"Bu Wulan, ada telpon dari Bapak."
Suara ketukan pintu kamar menyadarkan Wulan dari lamunannya. Tangisan tanpa suara itu terhenti seketika. Susah payah Wulan meredam suaranya. Berharap Bik Tika tak akan mendengar isakan tangisnya.Dengan gerakan cepat Wulan mengelap air matanya. Bukan dengan tisu ataupun sapu tangan. Ujung kerudung yang sudah acak-acakan dipilih Wulan sebagai penghapus jejak bulir beningnya."Bilang Bapak saya sedang tidur. Seperti itu saja, Bik Tika. Badan saya kurang nyaman."Wulan sengaja tak membuka daun pintu kamarnya. Tak ingin membiarkan wanita paruh baya itu tahu kondisinya saat ini."Ibu sakit? Sejak pulang tadi Ibu belum keluar kamar."Wulan menghela napasnya dalam-dalam. Memastikan paru-parunya penuh terisi oksigen. Memastikan sistem peredaran darahnya tetap optimal."Hanya kurang enak badan saja, Bik. Pusing dan sedikit masuk angin. Tapi saya sudah minuDengan lincah Wulan melajukan kendaraan roda duanya. Membelah jalanan yang cukup padat di siang hari ini. Berusaha fokus pada kemudi dan jalanan yang ada di hadapannya. Damar memang pernah berniat untuk membelikannya kendaraan roda empat. Setahun yang lalu, bertepatan dengan ulang tahunnya. Dengan tegas Wulan menolak. Lebih nyaman dengan kendaraan yang dibelinya dengan keringat sendiri. Lebih cepat menuju tempat yang ingin dituju, seperti saat ini. Jika memang lelaki itu tak lajang lagi, mengapa tak ada kabar itu sampai ke telinganya? Mengapa tak ada seorang pun pegawai kantor suaminya yang mengatakan itu padanya? Mengapa mereka pun ikut tutup mulut dan menutupi kebenaran yang ada? Banyak tanya yang kembali menyeruak dalam pikirannya. Wulan sendiri tak mengerti mengapa selama ini dirinya tak pernah curiga pada suaminya. Tak pernah heran atas segala kejanggalan yang memang harusnya disadari.Mematikan mesin kendaraan, tanpa
"Saya merasa pernah berjumpa dengan Ibu sebelum ini. Saya yakin, tak akan salah," ucap Wulan dengan tegas. Tiba-tiba saja memori otak Wulan seakan menyadari sesuatu. Sel-sel sarafnya bekerja saat terhubung satu sama lainnya. Kisah kehidupan memang tak akan dapat diduga. Kadang Allah menghadirkan sesuatu tanpa diduga. Wanita paruh baya itu tampak memicingkan matanya. Membingkai wajah Wulan dengan penuh tanya. Tak lama berselang, dahi keriputnya mengernyit. "Kapan? Rasanya kita belum pernah berdua. Ini kali pertama kita berjumpa."Wulan melengkungkan bibirnya. Mengulaskan senyum ramah yang memang menjadi ciri khasnya. "Sudah lama. Tapi rasanya saya tak akan salah mengingat wajah. Meskipun dua tahun terlewati, saya masih ingat wajah Ibu."Wulan memindai wajah wanita itu dengan lebih seksama. Gurat keriput mulai terlihat di beberapa bagian area wajah. Tak salah. Wanita ini yang pernah dilihatnya. Ing
Nada memelas hadir seiring kalimat yang diucapkan wanita itu. Membuat Wulan berusaha menekan emosinya. Tentu saja agar nada bicaranya tak ikut naik nantinya. "Jika memang Ibu tak tahu apa-apa, mengapa harus pergi buru-buru? Saya tak akan memaksa Ibu mengatakan sesuatu yang tak Ibu ketahui. Yang penting Ibu sudah berkata jujur. Ibu jujur kan? Tak berdusta?"Masih dengan nada lembutnya, Wulan mencoba memancing sisi baik wanita ini. Dirinya yakin jika wanita yang ada di hadapannya saat ini sejatinya orang yang tak pandai berdusta. Gelagat itu jelas terlihat sejak Wulan mengajukan pertanyaannya. Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang didapatkan Wulan. Lirih bibirnya mengucapkan istighfar agar kekesalannya mampu ditekan. "Saya akan melepaskan tangan Ibu. Tapi Ibu berjanji mau saya ajak duduk makan dulu di warung bakso itu. Saya lihat Ibu tampaknya pucat. Tubuh Ibu pun sedikit gemetar. Saya tak ingin terjadi sesuatu pada I
"Jawab dulu pertanyaan saya! Jujurlah! Bibik pernah bekerja di rumah suami saya bukan?" tegas Wulan sekali lagi. Menahan napasnya, Wulan bersiap dengan apa pun yang akan didengarnya nanti. Seburuk apa pun kenyataan yang harus didapatkannya lagi. Dusta berikutnya dari lelaki yang masih bergelar suami. Entahlah. Apakah masih ada dusta berikutnya lagi yang akan terbongkar nanti? "Tak usah berbohong, Bik. Sikap Bibik sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskannya. Saya hanya ingin mendengarnya langsung dari bibir Bibik. Hanya itu," ucap Wulan dengan lirih. Memasrahkan diri atas apa pun yang akan terjadi. Dirinya dapat berbuat apa? Bukankah semua ini merupakan jalan takdir yang harus dijalaninya? Wulan harus menyiapkan diri. Ternyata lelaki yang selama ini dipercayainya seolah pendusta sejati. "Ibu istri Pak Damar?" Lirih pertanyaan itu terucap dari bibir Bik Atun. Dan Wulan memilih menjawab dengan ang
"Saya Wulan. Panggil nama saja, Bik."Dengan cepat Wulan meraih beberapa helai tisu. Sementara Bik Atun juga tampak menghentikan suapannya. Mungkin merasa tak enak hati atas situasi yang telah terjadi. "Bibik pernah bertemu Bu Hanum. Baik orangnya?" Lirih Wulan melontarkan tanya. Ingin tahu pribadi wanita itu sebenarnya di mata wanita tua ini. "Baik, Bu. Ramah dan penyabar. Kurang lebih sama seperti Ibu. Beliau sempat bercerita dan menitipkan amanah. Menjaga Pak Damar seperti anak sendiri pada Bibik. Beliau tak dapat ikut pindah kala itu karena ada usaha yang tak dapat ditinggalkan. Anak-anak pun masih sekolah."Netra Wulan kembali berkaca-kaca. Mendengar penuturan Bik Atun ini, Wulan menyadari satu hal. Hanum wanita yang baik. Hanya saja wanita itu sedang memperjuangkan harga dirinya. Sebagai istri dan sebagai ibu dari dua buah hatinya. Sebaik apa pun wanita pasti akan meradang jika dalam posisi
Wulan baru saja mematikan mesin motornya ketika Bik Tika tergopoh-gopoh menemuinya. Wanita itu gegas melangkah ke arah garasi sembari menggendong Syifa di bagian tubuh kanannya. Putri Wulan itu tampak sudah mandi dengan rambut diikat kuncir kuda. Rambut hitam lebat Syifa menurun dari Wulan. Namun tetap saja bentuk hidung dan alisnya jelas didapatkan dari sang ayah. Tampak gadis itu tersenyum bahagia melihat kedatangan sang bunda. "Ibu kemana saja? Bibik telepon tak dijawab-jawab. Pesan pun tak dibaca-baca. Jujur … Bibik cemas, Bu. Apalagi Bapak menelepon terus. Bibik tak tahu harus berkata apalagi jika terus dicecar seperti tadi."Wulan menepuk dahinya. Pertemuan tak sengaja dengan Bik Atun tadi telah menyita perhatiannya. Benda berlayar pipih sebagai alat komunikasi zaman kini itu diacuhkan oleh Wulan sejak meninggalkan rumah tadi. Perlahan Wulan membuka tas selempang kecil yang ada di hadapan tubuh. Membuka bagian depannya
Menutup pintu depan dengan cepat dan tak lupa menguncinya, Wulan tetap menggendong Syifa dalam dekapannya. Masuk ke dalam kamar tidurnya setelah sebelumnya meraih kotak mainan putrinya itu dari ruang tengah. "Syifa main dulu ya! Bunda mau mandi," ujar Wulan seraya menuangkan isi kotak mainan itu ke lantai kamarnya. Tepat di bagian depan tempat tidur memang digelar karpet tebal yang menjadi area bermain Syifa. Sengaja tata letak kamar tidur utama ini diubah oleh Wulan sejak kehadiran putrinya. Menyediakan ruang yang nyaman untuk bermain di kamar sembari melepas penatnya bekerja. Anggukan kepala diberikan Syifa sebagai jawaban. Wajah gadis itu membingkai senyum. Seolah ingin membalut luka sang ibu. "Bunda mandi saja," sahut putri kecil Wulan itu dengan gaya bicara khas anak kecilnya. Melihat Syifa yang mulai sibuk dengan boneka dan beberapa jenis buah-buahan mininya, Wulan bergegas masuk ke kamar mand
Wulan menatap langit-langit kamarnya. Meratapi nasib yang seolah sangat tak berpihak padanya. Bahagianya hanya sepenggal jalan. Sengaja kembali mengurung diri di kamar setelah kedatangan Bik Tika tadi. Menutup rapat pintu dan menguncinya. "Ibu ke dokter saja ya? Naik taksi online," pinta Bik Tika saat baru datang tadi. Wajah itu terlihat cemas. Melangkah terburu-buru masuk ke dalam rumah yang memang sudah dibuka Wulan sejak habis Subuh tadi. Membiarkan udara pagi masuk ke dalam rumah melalui pintu dan jendela yang terbuka, Wulan berharap ada kesegaran yang menyapa. "Semalaman saya khawatir memikirkan kondisi Ibu. Mau ke sini tapi Mang Dayat ada undangan hajatan. Pulangnya sudah kemalaman."Wulan menyunggingkan senyumnya. Senyum yang dipaksakan. Dan pasti Bik Tika tahu itu. "Tak udah, Bik. Saya minum obat saja. Titip Syifa ya! Saya mau tiduran di kamar. Jika ada yang mencari, tolong sampaikan say
"Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint
Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in
"Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi
"Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke
Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m