Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi pada istriku di masa lalu hingga memiliki bekas luka sebanyak itu? Apa ini salah satu alasan dia begitu ketakutan ketika kucoba menyentuhnya?
Aku menelan saliva, lalu menoleh pada pintu kamar mandi yang tertutup. Tak ada suara. Vanya pasti sangat tertekan di dalam sana. Perlahan aku mengetuk pintunya pelan."Aku akan keluar, Dek. Pakailah bajumu dulu," ucapku, lalu melangkah menuju luar kamar.Aku menutup pintu kamar kembali, memberi kesempatan untuk Vanya memakai pakaiannya. Aku sendiri berjalan menuju dapur mengambil air putih, dan menghabiskan segelas penuh dalam beberapa tegukan.Bekas luka mirip cambukan di setiap sudut tubuh Vanya terus memenuhi pikiranku. Tidak, aku sama sekali tidak jijik ketika melihatnya. Justru ada nyeri di dalam dada ini, siapa yang tega menggoreskan begitu banyak luka di tubuh seorang wanita?Cukup lama aku termenung seorang diri di dapur. Setelah kurasa cukup lama, akhirnya aku berjalan kembali menuju dapur. Perlahan aku mengetuk pintu, memastikan Vanya sudah memakai pakaiannya."Masuklah, Mas." terdengar suara Vanya dari dalam.Aku menahan napas ketika membuka pintu itu. Terlihat Vanya duduk di ujung ranjang dengan wajah menunduk. Aku perlahan mendekatinya, duduk di sampingnya dengan canggung."Maafkan aku, Dek. Aku sungguh tak sengaja melihatnya," ucapku padanya sepelan mungkin."Tidak, Mas. Mas punya hak melihatnya. Aku yang berdosa karena tidak jujur dari awal, saat kita mulai menjalani ta'aruf dulu. Aku berdosa, Mas.""Tidak ada kewajiban untuk menceritakan aib di masa lalu selama ta'aruf, Dek. Itu bukan kesalahanmu."Vanya mengangkat wajahnya perlahan, lalu menoleh padaku. Sorot matanya terlihat begitu sendu, sedih, seperti begitu banyak menanggung beban di sana. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat begitu berat.Belum sempat bibirnya mengucap sesuatu, kami dikejutkan oleh suara gebrakan kencang. Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang hingga membuat jendela kamar terbuka. Hujan turun dengan deras di luar sana.Aku berdiri, lalu berjalan menuju jendela. Sesaat setelah aku menutup jendela itu, tiba-tiba cahaya kilat menyambar dan disusul suara petir yang hebat. Lampu tiba-tiba padam."Astaghfirullah! Astaghfirullah!" Tiba-tiba Vanya menjerit histeris, yang membuatku terkejut bukan main.Aku cepat-cepat menutup tirai jendela, agar hujan di luar tidak terlalu terlihat."Kamu baik-baik saja, Dek?" Aku mendekati Vanya yang terlihat begitu ketakutan dari cahaya kilat yang masih saja menyambar.Suara petir terdengar lagi, dan Vanya langsung menjerit seraya menutup kedua telinganya. Aku refleks memeluknya, mencoba menenangkannya.Tubuh Vanya gemetar hebat. Bisa kurasakan dia ketakutan luar biasa, tapi berusaha memberiku kesempatan untuk menenangkannya. Aku meletakkan kepalanya di dadaku, kudekap erat dia erat."Tenanglah, Dek. Aku suamimu, aku ada di sini untukmu. Tidak ada yang akan menyakitimu setelah ini," ucapku, ingin membuatnya tenang.Kuraih selimut tebal dan kuselimuti tubuhnya, dengan masih tetap mendekapnya. Bisa kurasakan dia mulai merasa aman, meskipun berulang kali tersentak kaget ketika terdengar dentuman suara petir.Astaghfirullah, ternyata istriku punya trauma yang begitu dalam terhadap sesuatu, entah apa penyebabnya. Dalam hati aku menguatkan keinginanku untuk mencari tahu tentang semua itu."Ya Allah, semoga engkau meridhoiku untuk mencari tahu tentang masa lalu istriku. Bukan untuk mengorek aibnya, melainkan untuk mencari cara membuatnya sembuh dari segala ketakutannya," ucapku dalam hati...."Hari ini jangan masak, Dek. Kita akan pergi makan di luar bersama Mama malam ini," ucapku sebelum berangkat kerja.Vanya yang mengantarku sampai depan pintu meraih tanganku dan menciumnya, lalu mengulurkan tas kerja, seraya tersenyum manis."Mas, semalam ... terima kasih," ucapnya lirih.Entah kenapa segala kegundahanku selama ini hilang seketika mendengar ucapannya. Suatu hubungan memang harus didasari oleh saling pengertian. Aku harus mengerti, sampai tahu penyebab semuanya.Untuk pertama kalinya kuberanikan diriku mendekatinya, dan mengecup keningnya. Dia terasa begitu kaku dan menegang, tapi dia tidak menghindar. Itu sebuah perkembangan yang sangat bagus menurutku.Seharian di kantor, aku terus menghindar dari Tasya, bahkan menyuruh bawahanku melarangnya memasuki ruanganku. Setidaknya hari ini aku tidak ingin mendengar apapun yang buruk tentang Vanya dari Tasya. Entah sampai kapan aku bisa menghindar."Masyaa Allah, bagus sekali restorannya, Mas." Netra Vanya tampak berbinar ketika memasuki restoran dengan meja yang sudah kupesan khusus itu."Alhamdulillah, ada rejeki berlebih, jadi kita bisa makan di sini," ucapku sambil membantunya menuntun Mama."Jangan lupa sisihkan untuk sedekah, Mas," ucap Vanya dengan senyumnya di balik cadar, tampak dari kedua netranya yang menyimpit."Insya Allah, Dek," jawabku.Kami mulai duduk dan memesan makanan. Vanya dengan sigap membantu Mama menyiapkan peralatan makannya. Aku tersenyum melihatnya. Kasih sayang Vanya pada Mama terlihat begitu tulus. Aku tak mungkin salah memilih istri.Namun tiba-tiba, Vanya terlihat menegang, sambil menatap ke arah belakangku. Tak kuasangka Tasya tampak berjalan ke arah kami dan langsung mendekati Vanya tanpa sempat kucegah."Kamu ingat aku kan, Vanya?" tanya Tasya sambil menatap tajam pada Vanya. "Jangan pura-pura amnesia, apalagi pura-pura lugu!"Vanya hanya menunduk dengan tubuh terlihat sedikit gemetar."Lebih baik buka saja cadar dan jilbabmu itu! Kamu tidak pantas memakainya!"Tangan Tasya berusaha meraih niqab Vanya, tapi dengan cepat aku menepis tangannya dari Vanya."Jaga bicaramu, Tasya!"Tasya terlihat terkejut ketika aku tiba-tiba aku menepis tangannya dengan kasar dan menghardiknya dengan nada suara tinggi."Dia istriku! Tak akan kubiarkan siapapun menghinanya, termasuk kamu! Sekarang keluar, atau kupanggilkan satpam untuk mengusirmu!""Kamu mengusirku, Di?" wajah Tasya terlihat memerah karena marah. "Demi wanita murahan ini kamu mengusirku?""Cukup, Tasya!"Kami menoleh. Ternyata Mama yang bicara. Wajah Mama terlihat tidak terima menantu kesayangannya dimaki di depan umum."Siapa yang kamu sebut wanita murahan?" ucapnya lantang. "Vanya jauh lebih baik dibanding denganmu yang bahkan tidak tahu cara bersopan santun.""Tante gak tahu siapa wanita ini!" Tasya tidak mau kalah. "Kalau Tante tahu, aku jamin duduk di sampingnya saja pasti akan jijik!""Sudah jangan diteruskan lagi, Tasya!" aku menarik tangan Tasya, mencoba menjauhkannya dari meja kami, tapi Tasya menghempaskan tanganku dengan kasar.Inilah salah satu penyebab Mama sama sekali tidak menyukai Tasya saat masih bersamaku dulu. Selain menyukai pakaian terbuka, Tasya juga sama sekali tidak bisa bersikap dewasa. Mungkin karena orang tuanya begitu memanjakannya dengan harta sedari kecil."Ada apa ini ribut-ribut?"Seorang wanita seumuran Mama, namun dengan penampi
Aku seketika menggertakkan rahang. Ternyata Tasya pernah berbuat seperti itu pada Vanya, bahkan di usia mereka yang masih sangat muda. Apa alasan dia berbuat seperti itu?"Mas."Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Vanya berdiri di sampingku. Refleks aku langsung memutar laptop, tak ingin dia melihat apa yang sedang kulihat."Aku bawakan kopi untuk Mas Aldi," ucap Vanya sambil meletakkan secangkir kopi di depanku."Kerjaan Mas banyak sekali, ya? Wajah Mas teelihat begitu tegang." Vanya tersenyum simpul sambil menatapku."I-iya, Dek," jawabku gugup. Kalau Vanya tahu aku diam-diam mencari tahu tentang dirinya, dia pasti akan sangat sakit hati."Minum dulu, Mas," ucap Vanya lagi.Aku mengangguk, lalu menyeruput kopi yang dia buatkan untukku. Rasa hangat langsung mengalir ke tenggorokan yang sejak tadi kering."Kamu belum tidur, Dek?""Iya, Mas. Tadi menengok Mama sebentar. Biasanya Mama ingin pergi ke kamar mandi jam segini."Aku tertegun sejenak sambil melirik ke arah jam kecil di sampi
Aku mempercepat langkahku, bergegas mendekati Vanya. Aku merangkul Vanya, menenangkannya."Dek, kamu gak apa-apa?" tanyaku sambil membantunya berdiri.Vanya langsung bersembunyi di balik punggungku tanpa berucap sesuatu apapun."Kamu kenal wanita ini, Aldi?" tanya Dion sambil menatapku bingung."Dia ... istri saya, Pak," jawabku.Netra Dion membulat sesaat, lalu tersenyum miring."Aneh sekali istrimu ini. Padahal aku cuma bertanya ada keperluan apa, karena pakaiannya terlihat sangat mencolok," ucap Dion sambil menatap aneh pada Vanya. "Eh, dia malah berlari seperti melihat setan."Aku kaget mendengar ucapannya. Vanya pasti mengenal Dion, tapi Dion tidak mengenali Vanya karena dia memakai cadar. Tapi kenapa Vanya begitu ketakutan?"Maaf, Pak. Istri saya memang suka takut pada orang asing," ucapku beralasan.Aku memang mengenal Dion sudah lama, tapi saat di kantor aku harus tetap bicara sopan padanya karena dia atasanku."Seleramu sudah berubah, Aldi," ucap Dion lagi sambil tertawa. "Ja
"Gila, kamu, Aldi! Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?" Tasya membantu Kakaknya berdiri.Dion menatap tajam dan penuh amarah padaku."Kamu sadar sudah memukul siapa, Aldi?" tanyanya.Aku membalas tatapan Dion dengan tak kalah tajam."Aku memukul seseorang yang berpendidikan, memiliki jabatan tinggi, namun rendah dalam akhlak!" jawabku lantang."Baiklah, kalau begitu kuberi kamu dua pilihan. Dipecat dengan tidak hormat atau mengundurkan diri tanpa pesangon!" ucap Dion penuh emosi, mungkin tak menyangka aku begitu berani padanya.Aku tahu Dion akan mengatakan hal itu. Entah kenapa aku sudah siap dengan segala resikonya."Kakak!" Tasya terlihat terkejut mendengar ucapan kakaknya. Aku tahu Tasya pasti berusaha membelaku, tapi aku tak peduli."Aku akan mengundurkan diri hari ini juga," ucapku mantap tanpa keraguan sedikitpun."Baiklah, kalau begitu aku mau kamu mengumumkan pengunduran dirimu di depan semua pegawai besok."Aku tertegun mendengar ucapan Dion. Aku tahu Dion ingin aku mel
"Aldi! Aldi!"Aku tersentak kaget dan terbangun ketika mendengar suara Mama memanggil sambil mengetuk pintu. Ah, rupanya aku tertidur di ruang kerja."Aldi!" panggil Mama lagi sambil mengetuk pintu lebih kencang.Aku segera bangkit, lalu membuka pintu dan langsung disambut oleh Mama yang terlihat panik."Apa yang terjadi, Ma?" tanyaku bingung."Vanya ... Vanya meninggalkan rumah pagi-pagi sekali, Di!"Aku langsung terkejut bukan main ketika mendengar ucapan Mama. Apa ini ada hubungannya dengan permintaan Vanya semalam?"Dia pergi ke mana, Ma?" tanyaku ikut panik."Mama juga gak tahu, Aldi. Padahal subuh tadi dia masih membangunkan Mama untuk sholat. Mama juga lihat dia masih beraktivitas seperti biasa tiap pagi. Tapi ....""Tapi apa, Ma?""Anehnya hari ini dia meminta Mama membangunkanmu untuk sholat subuh. Mama gak langsung menyadari kalau dia akan pergi.""Sudahlah, Mama, tenanglah." aku memegang kedua pundak Mama dengan kedua tangan. "Vanya pasti baik-baik saja. Mungkin dia hanya
"Jangan lancang kamu, Vanya!"Semua orang menoleh. Nyonya Nia berjalan mendekat ke arah kami dengan wajah merah padam karena murka."Papamu sudah menyerahkan semua aset miliknya padaku!"Vanya masih terlihat tenang menghadapi tiga orang di depannya. Aku hanya bisa melongo menyaksikan itu semua. Apa sebenarnya hubungan mereka berempat?"Papa tidak pernah melakukan itu, Tante!" bantah Vanya. "Aku punya bukti surat wasiat asli yang ditinggalkan Papa pada notaris! Secuilpun kalian tidak punya hak atas semua aset milik Papa!"Nyonya Nia melotot, merampas map dari tangan Dion lalu membacanya. Dengan penuh emosi di merobek dan meremas map itu."Ini cuma, sampah!" Nyonya Nia melempar sobekan map itu ke arah Vanya."Sobek saja, Tante! Itu hanya salinannya. Yang asli masih aman di tangan notaris," ucap Vanya lagi."Berani sekali kamu!" Nyonya Nia melayangkan tangannya pada Vanya, tapi segera kutahan tangannya sebelum sempat menyentuh Vanya."Jangan sentuh istriku, Tante," ucapku sambil menghemp
POV VANYA"Vanya, Papa mau menikah lagi."Aku yang sedang menikmati sarapan dengan Papa, urung menyuap ke mulutku. Aku menatap Papa penuh tanda tanya. Kenapa bisa Papa secepat itu mencari pengganti Mama, sedangkan makam Mama saja belum kering?Papa menatapku seraya tersenyum meyakinkan, seolah tahu apa yang kupikirkan."Kamu tenang saja, istri baru Papa itu sangat baik, dan kamu pasti sudah mengenalnya. Dia punya dua orang anak, dan salah satunya seumuran denganmu. Jadi kamu tidak akan kesepian lagi.""Tunggu dulu, Pa," ucapku selembut mungkin, agar Papa tidak tersinggung dengan ucapanku. "Mama baru saja meninggal dua bulan yang lalu, dan Papa sudah mencari pengganti?"Tiba-tiba raut wajah Papa berubah merah padam. Seperti itulah Papa. Dia tidak pernah sedikitpun bisa bersikap lembut, bahkan pada Mama saat masih ada. Sikap yang sampai membuat Mama sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."Tau apa kamu tentang Papa, Vanya? Papa sudah kesepian! Apa kamu mau
POV VANYA"Apa yang kamu lakukan, Dion?! Kamu sudah tidak waras!!!""Papamu akan membunuhmu jika tahu!!!"Suara Tante Nia menggelegar ke setiap sudut rumah. Terdengar suara Dion menjelaskan sesuatu. Tidak, itu bukan penjelasan! Itu fitnah! Aku tidak melakukannya!Aku hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dengan jiwa dan raga yang terkoyak. Aku tidak bisa berbuat apapun, bahkan tidak bisa berpikir apapun. Entah kemana pikiranku melayang saat ini. Aku hanya bisa menatap kosong ke depan.Seharusnya aku menuntut keadilan!Baru saja belum lama menyeret tubuhku dengan menahan luka yang perih tak terkira, menyambut wanita yang seharusnya bisa kupanggil Mama. Suaraku tak bisa keluar. Aku hanya bisa meraung seraya mencengkeram pakaiannya.PLAK!!!Aku jatuh tersungkur ketika sebuah tamparan justru mendarat di pipiku. Panas, pedih. Tapi tak sebanding dengan pedihnya jiwa dan ragaku ketika kehormatannya baru saja terenggut dengan paksa.Aku yang ingin mendapatkan keadilan dari sosok yang seha
"Kamu tahu di mana Vanya?" tanyaku tak sabar ketika mendengar ucapan Dion di seberang telepon.Dion mengiyakan, lalu dengan suara gagapnya dia menjelaskan."Kemarin dia datang untuk mengunjungi kami, dan mengabarkan kalau panti asuhan yang dibangunnya telah selesai. Hari ini dia kembali ke kotanya."Netraku seketika membulat. Tubuhku melemas seketika. Kenapa dia tidak menemuiku? Apa dia sudah melupakan aku, suaminya?"Vanya menanyakan kabar kalian. Dia bahagia Tasya hamil," ucap Dion kemudian, seperti tahu apa yang kupikirkan. "Dia bilang tak ingin merusak kebahagiaan kalian."Aku memejamkan mata, menahan perih tak terkira dalam hati. Tak tahukah dia, siang malam aku tak pernah berhenti memikirkannya?"Aku harus mencarinya!" ucapku kemudian pada Dion."Jangan, Aldi. Tasya membutuhkanmu!" sahut Dion lagi. "Biar aku saja!"Aku terdiam sejenak. Benar, Tasya dalam kondisi kritis. Aku tidak mungkin meninggalkannya."Kamu jangan khawatir, Aldi. Aku akan mengejarnya. Semoga belum terlambat."
POV ALDI"Aku berangkat dulu, Dek," ucapku sambil membenarkan letak dasi di depan cermin."Hati-hati, Mas. Maaf, tidak bisa mengantarmu ke depan," ucap Tasya sambil tersenyum dengan duduk bersandar dia ranjang, seraya memegangi perutnya yang membesar."Tidak apa-apa, Dek. Istirahatlah," jawabku sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya.Tasya terlihat mengangguk. Aku meraih tas kerjaku dan berjalan keluar kamar."Aldi, nanti pulang cepat, ya? Antar Tasya untuk cek up ke Dokter nanti," ucap Mama saat aku bersiap berangkat kerja."Iya, Ma," jawabku sambil meraih tas kerja dari kursi di meja makan.Aku menatap ke arah kamar tempat Tasya masih istirahat. Sejak hamil kondisi tubuhnya lemah, dan harus beristirahat total.Benar, akhirnya aku melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai suaminya, meskipun sampai sekarang belum bisa mencintainya. Bagaimanapun, dia juga istriku yang sah di mata agama."Kamu sudah menemukan Vanya, Aldi?" Pertanyaan Mama seketika membuatku tersentak.Aku
POV ALDI"Assalamualaikum ... Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam berulang kali di depan gerbang pesantren tempat dulu aku meminang Vanya.Aku sangat cemas ketika dari kemarin Vanya tidak juga pulang, dan dia juga tidak pulang ke rumahnya. Pasti dia menginap di pesantren ini semalam."Waalaikumussalam." beberapa saat kemudian ustadzah Zahra tampak berjalan menuju ke arahku.Beliau membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkanku masuk."Apa Vanya ada di sini, ustadzah?" Tanpa basa -basi aku langsung bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke sekeliling pesantren."Tenanglah dulu, Nak Aldi. Duduklah dulu," ucap ustadzah Zahra sambil mempersilahkanku duduk di kursi teras."Mau saya bikinkan minum dulu, biar Nak Aldi bisa tenang?""Tidak, tidak perlu, Bu," sahutku.Aku duduk dengan tidak sabar. Aku benar-benar mencemaskan keadaan Vanya. Ustadzah Zahra terlihat membuang napas, lalu menatapku."Saya sudah dengar semuanya dari Vanya tentang hubungan kalian," ucap ustadzah Zahra kemudian.Ak
POV VANYAAku dan Mas Aldi saling berpandangan sesaat, lalu menatap mereka berdua lagi."Dion itu ... saudara kita, Sya. Kakak laki-laki kita," jawabku kemudian."Kakak? Kenapa Kak Vanya tidak pernah cerita kalau kita punya Kakak?" tanya Tasya lagi sambil mengerutkan kening.Aku tak langsung menjawab, tepatnya tak tahu harus menjawab apa. Bahkan untuk mendengar nama Dion saja sudah cukup berat bagiku, bagaimana aku bisa menjelaskan tentang dia?"Nanti biar aku yang jelaskan, Sya," sahut Mas Aldi, mungkin menyadari kalau wajahku menegang saat itu."Aku berangkat ke kantor dulu, nanti saja kita bicarakan tentang hal ini," lanjutnya.Tasya mengangguk, lalu cepat-cepat mengambil tas kerja milik Mas Aldi dan mengantarnya sampai depan pintu, hal yang selalu aku lakukan selama ini. Aku sengaja membiarkan Tasya yang melakukannya mulai sekarang, meskipun dengan perasaan yang berat. Mulai sekarang aku harus belajar menerima semua itu.Entah apa yang Mas Aldi jelaskan pada Tasya tentang Dion, tap
POV VANYA"Aku cinta sama Kak Aldi, Kak."Aku membulatkan netra sesaat, lalu menatap ke arah Tasya. Aku tak menyangka dia berani bicara seperti itu padaku. Rupanya setelah ingatannya hilang, perasaannya pada Mas Aldi tidak bisa hilang."Maafkan, aku, Kak. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Entah kenapa dan sejak kapan aku punya perasaan seperti ini. Padahal aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Maafkan aku, Kak," isak Tasya.Aku mengatupkan bibir. Ada perasaan nyeri teramat sangat di dalam sana. Apalagi setelah dokter memvonisku menderita kanker rahim beberapa waktu yang lalu. Hatiku sungguh terluka, tanpa aku mampu bercerita."Kamu mau bersama dengan Mas Aldi, Tasya?" tanyaku dengan bibir gemetar.Tasya membulatkan mata, lalu menatapku."Kamu bisa bersama dengan Mas Aldi, tapi dengan syarat yang harus kamu penuhi," ucapku dengan suara yang hampir tercekat."Kakak bercanda, kan?" tanya Tasya dengan senyum getir. "Seorang lelaki tidak boleh menikahi kakak beradik kandung."Aku
Aku memegang kedua pundak Vanya."Dek, kumohon jangan seperti ini. Maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami yang baik. Mas tidak mau pisah dari kamu, Dek," ucapku.Vanya tersenyum lagi, kali ini dengan bibirnya yang terlihat bergetar."Mas, Mama ingin punya cucu, dan kamu adalah putra beliau satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti pada Mama," ucapnya."Pasti ada cara lain, Dek. Jangan pernah berpikir tentang perpisahan," sahutku gusar."Kalian tidak perlu berpisah."Kami berdua seketika menoleh ketika melihat Mama masuk ke dalam ruangan itu sambil menuntun tangan Tasya."Mama, kenapa ke sini?" tanyaku, langsung berdiri dari tempatku."Bicara apa kamu, Aldi! Vanya itu menantu Mama. Mama juga mau melihat keadaannya," jawab Mama, sambil melewatiku dan mendekat ke arah Vanya."Bagaimana keadaanmu, Vanya? Kamu sudah merasa sehat?" tanya Mama sambil memegang tangan Vanya."Aku baik-baik saja, Ma, Alhamdulillah," jawab Vanya, tetap dengan senyumannya."Aldi
Aku serta-merta memeluk Vanya erat. Dia terus meraung dan meronta. Aku bisa merasakan kepedihannya."Nggak, Dek. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Sekarang yang terpenting adalah kesehatanmu. Kamu harus sembuh, Dek," ucapku, berusaha membuatnya tenang."Aku gak mau operasi, Mas. Apa gunanya seorang wanita tanpa rahim?""Astaghfirullah, istighfar, Dek! Bukan berarti kamu akan cacat tanpa rahim!"Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menenangkan Vanya. Aku membiarkannya menangis sebisanya dalam pelukanku, berharap hatinya akan membaik setelah itu."Dek, Ibunda Aisyah RA tidak memiliki keturunan dari Rasulullah, tapi tidak ada yang mempertanyakan kemuliaannya. Ibunda Aisyah tetap menjadi Ibu dari kaum muslimin, sampai kapanpun, walaupun tidak pernah melahirkan," ucapku pelan, seraya membelai lembut kepalanya yang tertutup jilbab.Vanya melepaskan diri dari pelukanku, lalu menatapku dengan bibir bergetar. Sepertinya ucapanku mulai mengena di hatinya."Kamu akan tetap menerimaku walaupun ti
"Dek, maafin Mas. Mas sudah salah," ucapku sambil memegang kedua pundak Vanya."Bukan Maksud Mas berduaan saja dengan Tasya. Kebetulan Tasya tersesat di jalan ketika mau membeli diapers untuk Mama. Jadi sekalian saja Mas mengantarkan dia. Sungguh, Dek, Mas juga cuma makan malam biasa saja sama dia," jelasku panjang lebar."Mas makan malam berdua dengan Tasya?" netra Vanya terlihat membulat.Aku tersentak, dan seketika bingung. Kenapa Vanya terkejut, seolah tidak tahu?"I-iya, Dek. Bukannya kamu tahu?" tanyaku gugup."Aku malah baru saja tahu dari Mas," jawab Vanya. "Bukan apa-apa, Mas. Aku tahu Tasya sudah jadi bagian dari keluarga kita, tapi tidak baik berduaan dengan yang bukan mahram."Aku menatap Vanya, semakin bingung. Tadi bukankah dia yang tiba-tiba bicara agar aku menikah dengan Tasya, tapi kenapa sekarang dia jadi marah seolah cemburu?"Lalu kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu, Dek?" tanyaku. "Mas pikir kamu bicara begitu karena tahu Mas berdua dengan Tasya."Vanya terli
"Bagaimana, Mas? Tasya cantik, ya?"Aku tersentak mendengar pertanyaan Vanya, lalu seketika menggaruk kepala yang tidak gatal. Mungkin Mama tidak akan mengenali Tasya dengan penampilannya yang seperti itu."Apa tidak apa-apa menyuruh Tasya berjilbab, Dek?"Aduh, pertanyaan macam apa ini? Kenapa aku jadi salah tingkah begini? Astaghfirullah."Apa maksudmu, Kak?" Tasya terlihat mengernyitkan kening. "Kak Vanya bilang penampilanku memang selalu begini. Benar, kan?"Aku langsung menatap ke arah Vanya, dan dia memberikan isyarat melalui tatapannya agar aku mengiyakan. Aku sebenarnya tidak mengerti, kenapa Vanya harus mengubah Tasya seperti itu? Bagaimana jika suatu saat ingatan Tasya kembali?"Oh, iya, benar," jawabku kemudian. "Ayo kita pulang."Vanya terlihat menggandeng Tasya, dan mereka berdua mengobrol dengan sangat cerianya sepanjang koridor. Aku hanya diam sambil menatap mereka berdua dari belakang. Entah firasat tidak enak apa yang terus kurasakan, dan aku terus berusaha membuangny