Damar tampak gugup. Lelaki itu tampak meraup wajahnya dengan kasar. Memejamkan mata sebelum akhirnya menatap sendu pada istrinya.
"Hanum? Bukankah Mas sudah pernah menjelaskan sebelumnya? Jauh-jauh hari, tak lama setelah pernikahan kita terjadi," tutur Damar memberi penjelasan.Gurat kegugupan itu tak tampak lagi. Raut wajah itu sudah kembali seperti sebelumnya. Namun Wulan tahu, sepasang mata lelaki itu dengan menyembunyikan sesuatu.Namun ternyata tak memberitahukan apa pun kepada suaminya ini. Wanita itu memilih membungkam mulutnya atas semua yang telah dilakukannya pada Wulan. Membiarkan Wulan mengambil keputusan setelah semua fakta dibeberkannya.Wulan tahu, Hanum tak akan menyerah. Wanita itu akan melakukan aksi lainnya jika Hanum tak menentukan sikapnya. Bukan tak mungkin, wanita itu akan mengambil langkah yang lebih berani daripada kemarin.Wulan berdiri tegak menatap suaminya. Memindai lelaki itu dengaDiam. Damar tak kunjung memberikan penjelasan pada Wulan. Dan Wulan memilih membiarkan suaminya menunjukkan sikap sejatinya. Sebagai seorang laki-laki. "Mas mencintaimu, Dek. Cinta itu hadir saat kita pertama kali bertemu. Mas merasakan cinta yang luar biasa. Pertama kalinya dalam hidup, Mas."Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Damar. Setelah kebisuan yang menyerang mereka beberapa lama. "Mas lupa punya istri dan dua orang anak di rumah yang menunggu kabar setiap harinya?" desis Wulan perlahan. Damar membalikkan tubuhnya. Menatap dengan raut wajah terkejut sekaligus bingung ke arah Wulan. "Tak usah terkejut begitu, Mas. Aku sudah melihat semuanya. Putri Mas, Raya Putri Kirana cantik. Putra Mas, Hanif Fathurrahman pun menggemaskan. Apalagi istri Mas, Hanum Khoirunnisa. Tak ada cacat pada dirinya."Wulan melengkungkan bibirnya. Mencetak senyum di bibir mungilnya. Bukan senyum bahagia. Senyum
"Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Ucapkan talak untukku hari ini juga!"Tegas Wulan mengucapkan pintanya. Bukan keputusan sesaat. Inilah keputusan terbaik yang harus diambilnya. Wulan sudah mengambil keputusan. Memilih mundur merupakan pilihan terbaik dan terhormat untuknya. Tak boleh ada yang merendahkan dirinya hanya karena statusnya yang ternyata istri kedua. Bukan keputusan yang mudah, namun harus diambilnya. Keraguan yang awalnya mendera ketika melihat sepasang mata putrinya yang sedang lelap tergantikan oleh harga diri yang sedang dipertaruhkan. Saat sepanjang malam terjaga, Wulan memilih untuk bermunajat tanpa henti kepada Sang Khalik. Mengadukan isi hati yang sedang terluka sepanjang malam yang dingin. Memohon petunjuk atas segala resahnya. Melafalkan pinta terbaik agar dirinya tak salah langkah. Hujan yang mengguyur kota Pangkalpinang seakan turut merangkai tangis untuk dirinya. Luka tercipta setelah
Wulan merasa sesak ketika mulutnya tertutup rapat. Bahkan lubang hidungnya pun ikut tersumbat. Tak ada jalan oksigen masuk ke pembuluh darahnya. "Mas menikah dengan Hanum karena perjodohan. Lebih tepatnya balas budi sebagai bentuk bakti seorang anak angkat pada orang tuanya. Mas tak berbohong tentang asal usul diri ini. Seorang yatim piatu yang hidup di panti asuhan dan akhirnya beruntung disekolahkan oleh orang tua Hanum."Wulan terisak. Tubuhnya terus bergerak berusaha melepaskan diri dari kungkungan. Mencoba meraup oksigen dari sekelilingnya. Perlahan Damar melepaskan bungkamannya. Membiarkan istrinya melepaskan diri dan berbaring di atas kasur mereka. Mengambil posisi duduk di atas karpet hijau, Damar menyandarkan punggungnya pada bagian tepi tempat tidur. Lelaki itu mengambil sikap bersila membelakangi tubuh istrinya. "Raya bukanlah anak kandung Mas. Menikahi Hanum hanyalah sebagai bentuk usaha Mas untuk membantu menjag
Sontak saja Wulan menguatkan tubuhnya. Menepis lengan Damar yang sedang membopongnya. Ucapan Bik Tika di balik pintu kamar itu jelas membuat tubuh lemahnya seolah mendapat tenaga ekstra. Gegas kaki Wulan melangkah menuju ke arah pintu dan membukanya dengan cepat. Saat daun pintu terbuka, tatapan Wulan bertemu dengan wajah Bik Tika terlihat sedang tegang"Maaf, Bu Wulan. Pesan neneknya Syifa tadi Ibu diharapkan langsung berangkat. Soalnya tadi ditelepon oleh beliau, tapi kontak Ibu tak aktif terus."Wulan menepuk dahinya. Gawai miliknya memang dimatikan sejak tadi pagi. Hanya meminta izin atas ketidakhadirannya, setelah itu Wulan memilih menonaktifkan benda hitam berlayar pipih itu. "Terima kasih, Bik. Saya berangkat sekarang. Titip Syifa ya!" balas Wulan dengan cepat yang disambut anggukan kepala oleh Bik Tika. Wanita itu pun gegas berlalu dari hadapan Wulan. Syifa yang ditinggalkan bermain tentu tak boleh dibi
Berhasil melewati daun pintu, Wulan gegas menghidupkan mesin sepeda motornya. Menyambar helm dan memasangkannya ke bagian kepala. Memilih tak lagi melihat keberadaan Damar yang entah dimana. Tanpa membuang waktu, Wulan melajukan sepeda motor itu dengan kecepatan yang cukup tinggi. Berpacu dengan waktu, entah apa yang sedang terjadi di rumah sakit sana. Apakah ayahnya dilarikan ke rumah sakit? Kondisi kesehatan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu memang tak baik akhir-akhir ini. Tekanan darah tinggi ditambah kadar gula darah yang jauh di atas normal membuat kakek Syifa itu sering terbaring di tempat tidur. Penyakit yang sudah lama diidap lelaki paruh baya itu semakin mengkhawatirkan sejak tiga bulan terakhir ini. Wulan mengembuskan napasnya dengan kasar ketika mengerem mendadak. Usahanya mencegah agar tak terkena lampu merah gagal. Sebegitu parahkah kondisi ayahnya? Selama ini laki-laki itu memang rutin meminum obat-oba
"Dek, Mas … ""Mengapa harus ke sini?"Wulan memotong kalimat yang baru sepenggal diucapkan suaminya itu. Lirih namun penuh ketegasan dan amarah. Masih dengan nada suara yang direndahkan, Wulan berusaha kalimat yang diucapkannya tak terdengar selain Damar. Menghujam lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu dengan tatapan mematikan. Wulan tak mengharapkan kehadiran lelaki ini sekarang. Sungguh, dirinya benar-benar lelah berhadapan dengan lelaki yang telah menghadiahkan segudang dusta untuknya ini. Mengapa lelaki ini menyusulnya? Dan bagaimana dia dapat mengetahui kamar inap ayahnya ini? "Damar! Bukankah tadi Wulan bilang kamu sedang rapat di Jakarta?"Seperti yang sudah diduga Wulan, ibunya pasti akan mempertanyakan keberadaan Damar sekarang. Apalagi tadi Wulan mengatakan jika suaminya itu sedang ada kegiatan di Jakarta. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bersandiwara seol
"Lan, mengapa kamu masih berdiri di depan pintu sana? Damar pasti lelah. Ambilkan air untuk suaminya! Ada air mineral beberapa botol dibelikan Ayu tadi sebelum pergi. Ibu mau ke musala dulu ya! Belum salat Zuhur soalnya! Titip Ayah!"Tanpa menunggu jawaban Wulan, Bu Yayuk bergerak ke arah tas yang terletak di dalam nakas. Wanita itu meraih tas kecil yang Wulan sangat tahu isinya. Perlengkapan salat yang selalu dibawa ibunya kemana-mana. Kebiasaan yang tak pernah berubah sejak dulu. "Wulan ikut Ibu! Belum salat juga soalnya!" Ucapan Wulan membuat Bu Yayuk menghentikan langkah. Menolehkan kepala ke arah putri bungsunya. "Kamu temani Damar saja dulu, Lan! Nanti kamu salatnya bareng suamimu saja."Tak memberi kesempatan pada Wulan untuk membantah, sang ibu pergi tanpa lagi bicara. Wulan hanya mampu menghela napas panjangnya. Mengapa situasi menjadi sulit? Berdua saja den
Wulan meraup wajahnya dengan telapak tangan kanan. Gerakan terakhir setelah salam dilafazkan. Salat Zuhur baru saja saja ditunaikannya. Ada sedikit rasa tenang di hati Wulan. Memang Allah Maha Segalanya. Tempat berserah diri hamba-Nya yang hina.Memilih tak membuka mukenanya, Wulan menengadahkan telapak tangannya. Bermunajat melantunkan pinta. Memohon petunjuk terbaik atas prahara rumah tangganya. Tidak. Ini bukan prahara. Ini adalah kenyataan pahit yang tersembunyikan dengan sengaja selama ini. Ibarat bom waktu yang siap meledak kapan pun. Dan inilah saatnya. Memejamkan mata, ingatan Wulan membayang pada peristiwa di kamar inap ayahnya tadi. "Kamu tak apa-apa, Lan?"Lirih lelaki itu berkata sembari memandang wajah putrinya. Tatapan sedih bercampur sendu. Seolah paham akan kegundahan hati sang bungsu. "Ayah sudah sadar?"Gegas Wulan mendekat ke arah ayahnya. Menciumi
"Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint
Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in
"Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi
"Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke
Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m