Aku cepat-cepat memakai jilbabku dan perlahan keluar dari kamar. Tak lupa kubawa gawaiku untuk mendapatkan bukti. Kuperhatikan sekeliling, memastikan Mama dan Papa sudah tidur. Tanpa ragu lagi aku langsung berjalan menuju ke arah pintu belakang, karena aku hafal betul setiap sudut rumah ini.
Kubuka pintu belakang dan memperhatikan sekeliling, lalu perlahan berjalan menuju arah rumahku. Aku menyusuri setiap sudut rumah, dan ternyata semua pintu terkunci.Bagaimana aku bisa masuk? Aku teringat ada pintu darurat yang ada di ruang bawah tanah, tapi tidak mungkin masuk ke sana di malam hari, apalagi aku tidak membawa senter.Akhirnya aku teringat kalau ada pintu yang menghubungkan dua rumah itu melalui dapur. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan kembali ke arah rumah orang tuaku, dan langsung menuju arah dapur.Aku mencari-cari kunci di antara deretan kunci yang tergantung di samping pintu dapur. Aku tidak pernah sekalipun membuka pintu itu, jadi aku harus mencoba kuncinya satu persatu. Hingga sampai pada kunci terakhir ..."Siapa di situ?"Aku tersentak kaget dan refleks bersembunyi di balik kabinet yang ada di samping pintu. Seseorang menyalakan lampu, dan ada langkah masuk ke dapur. Aku menutup mulutku kencang, menahan degup jantung yang makin kencang."Ish, belakangan ini banyak tikus. Besok harus memanggil pembasmi tikus sebelum Tuan ngomel," terdengar suara salah satu pelayan yang ada di rumah itu.Setelah selesai memeriksa, dia keluar dari dapur dan mematikan lampu. Aku seketika membuang napas lega. Ya Allah, aku merasa seperti maling di rumahku sendiri.Perlahan aku keluar dari tempat persembunyian dan membuka pintu dengan kunci terakhir yang kupegang. Berhasil. Pintu akhirnya terbuka, dan aku langsung masuk ke sana. Tak lupa kututup kembali pintu itu agar tak ada orang yang curiga.Aku melepas alas kaki yang kupakai dan perlahan berjalan dengan hati-hati menuju ruangan yang langsung terhubung dengan ruang tengah itu. Ruangan itu terlihat terang, artinya penghuni di sana belum tidur."Sebenarnya akan lebih mudah jika mereka mempekerjakan suster yang kupilih," terdengar suara Tante Merly dari arah ruang tengah.Aku perlahan berjalan perlahan menuju balik pintu, mencoba menangkap pembicaraan mereka dari sana."Apa rencana Tante?" terdengar suara Mas Ridho."Tenang saja, akan kupastikan perawat itu tidak betah di rumah ini," ucap Tante Merly lagi.Perawat? Apa yang mereka maksud itu aku? Mereka mencoba menyingkirkanku? Tapi kenapa?"Mama mau tidur dulu, capek sekali seharian pura-baik di depan mereka."Terdengar suara langkah kaki Tante Merly menaiki tangga, menuju kamar atas. Berarti tinggal Mas Ridho dan Evelin saja di ruangan itu."Ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah melihat perawat Tante Ema itu. Tapi di mana, ya?" terdengar suara Evelin.Deg! Mereka pernah melihatku mengintip kamar inap Mama waktu itu, dengan memakai baju pasien. Apa mereka ingat?"Sudahlah, itu tidak penting," sahut Mas Ridho. "Yang terpenting sekarang kita bisa leluasa bertemu setiap saat."Aku sedikit mengintip dari balik pintu, dan melihat kedua manusia laknat itu saling bercumbu. Aku menarik kepalaku kembali. Aku jijik melihat mereka seperti itu."Untunglah Ara bisa mati dengan mudah, jadi kita hanya tinggal menyingkirkan Mamanya saja," terdengar suara Evelin tertawa cekikikan. "Harusnya wanita tua itu juga sudah mati saat masuk rumah sakit kemarin."Jangan buru-buru, sayang. Kalau dua orang dalam rumah ini mati dalam waktu yang hampir bersamaan, orang-orang akan curiga."Mataku membulat. Aku mengepalkan tanganku dengan geram. Apa maksud mereka? Apa mereka mau mencelakai Mama? Atau jangan-jangan kecelakaan yang terjadi padaku waktu itu ulah mereka juga? Kepalaku tiba-tiba terasa amat sakit memikirkan semua hal itu jadi satu."Masuk yuk Mas, aku kangen," terdengar suara Evelin berkata manja pada pria yang masih suamiku itu.Terdengar suara langkah kaki mereka berdua, lalu suara pintu terbuka. Lampu ruang tengah dimatikan. Sepertinya mereka masuk ke dalam kamar. Aku memberanikan diri mengintip lagi. Ruangan itu sudah sepi.Aku keluar dari tempat persembunyian dan perlahan berjalan menuju arah kamar. Aku semakin geram saja saat melihat ternyata mereka memasuki kamarku, kamar tempat aku dan Mas Ridho seharusnya memadu kasih sebagai suami istri.Aku menahan napas, karena dadaku kian sesak. Aku mendekati pintu kamar yang bahkan tidak mereka tutup dengan rapat itu. Suara desahan mereka yang sedang berbagi peluh semakin membuat darahku mendidih.Tidak, kamu harus tetap tenang, Ana. Kamu harus bisa mengungkap kebusukan mereka di depan orang tuamu.Aku mengambil gawai dari sakuku, lalu menyalakan kamera. Perlahan kuarahkan ujung gawaiku dari balik pintu yang terbuka.Kupastikan kamera mengarah tepat ke arah pergumulan dua manusia laknat itu.Setelah beberapa menit merekam, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah tidak sanggup lagi melihat apa yang mereka lakukan. Dadaku bergemuruh hebat, menahan sakit yang teramat sangat.Dengan langkah gontai aku meninggalkan ruangan itu, dan berjalan keluar. Kali ini aku berjalan keluar rumah, tidak kembali lagi ke dapur. Aku butuh udara segar untuk untuk menenangkan pikiranku sejenak, setelah apa yang baru saja kulihat dan kudengar.Aku perlahan berjalan melewati jendela kamar itu dan keluar pekarangan rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara Evelin menjerit."Ara!!! Itu Ara!!!"Aku seketika tersentak kaget dan menghentikan langkah, lalu secara refleks bersembunyi di balik pagar yang terbuat dari tanaman. Terdengar suara pintu jendela terbuka."Aku melihat Ara!!!"Jantungku seketika berdegup kencang. Apa aku ketahuan?Aku masih mendengar suara Evelin menjerit-jerit. Perlahan aku merangkak melalui bawah pagar mendekati mereka."Aku benar-benar melihat Ara, Mas! Dia berjalan di luar jendela!" teriak Evelin histeris."Tidak ada siapa-siapa, Sayang. Itu cuma bayanganmu saja," terdengar suara Mas Ridho menenangkan Evelin."Aku sungguh-sungguh, Mas!" suara Evelin terdengar gemetar. "Bagaimana ... bagaimana kalau dia berubah jadi setan terus menghantui kita?""Ngaco kamu!" ucap Mas Ridho lagi. "Sudah tenanglah, jangan sampai ada orang yang dengar."Terdengar suara jendela ditutup. Aku membuang napas lega. Mungkin wajahku sudah berubah, tapi bentuk tubuhku tetap sama. Tidak akan terlalu terlihat jika aku memakai seragam suster, tapi jika aku memakai gamis dan jilbab yang dulu biasa aku pakai, sudah pasti akan sama persis dengan Ara, dengan wajah yang berbeda. Evelin yang tumbuh bersamaku sedari kecil pasti akan tahu.Mengingat hal itu, aku menyunggingkan senyum geli. Sebuah pikiran gila tiba-tiba memasuki
"Ara, mulai hari ini Evelin akan tinggal bersama kita. Sekarang dia saudari kamu," ucap Papa saat pertama kalinya dia membawa Evelin ke rumah.Saat itu umur dia masih enam tahun, lebih muda dua tahun dariku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Semua yang Mama dan Papaku belikan untukku, mereka juga membelikannya untuknya. Orang tuaku sangat menyayanginya, tanpa pernah membeda-bedakan kami berdua. Aku sungguh ingin tahu, apa yang menyebabkan dia dan Mamanya berbuat seperti itu pada keluarga kami?Sedangkan Mas Ridho, dia menikahiku atas permintaan Papa. Jika dari awal dia mencintai Evelin, seharusnya dia bisa menikahi Evelin waktu itu. Kenapa harus menikahiku lebih dulu kalau hanya untuk menyingkirkanku? Jika hanya untuk menguasai harta Papa saja, seharusnya mereka tidak perlu mencoba menyingkirkanku dan Mama. Ada apa ini sebenarnya? Aku harus tahu motif mereka sebenarnya."Anna," Mama menggoncang kan lenganku, menyadarkanku dari lamunan.Aku baru saja mengantar Mama kembali ke
Aku mengelus pundak Mama, sambil menahan sesak di dada. Tidak, aku harus kuat. Mama tidak akan bisa menyimpan rahasia. Dia tidak pernah bisa berbohong di depan Papa.Bukan aku tidak mempercayai papa kandungku sendiri, tapi perubahan sikapnya benar-benar membuatku bimbang. Aku tidak boleh ketahuan sekarang, setidaknya sampai aku berhasil memecahkan teka teki rumit yang ada dalam keluargaku."Dia pasti masih pasti masih hidup, Anna. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanku secepat ini," ucap Mama lagi, belum bisa menghentikan tangisnya.Aku berjongkok di depannya, menggenggam tangannya erat."Dengarkan saya, Nyonya," ucapku sambil menatap serius padanya.Dia menatapku dengan air mata yang masih menggenang."Jika Nyonya yakin dia masih hidup, maka percayalah padanya. Bagaimanapun, Non Ara pasti ingin Nyonya kuat. Dia akan sangat sedih melihat Nyonya seperti ini," ucapku meyakinkannya.Mama seketika mengusap air matanya."Iya, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah menghadapi orang yang men
POV Ridho"Menerima permintaan Om Hermawan untuk menikahi Ara? Apa kau sudah gila Evelin?" tanyaku pada wanita yang sudah menjalin hubungan denganku selama dua tahun itu."Kau harus menerimanya, Ridho," jawab Evelin sambil memegang lenganku. "Dengan begitu kau bisa mengambil kepercayaan Om Hermawan sepenuhnya."Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku memang bukan pria yang baik, tapi aku juga tidak mungkin mempermainkan sebuah pernikahan."Dengarkan aku, Sayang," Evelin memegang pipiku, menatapku dengan serius."Om Hermawan akan menyerahkan sebagian saham padamu jika kau menikahi Ara," ucapnya. "Sedangkan sebagian lagi cepat atau lambat akan kudapatkan. Kita hanya butuh menyingkirkan kecoa saja."Aku menatap Evelin."Aku tidak mau menyentuh wanita itu," ucapku.Evelin tersenyum lalu mengecup pipiku."Tenang saja, malam pernikahan kalian bisa dipastikan malam terakhir kita melihat Ara," ucapnya sambil memeluk pinggangku.Aku membalas pelukannya, wanita yang benar-benar kuc
POV Ara"Apa yang harus Ara lakukan, Om? Kalau begini, Mama akan benar-benar dalam bahaya," ucapku pada Om Adam.Om Adam tampak berpikir sejenak, lalu menatapku."Apa mereka tidak curiga padamu? Bagaimana dengan suaramu?" tanyanya."Aku jarang sekali berbicara dengan mereka, dan selalu menyamarkan suaraku dengan masker," jawabku.Om Adam tampak mengangguk, lalu menatapku."Dengar Ara, ada kemungkinan mereka merencanakan membunuhmu untuk menguasai harta milik keluargamu," ucapnya kemudian."Lalu aku harus bagaimana, Om? Apa aku harus memberi tahu Mama?""Jangan," sahut Om Adam. "Untuk sementara kita harus mencari barang bukti terlebih dahulu."Om Adam bangkit, lalu mengambil sesuatu di laci lemari yang ada di samping ruang tamu. Dia mengambil beberapa buah kamera kecil dan memberikannya padaku."Cari bukti tentang apa yang telah mereka lakukan. Bukti yang cukup kuat untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara."Aku menelan saliva, lalu mengangguk."Masalah tentang kematian Wati, serahka
Ketika langkah Tante Merly semakin mendekat, pelan-pelan aku mengambil gawaiku yang sejak awal sudah kumode hening. Aku secepat kilat menekan sebuah nomor.Gawai Evelin seketika berdering. Tante Merly menghentikan langkahnya."Siapa, Lin?" tanyanya pada putrinya."No-mer tak dikenal, Ma," suara Evelin terdengar gemetar.Mereka memang belum tahu nomerku. Satu-satunya yang tahu dalam keluarga ini hanya Mama. Setelah ini aku juga akan menggantinya. Langkah Tante Merly seketika menjauh, menuju ke arah puterinya."Biar kuangkat," ucap Tante Merly.Begitu Tante Merly mengangkatnya, aku mematikan telepon."Siapa, Ma?" tanya Evelin."Mungkin orang iseng," jawab Mamanya, lalu mematikan lampu kamar. "Sudah tidak ada siapa-siapa. Mama capek, mau tidur."Tante Merly pergi meninggalkan Evelin yang masih berdiri di tempatnya, sepertinya masih memeriksa gawainya. Aku seketika mengetik sebuah pesan dan mengirim ke gawainya.[ Evelin, tolong aku. Di bawah sini gelap ]Terkirim. Aku mulai menghitung be
Aku mengantarkan Mama masuk ke dalam kamarnya, lalu berjongkok di hadapannya. Kulihat butiran bening meluncur berkejaran di pipinya."Nyonya tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat.Mama mengusap air matanya, lalu menatapku sambil mencoba untuk tersenyum."Aku tidak apa-apa, Anna," jawabnya dengan sedikit tersendat. "Aku hanya merasa sendirian sekarang.""Kenapa Nyonya berpikiran seperti itu? Nyonya tidak sendirian," ucapku berusaha menghiburnya."Putriku sudah tiada. Satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku sudah tiada," ucapnya lagi, dengan air mata kembali mengalir. "Aku sekarang benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi.""Kenapa Nyonya bicara seperti itu? Nyonya masih punya keluarga ini," air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku ikut menangis."Tidak, Anna. Kamu tidak mengerti. Aku hanya punya putriku saja. Lebih baik aku pergi. Aku ingin menyusul putriku.""Tidak, tidak Nyonya. Ara masih hidup,"ucapku, tak bisa menahan diri lagi. "Dia masih hidup."
Akhirnya hari itu tiba. Malam ini adalah hari di mana Evelin dan Mas Ridho akan mendapatkan jabatan dan hak waris atas saham milik Papa secara resmi. Inilah saat yang tepat aku bisa menghentikan semua itu dan membongkar semua kecurangan mereka."Apa malam ini Ara akan datang, Anna?" tanya Mama tampak gelisah, ketika aku merawatnya seperti biasa.Aku memperlihatkan senyumku meskipun di balik masker."Nyonya tenang saja. Malam ini dia pasti akan datang," jawabku."Syukurlah," Mama membuang napas lega, tapi bisa kurasakan hatinya masih bimbang.Setelah selesai membantu Mama membersihkan diri, aku mendorong kursi rodanya menuju ruang makan, dimana semua sudah berkumpul seperti biasa."Malam ini kalian bersiaplah. Papa sudah mempersiapkan semuanya," ucap Papa sambil menikmati sarapannya.Kulihat Mas Ridho dan Evelin saling berpandangan sesaat dan saling tersenyum."Aku mau Anna ikut bersamaku dalam acara itu," ucap Mama."Loh, dia kan cuma suster? Semua yang ada di acara itu orang-orang pe
"Katakan padaku dengan jujur, Ara. Apa kamu mencintai Lutfi?"Ara hanya menelan saliva, tak mampu menjawab."Jawab, Ara. Jawabanmu sangat berarti bagiku," ucap Dokter Maya lagi."Aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian, Dokter," jawab Ara lirih."Itu artinya kau benar-benar mencintainya."Ara diam tak menjawab. Dia hanya bisa menunduk. Dokter Maya memegang kedua tangan Ara dengan kedua tangannya."Dengarkan aku, Ara," ucapnya. "Kalian saling mencintai, jadi jangan biarkan dia pergi."Ara mengangkat wajahnya, lalu menatap Dokter Maya heran."Kenapa Dokter bicara seperti itu?" tanyanya."Lutfi setuju untuk menikahiku karena ingin menolongmu," ucap Dokter Maya lagi. "Orang tuanya mau membantunya untuk hal itu."Mata Ara membulat karena terkejut, tapi sesaat kemudian dia membuang napas lega."Syukurlah, ternyata dugaanku salah," ucap Ara tak bisa menahan air mata."Ara ... ?""Kupikir dia menderita karena terlalu banyak menolongku. Aku takut dia ingin pergi dariku karena tidak mau lagi
"Lancang kamu, Evelin! Berani sekali kamu membela mereka dan melawan orang tuamu sendiri!" ucap Merly murka."Sudahlah, Ma, Pa, kalian menyerahlah," ucap Evelin memohon. "Semua ini bukan milik kita. Kita harus mengembalikannya pada yang berhak, lalu mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan!""Diam kamu, Evelin!" bentak Mamanya itu."Dengar, semuanya! Mereka semua hanya pendusta! Mereka bersekongkol! Mereka bicara tanpa bukti!" ucapnya dengan penuh emosi."Kami punya buktinya!"Semua orang menoleh. Dokter Lutfi masuk sambil mendorong Ara yang duduk di atas kursi roda. Ara memperlihatkan dokumen di tangannya pada semua orang. Wajah Hermawan dan Merly seketika memucat."Perusahaan ini milik orang ayah saya, Hasanudin!" ucap Ara lantang. "Mereka dengan sengaja ingin menghabisi nyawa saya sebagai pewaris tunggal perusahaan ini!"Para tamu undangan tampak begitu terkejut, hingga suasana sedikit gaduh."Dokter Lutfi! Rupanya kamu berkhianat! Anda lupa, jika kulaporkan perbuatanmu
Suara sirine mobil ambulans memenuhi pelataran rumah sakit. Para petugas menurunkan Ara yang terbaring tak sadarkan diri di atas tandu, lalu secepatnya melarikannya ke ruang IGD.Nindi dan Ridho berlari mengikuti para petugas itu sampai benar-benar masuk ke dalam ruangan berpintu kaca besar itu. Mereka dengan cemas menunggu di luar ruangan.Dokter Lutfi berlari dengan gugup menuju ke arah ruangan itu."Dokter, tolong selamatkan putriku Dokter!" ucap Nindi begitu melihat Dokter Lutfi.Dokter Lutfi mengangguk, lalu lalu bergegas memasuki ruang IGD."Mama ingat tentang Ara?" tanya Ridho sambil menatap heran pada Mamanya."Gadis itu selalu bicara padaku, menceritakan tentang masa kecilnya, dan dia mengaku sebagai putriku," ucap Nindi sambil membalas tatapan Ridho. "Apa benar dia putriku, Ridho?"Ridho mengangguk cepat. Nindi seketika membulatkan mata."Jadi, Hermawan sudah mengambil bayiku?" tanyanya dengan nada suara bergetar.Ridho mengangguk lagi."Ingatan Mama sudah kembali?" tanya Ri
"Ridho, kita mau ke mana?" tanya Nindi sambil menatap Ridho yang sedang fokus menyetir.Ridho menoleh pada Mamanya sekilas seraya tersenyum."Kita akan pulang, Ma," jawab Ridho dengan suara lembut."Akhirnya kita mau pulang," ucap Mamanya dengan senyum lebar, mirip seperti anak kecil yang akan diajak ke tempat rekreasi.Ridho terdiam melihat ekspresi Mama angkatnya itu. Hatinya tiba-tiba kembali bimbang. Apa dia benar-benar harus melakukan hal ini?Lamunannya buyar ketika gawainya berdering. Dia mengambil headset dan memasangnya di telinga."Bagaimana? Kau sudah bersama dia?" terdengar suara Merly dari seberang telepon.Ridho tak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Mamanya yang matanya antusias memperhatikan jalan."Iya, sekarang aku bersamanya," jawabnya kemudian dengan suara berat."Bagus, bawa dia ke tempat yang sudah aku tunjukkan.""Baik," jawab Ridho lirih.Merly menutup teleponnya seraya tersenyum miring, lalu menghubungi lagi seseorang. Rencananya kali ini harus berjalan mu
"Apa maksudmu, Evelin? Itu bayi kita, darah daging kita!" ucap Ridho sambil menggoncang lengan Evelin.Evelin hanya menunduk dalam."Aku akan segera menikahimu. Jadi jangan pernah berpikiran seperti itu lagi!" ucap Ridho lagi."Justru karena itulah aku tidak bisa!""Evelin!""Aku tidak bisa menikah denganmu, Mas!"Ridho membulatkan mata menatap Evelin. Dia memegang kedua pundak Evelin dengan kedua tangannya."Semua ini bukan atas keinginanmu sendiri, kan?" tanyanya gusar.Evelin tak menjawab, dia hanya menunduk."Kenapa kau tidak bisa sekali saja hidup dengan keinginanmu? Kenapa harus mengorbankan dirimu sendiri demi Mamamu?""Cukup Ridho!"Ridho melepaskan tangannya dari pundak Evelin, lalu menoleh.Merly dengan angkuh memasuki pintu, lalu merangkul pundak putrinya."Kamu pikir aku rela menikahkan putriku dengan pengkhianat sepertimu?" tanyanya sambil menatap tajam ke arah Ridho."Pengkhianat?" Ridho balik bertanya sambil membalas tatapan Merly.Merly mengambil sesuatu dari dalam tas
"Perkembangan mental Nyonya Nindi sudah sangat bagus. Jika terus membaik seperti ini, ingatannya akan segera pulih kembali."Ara membuang napas lega mendengar ucapan Dokter spesialis jiwa yang mereka temui hari itu. Dia tersenyum seraya menatap Mamanya."Alhamdulillah Mama sebentar lagi sembuh," ucap Ara sambil memegang tangan Mamanya.Wajah Mamanya dari tadi tampak gelisah. Dia menatap Ara dengan cemas."Ara," ucapnya.Mata Ara membulat. Mamanya mengingat namanya!"Ridho mana, Ara?" tanyanya dengan wajah kebingungan. "Kenapa dia meninggalkanku, Mamanya?"Ara terkejut mendengar pertanyaan Mamanya."Mama mengenal Mas Ridho?" tanyanya kemudian."Dia Ridho, anakku," jawab Mamanya. "Dia anakku."Mamanya mengulang kata-kata itu sampai beberapa kali. Ara terdiam mendengarnya. Satu-satunya tempat di mana dia akan menemukan jawaban adalah rumah sakit tempat Mamanya dulu dirawat."Kita pulang dulu ya, Ma. Ara akan mencari Mas Ridho dan menyuruhnya pulang menemui Mama," ucap Ara berbohong.Mama
"Ikutlah denganku. Aku akan menjadi tempatmu pulang."Ucapan Dokter Lutfi saat di pemakaman Mamanya itu terus terngiang di kepala Ara. Dia membalikkan tubuhnya berulang kali, mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa.Akhirnya dia bangkit, lalu duduk sambil memeluk lutut. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa dia merasa kehilangan Dokter Lutfi? Tapi sejak kapan dia memiliki perasaan lebih padanya?Ara memejamkan mata rapat-rapat. Tidak, dia tidak boleh seperti ini. Dia tidak boleh lemah hanya karena perasaan pada seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Dia sama sekali tidak berhak untuk itu.Ara kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Pengkhianatan Papa terhadap Mamanya, juga pengkhianatan Ridho terhadap dirinya sudah cukup sebagai alasan untuk tidak membuka hatinya pada laki-laki. Ara yakin ini hanya perasaan kecewa karena Dokter Lutfi ternyata hanya memberikan harapan palsu padanya.PRAAANG!!Ara tersentak kaget. Cepat-cepat dia bangkit dan berlari menuju dapur. Sudah d
"Baiklah, kalau begitu aku permisi," ucap Ara sambil berdiri dari duduknya. "Silahkan kalian pikirkan baik-baik, jangan sampai memberikan keputusan yang salah.""Licik kamu, Ara!" ucap Evelin tajam. "Kau yang membuat perusahaan kami jadi seperti ini, dan sekarang datang seolah olah mau menolong. Kami tahu rencana busukmu!"Ara tersenyum, lalu berjalan mendekati Evelin dan berdiri di depannya. Ditatapnya sosok yang dulu sangat disayanginya layaknya adik kandung itu."Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya memang milikku," ucapnya dengan suara datar. "Jadi ambil saja apa yang pantas jadi milikmu.""Apa maksudmu?" tanya Evelin seraya menatap tajam pada Ara.Ara tersenyum, lalu mengangkat telunjuknya dan menunjuk ke arah Ridho."Satu-satunya yang membuatku bersyukur telah kau rebut adalah dia, pecundang yang pernah berstatus sebagai suamiku!"Muka Evelin memerah, lalu seketika mengangkat tangannya, bersiap menampar Ara. Tiba-tiba seseorang menangkis tangannya sebelum berhasil men
"Ternyata kemampuanmu memang bisa diandalkan. Hermawan pasti menyesal sudah melepaskanmu," ucap Om Adam sambil tersenyum bangga pada gadis yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri itu."Ara ingin menunjukkan padanya, bahwa dia mengira sudah membesarkan seekor kucing, tapi tanpa sadar justru singalah yang dibesarkannya," jawab Ara sambil tersenyum puas. "Menyuruh Evelin menggantikan posisiku di perusahaan itu sungguh menguntungkan kita.""Bagus, tunjukkan pada mereka kalau kamu tidak lemah, dan bisa merebut kembali apa yang sudah menjadi milikmu," ucap Om Adam.Ara tersenyum lagi, seraya mengangguk. Benar, sekarang masih ada banyak alasan untuk membuatnya tetap berjuang. Dia harus menuntut keadilan atas apa yang menimpa dirinya dan keluarga kandungnya....Ara memasuki kamar Mamanya sambil membawa nampan berisi sepiring makanan dan segelas minuman. Mamanya terlihat duduk mematung dengan pandangan kosong seperti biasanya. Tapi dia jauh lebih segar dari saat ketika di rawat di r