak istrinya yang lain hanya demi menjaga perasaanku. Aku juga enggak yakin akan diam saja ketika harga diriku diinjak-injak.
Pernikahan itu bukan tentang siapa yang kalah dan menang. Inilah yang kutakutkan. Meski aku membenci setengah mati padanya, rasanya berbahagia di atas derita orang lain, seperti beban moral bagiku. Aku tak menampik, ada sedikit rasa bangga ketika melihat pria itu lebih memilihku di banding istri mudanya. Namun, apa gunanya kebahagiaan semu ini pilihannya terlalu banyak, mungkin dulu akulah yang terlalu sombong. Memberikan pria itu pilihan harus memilihku atau ibunya, lalu ketika Tuhan menghadirkan satu perempuan lagi, aku baru tahu rasanya menjadi pilihan.Sakit sekali, sampai-sampai aku merasa tercekik karenanya.~Aku memutuskan untuk pergi ketika aku baru sadar jika Kang Dadan malah semakin mendekat ke tempat di mana aku berdiri sambil mencuri dengar pembiacaraan mereka. Aku mempercepat jalanku, jangan sampai di sadar kalau sejak tadi aku berada di dekatnya.Sungguh aku belum siap untuk bertemu dengannya.Akhirnya aku sampai ke mobil. Ayah dan ibu sudah menunggu di sana. Rupanya y
“Bukan cuma kamu yang sakit Yas, aku juga sama. Sakit sekali melihatmu seperti ini, tapi enggak bisa melakukan apa-apa. Kamu pikir Akang juga baik-baik aja? Enggak, Yas.”“Tapi, Akang jahat. Akang tega duain aku.”“Kasih Akang waktu Yas, sebulan aja. Akang janji secepatnya bakal mengakhiri semua ini dan tolong jangan hukum Akang dengan cara seperti ini. Akang enggak bisa hidup tanpa kamu.”“Sekarang bilang enggak bisa, aku yakin kalau kembali ke Sukabumi beda lagi ceritanya. Akang aja sanggup nikah diem-diem. Memang apa lagi yang enggak bisa Akang lakukan?”“Makanya dari itu Akang ke sini mau memperbaiki semuanya.”“Enggak ada yang bisa diperbaiki, Kang. Aku bahkan udah kehilangan kepercayaan sama Akang.”“Yas kita pasti bisa melewati ini, asalkan kamu dukung Akang, semuanya pasti akan kembali ke semula.”“Aku bahkan melihat Ibu sangat bahagia sa
Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern
Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas
“Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik jugahanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya