"Tidak ibu, saya akan mengelola sendiri hak anak saya. Saya akan mengaturnya dengan baik dan hemat, saya akan menjadikan uang itu sebagai modal berdagang dan tabungan. Saya akan baik baik saja," jawabku."Aku hanya merasa jika kau merasa ragu atau tidak aman tentang semua itu kau bisa menitipkan kepadaku sehingga istri Haryadi tidak mengecewakan hidupmu dan memerasmu."Untuk beberapa saat aku terdiam, sedikit tak percaya karena ternyata beliau sangat peduli meski aku hanya wanita kedua dalam hidup anaknya. Aku tercengang sekaligus lega setidaknya satu orang hendak membela dan melindungi kami. Tapi di sisi lain, aku juga tetap berpuasa pada jangan-jangan itu hanya trik untuk menguasai apa yang kami miliki lalu setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, kami akan dibuang ke jalanan."Sebaiknya, segera pergi ke bank untuk mengurus semuanya dan pastikan anda sebagai pemegang hak pengelolaan warisan," ucap adik Mas Haryadi."Iya, jika uang tersebut sudah diwariskan padaku, tentu
Ada yang kemudian terjadi, yang luput dalam bayanganku selama ini, bahwa bagaimana jika istri suamiku datang dan mendapatiku di rumah ibu mertuanya. Sebuah kekacauan menunggu di sana.*Mobil milik mertua melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang padat oleh kendaraan. Di jok tengah aku duduk bertiga dengan Alisa dan adik perempuan Mas Haryadi. Iparku yang nampaknya adalah pekerja kantoran itu nampak rapi dengan celana coklat dan kemeja putih. Rambutnya tergerai sempurna dan ketika tersenyum gadis itu nampak sangat mempesona, mirip kakaknya, Mas Haryadi."Rumahnya di mana Bu?" Tanya aku memecah keheningan yang sangat kaku di dalam mobil itu."Tidak jauh lagi," jawabnya."Aku akan memberimu tempat di lantai dua dan kau akan aman di sana. Jika dwiana berkunjung maka kau tidak perlu keluar dari kamarmu hingga dia benar-benar pergi. Kau akan aman dan anakmu juga aman di dalam perlindungan kami," ungkap ibu mertua."Baik, Ibu. Terima kasih."Sekitar 15 menit kemudian mobil itu
Mendapatkan tertawaan dan hinaan orang orang aku segera bangun dan membenahi tas serta pakaianku yang kotor. Ingin sekali kujambak wanita itu dan kucakar wajahnya tapi aku tahu itu bukan pilihan terbaik saat ini. Aku tidak mau orang orang yang sudah mencibirku dengan sebutan pelakor tambah menghina diri ini karena berani memberikan perlawanan."Terima kasih atas semua penghinaan yang Mbak berikan, saya ikhlas menerimanya dan semoga ini menjadi pahala kesabaran saya. Tentang siapa yang salah dan berdosa biar itu di mata tuhan saja," balasku sambil mengemasi tas dan pergi begitu saja.Huuuu ....Orang orang menyoraki dan mencibir, bahkan ada yang merekam kejadian ini dengan ponsel. Aku tahu mungkin setelah hari ini kami akan viral, aku sudah pasrah dengan keadaan. "Biarlah tidak mengapa aku yang disakiti, asal Alisa anakku baik baik saja," gumamku.Kulangkahkan kaki meninggalkan tempat itu dengan perasaan remuk redam dan malu sekali, kunaiki ojek dengan iringan pandang kebencian semua
Seperti yang kuduga keesokan harinya wanita itu datang bersama kedua anaknya untuk membuktikan apa yang kemarin ke ucapkan di depan semua orang dan cukup membuat dia terbelalak.Adalah hal yang sangat mengejutkan sekaligus membuat dia kecewa dengan sangat bahwa aku kini tinggal di rumah ibu mertua dan mendapatkan perlindungan darinya, sementara dia yang sudah merasa mengandalkan orang tua mas Hariadi kini merasa dikhianati dan dianak-tirikan."Mami apakah benar apa yang dikatakan susi kemarin bahwa dia sekarang tinggal bersamamu. Logikanya dia tidak akan dapatkan rekaman suara Jika dia tidak pernah berada di sini." Wanita yang merasa harga dirinya dipermalukan langsung mencecar ibu mertua dengan kalimat lantang. Aku yang kebetulan berada di dapur hanya diam dan menyimak."Dia kebetulan datang, Dwiana, dia tak tinggal denganku.""Jangan bohong dan membuat saya kecewa Mam, selama ini saya mengandalkan kamu untuk semua hal, bagiku ibu mertua adalah Ibu kedua yang akan memberi saya kete
Mendapati pukulan dari Ibu Mbak Dwiana kaget sekali, dia langsung marah dan wajahnya merah padam menahan murka dan rasa malu."Mami?!" Nada suara Mbak Dwi menggemuruh di dalam rumahnya."Kau pikir dirimu siapa? Kenapa kau lancang sekali Dwiana.""Aku hanya, ingin tahu kenyataannya. Anak Susi aman bersama Bella an Dirga, mereka sedang pergi jalan jalan ke pusat perbelanjaan!" Mbak Dwi mulai menangis dan menjerit."Apa tujuanmu, dan kalau iya kami memang kompak dan dia kubantu, lalu apa masalahnya.""Mungkin ... Aku sudah tak lagi berguna di mata ibu, dan semua yang kulakukan sudah sia sia.""Tidak ada yang mengatakan begitu aku hanya sedang menolong wanita yang sedang putus asa ini. Dia ketakutan dan butuh perlindungan Kau yang punya kekuasaan dan status semakin hari semakin mengganggu dan mengintimidasi. Sebenarnya aku tidak mau ikut campur tapi aku mempedulikan perasaan cucuku. Dia butuh ketentraman untuk tumbuh kembang dan fokus belajar nya Tak tega rasanya diri ini terus membuat d
Mungkin banyak orang yang merasa bahwa aku mata duitan, gila harta dan pada akhirnya menerima saja apa yang diwariskan oleh Mas Haryadi. Asal tahu saja, aku tipe wanita yang realistis dan tidak bodoh, hanya karena merasa pernah mengatakan tidak mencari apapun dari suamiku, bukan berarti aku akan menolak warisannya. Sebenarnya aku bisa mencari uang sendiri tapi masalahnya ini adalah hak alisa dan aku tidak akan menyia-nyiakan apa yang menjadi kesempatan putriku.Uang itu cukup besar dan bisa aku simpan untuk keperluan kuliah dan biaya sekolahnya nanti. Aku juga bisa menjamin kesehatan dan kemaslahatan hidup anakku selagi aku belum punya pekerjaan tetap. Tentang dwiana yang terus-menerus menuding diri ini pelakor yang tidak punya malu, aku sudah lelah membela diri dan menjelaskan oleh karena itu biar Tuhan saja yang mengambil alih takdir dan berhitung di hari akhir nanti."Saya ingin pindah ibu, saya tak boleh terlalu lama di sini karena itu akan menyusahkan ibu dan adik adik Mas Har,"
Acara berlangsung lancar dengan ratusan orang yang datang memberi doa tulus untuk mendiang orang yang sangat kucintai selama ini, para sahabat dan keluar membaur membacakan Yasin dan tahlil, kami semua menengadahkan tangan berharap bahwa almarhum bisa beristirahat dengan tenang di sisi allah.Sampai acara istirahat dan makan semuanya berjalan baik, kamijamu para tamu dengan keramahan dan tak membiarkan satu nampan pun kekurangan hidangan. Semua orang kelihatan menikmati makanan mereka dan puas. Sementara di depan pintu sana , Mbak Dwi dan anaknya membagikan souvenir al Qur'an kecil untuk semua orang yang hendak meninggalkan rumah ibu mertua.Aku lega karena sampai penutupan acara berjahan sesuai harapan, tidak ada kendala atau keluhan, Alhamdulillah."Kamu sejak tadi belum, makan, makan dulu gih," ucap ibu."Iya, Bu, saya masih sibuk dengan meja prasmanan, siapa tahu masih ada tamu yang ingin makan.""Semuanya sudah makan tinggal kamu saja. Ayo masuk dan ajak anakmu makan, seperti
"Ada apa Dwiana?" bibi yang Yadi membelanya terlihat berpapasan dengan Mbak Dwi di tangga dan tentu saja maduku itu cari muka sekali terhadap tantenya suami."Aku hanya kecewa karena Mami selalu menyudutkan diri ini. Kedatangan wanita itu dalam hidup kami benar-benar sudah merusak segalanya," ujar Mbak Dwi sambil menangis."Jangan menyalahkan orang, tegarkan hatimu!"Baru saja mengatakan seperti itu, Mba Dwi langsung meraung dan memeluk si bibi. Ibu yang mencegah tangisan Ibunya Dirga hanya ditepis dengan tingkah penuh drama dan penolakan."Aku pulang saja. Kehadiranku di rumah ini sudah tidak diterima," keluhnya."Siapa yang mengeluarkan statement seperti itu, kau jangan sembarangan. Sampai sekarang kami masih menghargaimu""Semuanya sudah beda dengan kedatangan Susi, wanita itu bukan cuma benalu, tapi ratu cari muka dan perebut hati.""Hei, harusnya kau malu mengatakan itu, coba perhatikan bagaimana dia mengerjakan tugas dan menyapa semua orang dengan tulus. Jujur saja ya, dibandin
Ketika kuantar Mbak Dwi ke depan pintu, tiba tiba ibu mertua sudah hadir bersama kedua adik iparku widhi dan Widya. Dalam keharuan mendalam yang baru kurasakan dengan Kakak kini tiba tiba ibu juga menunjukan ekspresi haru yang sama, menangis sambil tersenyum. "Dwi, Susi, Alhamdulillah, Nak." "Ibu ...." Aku dan Mbak Dwi mendekat dan menghambur ke pelukan mertua kami. Beliau memeluk kami dengan erat dan menciumi kami bergantian. "Alhamdulillah, jika kalian sudah saling memaafkan dan menerima kesalahan masing masing." Lelehan bening dari netra ibu mertua menunjukan bahwa dia sangat bersyukur atas apa yang terjadi barusan. "Kami sedang berusaha Mami," jawab Mbak Dwi dengan wajah canggung. "Tidak apa apa Nak, mami memuji kelapangan hatimu menerima kenyataan, menerima Susi sebagai bagian dari hidup Haryadi dan kau sudah berdamai dengan kenyataan. Alhamdulillah, Mami benar benar bersyukur, Mami menghargaimu, Nak," ucap Ibu dengan senyum mengembang paling manis yang pernah kulihat. Sela
Secara mengejutkan Mbak Dwiana datang ke kedai di jam delapan pagi. Saat itu kedaiku masih tutup, tapi aku sudah membuka pintu samping dan sibuk menyapu. Melihatnya sudah berdiri di ujung pintu aku hanya tertegun, kami saling berpandangan dengan perasaan masing masing lalu ... di sinilah kami duduk berdua saling berhadapan dan sibuk dalam kebungkaman masing masing."Ada apa Mbak, tumben datang kemari pagi sekali?" Sebenarnya aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana."Aku ingin bicara?"Dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya, foto yang cukup mengejutkan di mana aku dan Mas Haryadi juga Alisa ketika masih balita dalam frame yang sama. "Darimana Mbak dapat foto itu?" Tanyaku dengan tenggorokan terasa kering karena begitu penasaran."Seharusnya pertanyaan itu diganti, menjadi sejak kapan foto itu ada padaku," gumam wanita itu."Jadi mbak sudah tahu kalau aku adalah istri Mas Har jauh sebelum beliau meninggal?" tanyaku.Tanpa kuduga air mata meluncur begitu saja dari netra
Kumatikan ponsel sambil menggeleng pelan, kutarik napas dalam dalam sambil menetralisir perasaan yang sekiranya mengajakku untuk terus membuat dosa. Seharusnya aku tak begitu pada ibunda Dirga dan Bella, tapi Mbak Dwi memaksaku untuk terus jahat mengikuti alur beliau.Sebenarnya, dalam hati kecil, bukannya aku tak punya malu atau rasa bersalah, aku ingin sekali minta maaf atas semua yang terjadi selama ini dan bicara baik baik pada Mbak Dwiana. Andai beliau bisa diajak duduk dan bicara, tapi sayang kakak maduku itu sangat temperamen dan kasar. Dia terus memendam sakit hati dan dendamnya hingga batas waktu yang tak ditentukan.Mungkin aku tak akan pernah dimaafkan, fine, aku menerima itu, tapi bisakah di antara kami tidak saling mengganggu saling mengusik dan menjahati? Bisakah?**Kuketuk rumah berlantai dua dengan dua pilar megah penyanggah depannya. Aku tahu kedatanganku ke tempat ini sama dengan menempatkan diri ke dalam kandang singa. Tapi aku tak punya pilihan."Siapa?" Suara ben
Maaf ada kesalahan sehingga bab cerita tertukar ❤️🙏"Apa?" Mbak Dwiana terbelalak mendengar kata-kata ibu. Bagaimana tidak kata-kata itu sangat menyentil dan menyinggung sekali."Ibu bilang apa?""Aku tidak mau mengusik hidup dan mengganggu kencanmu! Kurang baik seperti apa lagi aku?!"Demi apa raut wajah Mbak Dwi sangat pucat dan dia langsung kelihatan sedih serta terguncang sekali."Sudah kukatakan apa urusanmu dengan hidup Susi! Jangan ganggu dia lagi sehingga kalian pun bisa hidup dengan aman dan damai!""Dia sudah memerasku sebanyak 20 juta Bu!" Mbak Dwi berteriak di luar kedai."Sebaiknya kita bicarakan ini di dalam mobil," ucap Ibu sambil mengalihkan perhatian dan berusaha untuk tidak membuat malu semua orang."Masuk ke mobil, Susi, Dwi, ayo masuk!" perintah ibu."Ba-baik."Di sinilah kami, saling berhadapan di mobil ibu mertua yang cukup mewah dan luas. Jok tengahnya bisa diputar sehingga ibu bisa mengintrogasi kami yang duduk di baris paling belakang."Jadi katakan, apa maks
Tak lama setelah Mbak Dwi meninggalkan kedai kami, mobil ibu mertua tiba. Dengan pintu yang dibukakan supir, ibu terlihat turun dan menghampiri tempat kami. Aku yang sadar diri dan tahu rasa hormat segera membuka pintu kaca dan menyambutnya dengan uluran tangan serta menyalaminya."Akhirnya Ibu datang juga," ucapku."Hmmm, aku penasaran apa yang hendak kau sampaikan," jawabnya sambil menarik kursi dan duduk di salah satu meja pelanggan."Sesuatu yang serius, mungkin juga tidak begitu penting bagi ibu, tapi yang pasti saya ingin menunjukkannya.""Pastikan bahwa aku akan sangat tertarik," ucap ibu dengan tarikan muka tegas dan bibir yang dia sungginggkan miring."Ini tentang Mbak Dwi," gumamku."Ada apa dengannya?""Sebelum bicara, saya ingin tahu, apakah ibu tahu sesuatu tentang kakak maduku?""Tentang apa?""Hal yang dalam tanda kutip sesuatu yang dirahasiakan, aib dan lain sebagainya," jawabku setengah pelan.Iu mengernyit tidak paham, dia menggeleng dan nampak penasaran."Kataka
Aku memang tak percaya pada siapapun saat ini, aku tidak percaya pada hal hal yang akan kuanggap mudah. Sekarang semua langkah dalam hidupku harus tertata dalam dua rencana di mana jika rencana a tidak sesuai maka aku harus melakukan rencana cadangan.Mbak dwiana sudah mengatakan akan memberikan jaminan tapi aku pun tidak bisa memberikan janji padanya. Mau tak mau, aku harus tetap memperlihatkan pada ibu mertua tentang wajah asli menantu sulungnya. Ibu harus tahu seperti apa menantu yang selama ini dia banggakan sebagai wanita anggun dan berkelas.Kutelpon Ibu mertua, kukatakan padanya bahwa aku membutuhkan dia sore nanti, aku akan berkunjung padanya."Tidak usah datang padaku karena kau akan sibuk di kedaimu, biar Ibu saja yang datang dan mengunjungi Alisa sekalian.""Ibu jangan lama, karena akan ada hal yang ibu lewatkan, kalau bisa datanglah dari pukul tiga," jawabku."Baik, tidak masalah dengan catatan bahwa hal yang akan kau sampaikan bukan sesuatu yang recehan.""Tidak demi Tuha
Pagi pagi sekali, aku yang sedang membuang sampah membersihkan kedai bekas pengunjung semalam didatangi oleh wanita yang sudah bosan sekali kuhadapi kedatangannya.Selagi aku menunduk dan sibuk menyapu dia sudah berdiri sambil berkacak pinggang kali ini dia tidak datang mengenakan jilbab tapi baju olahraga ketat, rambut tergerai dengan setelan sepatu olahraga juga."Ada apa lagi?" tanyaku sambil bangkit."Apa yang sudah kau katakan kepada kedua anakku?""Memangnya apa yang mereka katakan?! kami semalam berbincang banyak dan bercerita, bagian mana yang tidak kau sukai!""Hah, sekarang kau berani mengejek dan melawan, ya!" ujarnya yang hendak menjambakku seperti biasa. Tapi, dengan segera kutepis tangannya dengan ujung gagang sapu lidi yang kupegang."Mengapa tidak aku juga punya tangan dan kaki, aku juga punya uang dari sumber daya seperti dirimu jadi bagian manakah aku akan takut?!" tanyaku sambil mengangkat dagu."Pelakor tak tahu malu!" Teriaknya di trotoar jalan."Daripada kamu, i
Tak mau ikut campur tapi aku juga harus memanfaatkan kesempatan yang ada, setelah merekam kejadian itu aku segera beranjak dari restoran dan pergi melanjutkan niatku untuk belanja bahan kue."Syukurnya wanita itu tidak menyadari bahwa aku ada di sana." Sensasi gemetar dan kaget juga sports jantung membuatku sangat gugup dan takut."Sekarang akan kugunakan hal itu untuk memberi Mbak Dwi pelajaran jika dia masih menyakitiku," ujarku sambil tersenyum sendiri.Setelah sampai di toko beli bahan makanan yang aku butuhkan lalu meluncur pulang lalu membuat adonan dengan cekatan, kuproses semua bahan kue sambil menghitung waktu dan mengejar jadwal pulang sekolah Alisa.Pukul sepuluh, kutinggalkan pekerjaan untuk menjemput anakku ke sekolah yang kini tak begitu jauh dari tempatku. Ibu mertua yang baik hati memilihkan tempat yang cukup strategis dan dekat dari ruko yang kami beli sekarang. Alhamdulillah tidak begitu banyak kendala yang membuat hidupku terhalangkan dengan kesusahan. Mungkin k
Alhamdulillah hari ini adalah hari pertama pembukaan kedai kopi dan roti milikku. Kami adakan syukuran kecil dengan mengundang tetangga dan orang-orang yang ada di sekitar tempat ini membaca doa dan menikmati hidangan kecil.Ketika tamu undangan sudah pergi, aku dan anakku sibuk membereskan bekas acara karena beberapa jam lagi kami akan melayani pelanggan dan menerima pesanan.Padahal mengejutkan ketika aku membuang sampah ke tong yang ada di sebelah kiri jalan. Mungkin itu adalah pemandangan yang cukup mengherankan namun aku masih berpikir positif dan wajar saja. Kulihat mobil Mbak Dwiana lewat, dia duduk di depan bersama seorang pria dan mereka terlihat tertawa dan bercanda, sangat akrab, tidak mungkin seakrab itu seorang supir dengan majikannya."Itu siapa ya ... Ah, terserahlah, bukan urusanku," gumamku dalam hati.Meski penasaran aku tak hendak mencari tahu, biarlah jika memang itu sahabat terdekatnya, mungkin kakak maduku butuh teman untuk bercerita, perlu bergaul untuk meluas