“Lu harus cuti,” ucap Nadio saat mereka keluar dari ruang perawatan.
“Gua harus kerja.”“Pake kursi roda macam itu?” tanya Nadio tak percaya. Karmila mengangguk dengan mantap. Jari Karmila lincah mengetik di keypad. Tepat saat keduanya sampai di tempat parkir, ponsel Karmila berbunyi.“Selamat pagi,” sapa Karmila kepada sang penelepon.“Selamat pagi, Bu. Saya sudah sampai depan rumah sakit. Di mana posisi Ibu?” tanya seseorang yang ternyata sopir taksi online.“Saya tunggu di tempat parkir, Pak,” jawab Karmila lalu kedua mata awas ke arah gerbang rumah sakit. Sesaat kemudian, ponsel dimatikan.“Lu, kerja dengan pakaian kayak gini? Kaga mandi?”tanya Nadio dengan ekspresi tercengang.“Gua cuci muka di warung tadi. Gua harus kerja apa pun keadaan gua,” jawab Karmila lantang, tetapi di telinga Nadio bernada memelas.“Okey, itu mau lu. Ini buat jaga-jaga kalo perlu ambulans,”sahut Nadio sambil memasukkan sebuah amplop cokelat ke tas Karmila. Kemudian, pria tersebut gegas menuju motor dan mengendarai meninggalkan Karmila yang terpaku.Nih, orang. Kaga punya hati. Apa rugi, tunggu gua sampe naik taksi. Dia juga yang bikin gua celaka. Kirain nyesel dengan perbuatan semalam, batin Karmila senewen dengan sikap Nadio yang seenaknya.Akhirnya taksi yang ditunggu pun datang. Dengan dibantu sopir, Karmila bisa masuk taksi. Sementara kursi roda disimpan dalam bagasi. Kendaraan tersebut mulai meninggalkan tempat. Nadio memarkir motor tak jauh dari rumah sakit, segera memacu motor setelah taksi melewatinya.Itu bukannya Nadio? Kok kenceng? Pasti bukan. Dia udah duluan tadi, batin Karmila masih menatap tajam ke arah pengendara motor sport yang tampak punggungnya sekilas.Dua puluh menit berlalu, akhirnya taksi telah sampai di depan kantor. Karmila turun dari taksi dengan tertatih-tatih. Sopir taksi cekatan mengambil kursi roda dari bagasi lalu membantu Karmila sampai bisa duduk.“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Karmila sembari mengulurkan selembar uang warna merah kepada sang sopir.“Ibu udah bayar pake aplikasi,” balas sopir menolak pemberian uang.“Bukan, Pak. Ini bonus. Terima kasih udah bantuin saya,” ucap Karmila sambil mengulurkan kembali uang tersebut.“Terima kasih banyak, Bu.” Sopir tersebut mengangguk dan berniat mendorong kursi roda sampai ke lobby, tetapi dilarang oleh Karmila.“Saya bisa sendiri, Pak. Permisi,”ucap Karmila sambil mengatur tuas pengontrol mengarah ke lobby kantor.Sesampai di dalam, Karmila bertegur sapa dengan sekuriti dan beberapa karyawan di kantor depan lalu menjelaskan alasan dia memakai kursi roda. Kemudian, wanita berambut ikal tersebut langsung menuju finger print untuk absen.Jam menunjukkan pukul 8.30 pagi. Beruntung Karmila tadi sempat minta izin ke Vivian—kepala divisi—untuk datang telat karena periksa gigi dulu. Wanita ini segera melenggang ke arah ruangan HRD untuk memberikan surat keterangan dari dokter lalu menuju ruangan kerjanya.Masih ada waktu sejam lebih buat persiapan rapat, batin Karmila sambil merogoh ponsel dari dalam tas. Beberapa saat mengklik nomor Vivian, akhirnya bisa terhubung.“Lu udah sampe mana?” tanya kepala divisi tersebut.“Udah di lobby, mau ke ruangan. Rapat di mana?” tanya Karmila sambil berharap doanya terkabul.“Kita hari ini rapat dengan direktur utama. Lu belum pernah ketemu dia. Langsung ke lantai atas,”jelas Vivian yang seketika membuat hati Karmila patah hati. Dia memikirkan cara membawa berkas dan laptop untuk keperluan rapat.Selama ini Karmila belum pernah bertemu dengan direktur utama tersebut, yang menurut teman-temannya masih lajang dan berwajah tampan. Akhirnya sekarang, dia berkesempatan bertemu langsung dengan beliau.Dengan susah payah, Karmila sampai di ruangan rapat. Semua divisi, termasuk kru advertising sudah siap dengan berkas-berkas yang akan dirapatkan. Semua pandangan mata tertuju ke arah Karmila, terutama kursi roda yang menopang tubuhnya.“Kata lu sakit gigi. Ini kenapa kaki digips? Lu kecelakaan?” tanya Vivian beruntun sambil mengambil alih berkas dan laptop.“Kaki terkilir saat turun dari bus waktu pulang kerja kemarin. Udah diobati juga,” jawab Karmila sambil mengatur tuas pengontrol.Mereka berjalan beriringan menuju meja kru advertising. Lisa yang melihat kedatangan Karmila, buru-buru menghampiri.“Lu ke mana aja semalam? Kecelakaan gini, ngapain lu kaga telepon gua?” sapa Lisa tanpa merasa bersalah.“Lu tanya ke mana? Gua telepon lu? Buat mulusin niat busuk lu? Hah!” jawab Karmila dengan emosi.“Ada apa lagi dengan kalian?” tanya Vivian sambil membantu menyingkirkan kursi guna memberi tempat untuk Karmila.“Kaga usah dibahas, Kak. Gak penting,” balas Karmila dengan ekspresi jengkel.“Lu kenapa Mila? Gua cariin elu semalaman. Gua telepon berkali-kali. Tau-tau dimatiin. Gua khawatir,” kilah Lisa mau mendekat ke arah Karmila, tetapi dicegah oleh Vivian.“Buruan balik ke meja!” pinta Vivian sambil mengajak Lisa menyingkir. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, rapat segera dimulai.Direktur utama masuk ke ruang rapat dan alangkah kaget hati Karmila saat melihat Nadio. Demi menjaga rasa profesionalisme, Karmila menutupi rasa keterkejutannya dengan sebaik-baiknya. Nadio sempat tersenyum tipis ke arah Karmila.Rapat berlangsung sekitar satu jam. Sebelum Nadio keluar ruangan, dia sengaja mendekat ke tempat duduk Karmila lalu berucap,”Kita perlu bicara soal proposal barusan. Saya tunggu di ruangan.”Karmila seketika kaget untuk kedua kalinya. Vivian ikut terkejut dengan ucapan sang direktur utama. Baru kali ini sang direktur utama bertemu Karmila, tetapi bereaksi tak mengenakkan seperti barusan.Rapat telah usai dengan menyisakan tanda tanya besar bagi seluruh anggota rapat. Saat Karmila sedang sibuk dengan berkas-berkas pembuatan iklan, Vivian datang menghampiri.“Mila? lu udah pernah ketemu sebelumnya ama Pak Nadio?”tanya Vivian memandang heran ke Karmila.“Enggak, Kak. Kenapa?”“Ada apa, ya? Proposal yang lu bikin udah bagus. Semua divisi salut ama kinerja kita, terutama lu. Pak Nadio pun kaga ada masalah waktu lu presentasi. Dia maklum juga, waktu lu izin sampein proposal sambil duduk,” papar Vivian yang tak terima, atas reaksi sang dirut.“Ya, mungkin ada yang kaga bener di mata beliau, Kak,”balas Karmila dengan perasaan berkecambuk tak karuan.“Betewe, lu disuruh menghadap Pak Nadio. Sekarang juga.beres. Gua jadi gemeter, tauk,” ucap sang kepala divisi sambil menepuk punggung Karmila pelan.“Gak papa, Kak. Gua segera menghadap,” balas Karmila dengan degup jantung bergemuruh. Wanita berambut ikal ini, penasaran dengan panggilan khusus dari Nadio.Karmila benar-benar dibuat bingung oleh sikap Nadio. Saat di tempat parkir klinik kesehatan, mereka tak ada masalah. Bahkan Nadio sempat memberikan amplop yang diperkirakan oleh Karmila berisi uang yang cukup banyak. Namun, belum sempat dibukanya.Apa mungkin dia marah gara-gara gua tolak semalam? Uang ini buat bayaran gua? Dia pengen paksa gua? Karmila bergulat dengan pikirannya sambil menyelipkan amplop cokelat di antara berkas.Gua harus buat perhitungan dengan elu, Nadio! Gua lebih baik resign daripada nuruti nafsu lu, Bajingan! umpat Karmila dari dalam hati.Karmila gegas menyelesaikan tugas. Namun, dia sudah beberapa kali menghapus dan mengetik ulang data di komputer. Berapa lembar kertas dia pakai menuliskan kembali kata-kata yang terlupa. Namun, itu pun sering kali diremas dan berakhir di keranjang sampah. Nadio melihat semua tingkah laku Karmila dari jendela dan gemas juga dibuatnya. Karmila tak sadar ada sepasang mata elang sedang mengawasinya. Dia sedang iseng putar-putar bolpoin di jari jemari lalu tiba-tiba terlempar dekat pintu. Saat dia menggerakkan kursi roda dan akan mengambil, akhirnya pandangan mata mereka bertemu. Nadio tersenyum telah berdiri depan pintu. Pria itu mengambil bolpoin lalu melangkah menghampiri meja Karmila. Seketika wanita ini duduk terpaku, raut wajahnya bersemu merah. “Hmm ... ada apa, Lu? Gelisah banget?” tanya Nadio tepat di depan meja. Karmila jadi kikuk, tak sanggup harus ngomong apa? Hanya bisa tersipu malu karena tingkahnya ketahuan Nadio. Namun juga ada rasa marah di hatinya. “Beresin berkas lu
Nadio seketika tersadar dan buru-buru melangkah menuju mobil lalu masuk. Dia mengambil botol air mineral dari dalam tas, membuka tutupnya lalu meminum separuh isinya. Tampak pria berparas oriental itu mengembuskan napas dan memandang taksi yang membawa Karmila telah menjauh. Di otak Nadio sekarang, hanya ada satu keinginan. Dia harus berbicara empat mata dengan Karmila. Keputusannya mengajak makan siang di luar dan membahas hal tersebut, tak tepat. Ponsel Nadio berbunyi, dia melihat nama penelepon. “Ya, gimana pesanan saya?” Seorang wanita dari seberang telepon berkata,”Sudah saya packing, Pak. Maaf, boleh tahu nomor telepon penerima?” “Okey, saya kirimkan alamatnya. Tolong dirahasiakan nama saya,” jawab Nadio yang memutuskan hubungan langsung. Jemari tangannya segera mengetik nama dan nomor kontak lalu mengirimkannya. Tak berapa lama pesan telah dibaca dan dibalas. Kini, Nadio gegas masuk mobil lalu memacunya ke arah kantor. Sesampai ke tempat parkir, Nadio melihat mobil yang men
“Apaan sih, gua kaga bisa napaass ...!” teriak Karmila sambil mengurai dekapan Nadio. “Lu tau, gua marah karena apa?” tanya Nadio sambil mendorong kursi roda ke arah sofa. Kemudian, Nadio mengunci kursi roda dan duduk tepat di hadapan Karmila. Pandangan pria ini mengintimidasi tepat ke manik mata Karmila.Rasa sakit pada kaki dalam balutan gips, terkalahkan kejengkelan hati Karmila atas kelakuan Nadio sedari pagi. Wanita ini benar-benar dalam posisi siap meledak. Bagai magma gunung berapi aktif yang siap meletus. Itu tergambar jelas bagai ikan berenang dalam aquarium. Ekspresi wajah Karmila tak main-main soal ini.Nadio bukan tak menyadari hal tersebut. Namun, jiwa otoriter pria berparas oriental tersebut bergejolak. Dia harus bisa menguasai Karmila sebagai bawahan dan tak akan biarkan kesenangannya berakhir. Karmila tak boleh resign, dengan cara apa pun.“Stop! Gua resign detik ini juga. Permisi!” Karmila membuka kunci tuas dan segera memutar kursi roda ke arah pintu. ‘’Tiiit ...!
Gila bener! Si bos, lengkap betul belinya. Berasa seserahan. Dari ujung kaki sampe kepala, batin Vivian yang semakin merasa aneh.“Bukannya pertemuan dengan klien, ya?” tanya Karmila sambil menenteng mini dress dengan tali spaghetti. Vivian seketika kaget melihat barang yang ditenteng di depan matanya. Wanita bertubuh subur tersebut segera mengirim pesan kepada sang bos, daripada dia salah jawab.[Maaf, Pak. Karmila tanya, benar mau meeting? Mini dress tali spanghetti, tak terlalu seksi?]Sementara itu, Karmila masih menunggu jawaban dari Vivian. Wanita berambut ikal tersebut menempelkan pakaian bermotif bunga sakura ke tubuhnya. Dia pun geleng-geleng kepala dengan mulut berdecak. Pakaian itu pun diletakkan di meja.“Tau kaga. Hari ini adalah teraneh buat gua, Kak. Kirain bos doang, kaga taunya, lu juga,” ucap Karmila lalu memutar kursi roda akan ke pintu.“Lu, mau ke mana? Tunggu bentar! Gua masih tanya tema meeting. Kayaknya salah info,” jelas Vivian gugup sambil menatap layar ponse
Brengsek! Umpat Karmila dalam hati. Keinginan resign wanita ini semakin kuat. Sehabis meeting, dia akan mengutarakan langsung kepada Nadio dan akan pulang ....Karmila baru tersadar bahwa dia harus segera pindah indekos. Keselamatannya terancam, jika masih sekamar dengan Lisa. Aku mau ke mana? Tanya Karmila dalam hati dan buliran bening pun menetes dari kedua sudut mata.Namun, wanita berambut ikal tersebut buru-buru menghapus air matanya. Saat dilihatnya, Nadio telah masuk bersama Sofie.“Okey, Sof. Thanks, ya. Gua langsung cabut,” pamit Nadio sembari menghampiri Karmila.Sofie tersenyum menggoda lalu berucap,”You ‘re welcome. Kalian bisa pesan gaun pengantin dimari. Harga spesial, deh.”“Tukan, mau, lu. Otak dagang!” seru Nadio gegas mengangkat tubuh Karmila. Wanita ini pun kaget dan langsung menjerit. Namun, Nadio hanya tersenyum tipis menatap Karmila sekilas. Pria berparas oriental tersebut beranjak keluar dengan membopong tubuh Karmila. “Bay, bay, Cantik. Gua tunggu fitting gaun
“Terima kasih kembali. Gak usah diganti, Bu. Okey, saya tinggal ke lobby kembali. Kalo ada apa-apa, bisa hubungi saya pake telepon paralel,” jelas sekuriti.“Okey, Pak. Terima kasih,” balas Karmila dan ditanggapi anggukan oleh sekuriti. Pria berambut cepak ini pun beranjak pergi.Wanita berambut ikal ini mulai sibuk kembali dengan tugasnya. Beberapa saat kemudian, seorang kurir pengantar makanan datang dengan diantar sekuriti. Begitu barang telah diterima Karmila, kurir dan sekuriti berpamitan. Sebuah goodie bag besar penuh makanan dari resto ternama telah berada di hadapan Karmila.Dia kini hanya bisa termenung, memikirkan apa yang ada dalam otak si bos. Akhirnya, dia pun bergelut dengan tugas kembali. Berkas selesai dikerjakan bersamaan dengan kedatangan Vivian. Kepala divisi advertising tersebut tampak tersenyum lebar, begitu pintu dibuka oleh Karmila.“Enak, ya, meeting dalam kamar penuh makanan gini. Berasa liburan,” sindir Vivian saat kedua bola mata menangkap penampakan goodie
“Ya, Pak. Saya minta maaf. Baru mau telepon minta izin, udah keduluan Bapak,” jawab Vivian salah tingkah. Karmila tersenyum simpul karenanya, meski tak kalah gemetar. “Okey. Saya tunggu, kalian ke mess saya. Saya pengen tahu,” tegas Nadio. Sambungan telepon terputus dan meninggalkan Vivian yang tertegun. Mematung. Karmila menatap heran ke arah atasannya tersebut. Dia mendekat lalu menggerak-gerakkan telapak tangan tepat di depan kedua mata Vivian. “Kak! Lu kenapa?” tanya Karmila cemas. Kedua tangan segera memegang bahu Vivian lalu menggoyang-goyangkan. “Kaaak ...!” “Eh, iya, ya ... hm,” sahut Vivian layaknya orang bingung. “Lu, kenapa, Kak? Bentar.” Karmila segera mengambil aroma terapi dari dalam tas. Kemudian mengusapkan sedikit di ujung hidung dan kedua pelipis Vivian. “Terima kasih. Gua bingung. Bos suruh gua ke sana sama karyawan baru. Gimana caranya? Orang bohong kaga enak, kalo kena jebak,” keluh Vivian. Tak lama kemudian, terdengar ponsel Vivian berbunyi. Kedua matanya lan
Nadio mengambil sebuah lalu menyuapkan ke mulut Karmila. Wanita ini lahap sekali memakannya. Kemudian, Nadio menggigit hamburger dari sisi berbeda. Saat makanan mulai habis, kedua wajah semakin dekat. Makan malam mereka berakhir dengan lumatan mesra. Karmila tiba-tiba menjauhkan wajah. “Kenapa?” tanya Nadio yang kaget dengan aksi Karmila. Jemari lentik sang wanita segera mengusap bekas saos dari sekitar bibir dengan tisu. Kemudian gantian membersihkan bibir Nadio. Mata mereka beradu pandang dan Nadio tersenyum. Seketika Karmila menunduk lalu meremas kedua tangan. Wanita berambut ikal ragu dengan rencana mereka barusan. “Pak ...,” “Ada apa, Sayang? Panggil Mylove, dong,” balas Nadio sambil meraih tangan Karmila lalu mengecupnya mesra. “Gua bingung.” Karmila tak melanjutkan ucapannya lalu menatap ke arah luar. Nadio meraih dagu wanita di depannya dan kini wajah keduanya berhadapan. “Ngomong, Sayang,” ucap Nadio lembut. Embusan napas pria ini menerpa wajah Karmila. Wanita beram
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru