Pria berwajah oriental itu akan melangkah pergi, saat terdengar beberapa kali dering ponsel. Akhirnya, dia terpaksa mengambil benda pipih dari tas wanita itu. Dia segera mematikannya agar si wanita bisa tidur pulas saat ditinggal.
Nadio Mahatma--nama pria itu-- segera menutupi tubuh Karmila dengan selimut karena terlihat menggigil. Nadio memandangi wajah Karmila. Kemudian, dia segera beranjak menuju pintu.“Untung cantik.” Pikiran nakalnya mulai bergerilya. Tangan Nadio masih sempat mencium jemari Karmila sekilas lalu melangkah ke arah pintu."Pergi, lu! Gua kaga sudi!" Tiba-tiba Karmila meraung-raung dengan mata terpejam.Kejadian yang dialaminya sedemikian membuat trauma. Nadio segera berbalik ke arah Karmila. Pria ini membetulkan selimut yang tersingkap."Elu jahat ma gua! Pergi lu!""Sst ... tenang! Lu udah aman. Ada di rumah gua."Tangan kekar Nadio mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher wanita tersebut."Tolongin! Gua dikejar mereka, " ucap Karmila sembari mendekap erat tubuh Nadio.Air mata tak berhenti mengalir dari kelopak mata wanita dengan mulut beraroma alkohol tersebut. Nadio terenyuh melihat hal itu, lalu mengusap buliran-buliran bening dan membelai lembut punggung sang wanita. Nadio yang berusaha menahan gejolak kelakiannya sedari tadi, jadi goyah.Gesekan tubuh mereka, membuat hasrat Nadio tak terbendung. Pria bermata cokelat ini mengecup pelan bibir Karmila. Sang wanita mengecap-ngecap sesaat, semakin membuat aliran darah Nadio mendidih."Sayang, bentar aja,” bisiknya di telinga Karmila dan tanpa menunggu jawaban, Nadio memaksakan kehendak.“Tidaaak!” teriak Karmila sambil mendorong tubuh Nadio sekuat tenaga. Wanita tersebut langsung lari ke luar kamar dan terjatuh di tangga. Nadio yang telah salah paham segera menyusul.Tampak Karmila sedang kesakitan mencoba bangkit, tetapi terjatuh kembali.“Tolong! Jangaan ...!” pinta wanita ini mengiba dengan bercucuran air mata. Sementara, di lutut dan siku ada luka berdarah. Nadio semakin merasa bersalah lalu berlutut, berniat membantu Karmila berdiri.“Jangan dekat-dekat!” teriak Karmila dengan tatapan nanar."Tenang! Gua mau tolong lu,” ucap Nadio berusaha mendekat, tetapi ditendang oleh kaki sang wanita. Akhirnya, tubuh Karmila lunglai. Dia meringkuk dengan kedua kaki ditekuk. Nadio yang merasa bersalah, tak mau memaksakan kehendak lalu beranjak ke kamar.Nadio mengambil selimut dan segera menghampiri Karmila yang sudah tertidur pulas. “Pindah ke kamar, ya?” tanya Nadio, tetapi wanita tersebut hanya terdengar dengkurannya.Karmila dibopong oleh Nadio ke kamar. Dengan perlahan, sang pria menurunkan tubuh wanita berambut ikal ke pembaringan. Ada tetesan air mata dari kedua sudut mata Karmila yang terpejam."Sa-kiit ...," rintih Karmila lirih, membuat Nadio panik, apalagi tampak cairan merah mengalir dari lutut dan siku sang wanita.Nadio segera turun dari ranjang mencari handuk kecil dan sebuah wadah dari toilet lalu diisi air hangat dari dispenser. Kemudian Nadio mengambil kapas dan obat luka dari kotak P3K. Pria ini beranjak ke pembaringan lalu membersihkan luka dan mengobatinya. Tampak Karmila tertidur kembali.•••¤¤•••¤¤•••¤¤•••Sinar mentari menerobos masuk lewat celah-celah jendela, menerpa dua tubuh yang terlelap di atas pembaringan. Tubuh Nadio mendekap erat tubuh Karmila. Karmila tampak tidur tenang dalam dekapan Nadio.‘Tok … tok … tok’“Den Nadio … sudah siang, Den.”Suara ketukan pintu serta sebuah panggilan terdengar dari luar kamar.‘Tok … tok … tok’“Den Nadio … sudah siang.”Terdengar lagi ketukan pintu serta sebuah panggilan dari luar. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki meninggalkan kamar tersebut.“Auch … pusing,” keluh Karmila dengan separuh kesadaran.Demi mendengar suara dalam dekapannya kesakitan, Nadio membuka mata, seketika memegang kepala Karmila.“Kita ke dokter,” ucap Nadio penuh kecemasan. Dia khawatir ada tubuh Karmila yang terkilir.“Auch … Hah! Siapa lu? Gua di mana? Lu apain aja tubuh gua, heh?” teriak Karmila penuh kemarahan, sembari melepas dekapan Nadio.Karmila bergegas bangkit dari tidur, dengan tubuh masih sempoyongan. Wanita ini mencoba berdiri dari pembaringan. Terasa ada rasa perih di lutut, siku dan nyeri di pergelangan kaki. Namun, dia tak menghiraukan rasa sakit.Rasa marah memenuhi rongga dada Karmila lalu menyeruak berubah menjadi sebuah tangisan.Wanita berambut ikal ini teringat sepintas, kisah tragis yang dialami semalam. Dia telah dijebak oleh Lisa. Karmila menyesal sempat mencicipi sedikit minuman beraroma lemon pemberian bartender. Hanya meminum seteguk, dia telah merasakan pening.Dalam keadaan mabuk berat dia melarikan diri dari seorang pria hidung belang. Semalam Karmila sudah terlampau mabuk, hanya sepintas dia ingat … ada seorang pria yang membopongnya masuk mobil.Pria inikah yang menolong gua?Ngapain gua semalam?Kenapa ada rasa perih? Beragam tanya memenuhi rongga hati Karmila.“Tenang Karmila! Tenang! Lu semalam mabuk berat, gua ajak ke sini, biar aman,” jelas Nadio sembari berdiri dari ranjang.Tangannya mengambil kotak tisu dari atas nakas lalu menyodorkan ke arah Karmila. Nadio mendongak ke arah jam dinding. Alangkah kaget dirinya, melihat jam dinding, jarumnya telah menunjukkan pukul enam pagi.“Oh My God … udah siang!” pekik Nadio spontan berlari ke arah kamar mandi.Tinggal Karmila dalam kebingungan. Wanita ini masih dengan sisa isak tangis, mengambil tas dari atas nakas.Kenapa dirinya tak memakai celana dalam? Karmila mencarinya, tak ketemu. Entahlah semalam yang diingat Karmila secara samar, hanya pelukan dan tendangan kakinya lalu dia berlari dan pingsan.Sakit karena terkilir ditambah lagi rasa pengar membuat kepalanya berat. Karmila segera mengambil sebuah bungkusan dari dalam tas lalu memakainya.Beruntung dia selalu menyediakan celana dalam pengganti, persiapan jika tamu bulanan datang setiap saat. Karmila mengambil sepatu high hells yang diketemukannya di kolong pembaringan. Pergelangan kaki kanan yang terkilir tak dihiraukan. Dia tahan sekuat tenaga.Karmila dengan langkah tertatih-tatih keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga. Saat wanita ini sampai di ujung anak tangga matanya beradu pandang dengan sepasang mata tua yang sedang mempersiapkan sarapan di meja makan.“Maaf, permisi,” sapanya dengan canggung kepada Bik Inah, sosok tua tersebut.Karmila dengan menahan berjalan ke arah pintu, segera tubuhnya menghilang di balik pintu. Bik Inah bengong lalu mengikuti ke arah pintu lalu membukanya. Tampak oleh wanita tua tersebut, si wanita masuk taksi, lalu pergi.Wanita barusan siapa, ya? Kok bisa dari arah kamar Den Nadio?Apa mungkin kekasih Den Nadio?Apa iya … sudah bertahun-tahun Den Nadio paling anti dengan wanita, pikir Bik Inah dengan keheranan.Bik Inah kembali melangkah ke arah meja makan lagi. Belum selesai rasa heran Bik Inah, Nadio menuruni anak tangga dengan ekspresi panik.“Bik, tadi ada lihat wanita keluar rumah?”“iya, Den … barusan Bibik lihat naik taksi, emang kenapa?” tanya Bik Inah sambil senyum di kulum, sembari menatap majikan gantengnya dari atas sampai ke bawah.Nadio menjadi salah tingkah dibuatnya, memang pria muda ini tak pandai berbohong di hadapan Bik Inah. Secara Bi Inah mengasuhnya sedari bayi, jadi hubungan mereka sudah layaknya ibu dengan anak.Nadio lebih nyaman curhat masalah pribadi ke Bik Inah daripada ke mamanya. Orang tua Nadio telah lima tahun terakhir tinggal di Singapura, praktis Nadio hanya tinggal sendiri, sedang Bik Inah tinggal tak jauh dari rumah mewah ini.“Bullshit! Kenapa tadi, nggak gua antar pulang dulu ya, Bik,” sahut Nadio sambil menepuk jidat.“Apa? Den Nadio punya pacar sekarang?" tanya Bik Inah bertambah heran dengan perilaku sang tuan muda pagi ini.Nadio hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Bik Inah. Meski dia sempat kelimpungan oleh tatapan menyelidik pembantunya. Dari peristiwa semalam, dia tahu Karmila adalah gadis baik-baik yang dijebak oleh temannya sendiri. Dan dirinya? Pria bodoh yang tega hendak memaksakan kehendak.Nadio sibuk mondar-mandir, sejenak menekan beberapa tombol angka pada ponsel. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung. Guratan kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Beruntung semalam sempat menyimpan nomor ponsel Karmila.“Bik, Nadio pergi dulu sekalian ke kantor,” kata sang pria muda sembari mencium punggung tangan Bik Inah, lalu meminum segelas susu dengan buru-buru.Nadio melangkah setengah berlari, dia harus segera bisa memastikan keadaan Karmila.Motor sport yang dipakainya kali ini, agar lebih leluasa melaju di jalan raya. Hanya ada nama Karmila yang ada di otaknya. Dalam otaknya masih terasa dekapan hangat serta tangisan Karmila semalam, melekat tak mau hilang.Seketika tersungging senyum di bibir Nadio.“Etdah … busyeett, ngapain gua jadi roman kayak gini.” Nadio bingung dengan jalan pikirannya sendiri. Semakin Nadio memungkiri rasa di hati, semakin penasaran yang menderanya.Sebuah taksi berhenti di depan sebuah indekos. Karmila turun, lalu melangkah ke arah pintu gerbang. Sebelum sempat langkah kaki memasuki ke halaman, terlihat olehnya dua orang lelaki kekar sedang berbicara serius dengan Lisa. Dari kejauhan, Karmila cukup mengenali siapa dua orang lelaki tersebut. Mereka adalah bodyguard yang sempat Karmila temui di tempat pesta semalam. Karmila balik arah dan beruntung taksi yang ditumpangi barusan, belum beranjak pergi. Dia pun mengetuk kaca taksi. ‘Tok … tok … tok’ Kaca taksi terbuka, Pak Sopir menoleh ke arah Karmila. “Ya, Neng, ada barang tertinggal?” tanyanya. “Aku ikut lagi, Pak.” Karmila masih menoleh ke arah belakang karena khawatir ada yang mengikuti. “Silakan, Neng,” ucap Pak Sopir. Karmila segera membuka pintu belakang lalu masuk taksi. “Pertokoan Genteng Biru ya, Pak.” “Baik, Neng,” sahut Pak Sopir. Karmila menyalakan ponsel dan bermaksud menghubungi seorang teman. Benda pipih tersebut menyala bersamaan dengan panggilan masuk. Sebu
“Lu harus cuti,” ucap Nadio saat mereka keluar dari ruang perawatan. “Gua harus kerja.” “Pake kursi roda macam itu?” tanya Nadio tak percaya. Karmila mengangguk dengan mantap. Jari Karmila lincah mengetik di keypad. Tepat saat keduanya sampai di tempat parkir, ponsel Karmila berbunyi. “Selamat pagi,” sapa Karmila kepada sang penelepon. “Selamat pagi, Bu. Saya sudah sampai depan rumah sakit. Di mana posisi Ibu?” tanya seseorang yang ternyata sopir taksi online. “Saya tunggu di tempat parkir, Pak,” jawab Karmila lalu kedua mata awas ke arah gerbang rumah sakit. Sesaat kemudian, ponsel dimatikan. “Lu, kerja dengan pakaian kayak gini? Kaga mandi?”tanya Nadio dengan ekspresi tercengang. “Gua cuci muka di warung tadi. Gua harus kerja apa pun keadaan gua,” jawab Karmila lantang, tetapi di telinga Nadio bernada memelas. “Okey, itu mau lu. Ini buat jaga-jaga kalo perlu ambulans,”sahut Nadio sambil memasukkan sebuah amplop cokelat ke tas Karmila. Kemudian, pria tersebut gegas menuju moto
Karmila gegas menyelesaikan tugas. Namun, dia sudah beberapa kali menghapus dan mengetik ulang data di komputer. Berapa lembar kertas dia pakai menuliskan kembali kata-kata yang terlupa. Namun, itu pun sering kali diremas dan berakhir di keranjang sampah. Nadio melihat semua tingkah laku Karmila dari jendela dan gemas juga dibuatnya. Karmila tak sadar ada sepasang mata elang sedang mengawasinya. Dia sedang iseng putar-putar bolpoin di jari jemari lalu tiba-tiba terlempar dekat pintu. Saat dia menggerakkan kursi roda dan akan mengambil, akhirnya pandangan mata mereka bertemu. Nadio tersenyum telah berdiri depan pintu. Pria itu mengambil bolpoin lalu melangkah menghampiri meja Karmila. Seketika wanita ini duduk terpaku, raut wajahnya bersemu merah. “Hmm ... ada apa, Lu? Gelisah banget?” tanya Nadio tepat di depan meja. Karmila jadi kikuk, tak sanggup harus ngomong apa? Hanya bisa tersipu malu karena tingkahnya ketahuan Nadio. Namun juga ada rasa marah di hatinya. “Beresin berkas lu
Nadio seketika tersadar dan buru-buru melangkah menuju mobil lalu masuk. Dia mengambil botol air mineral dari dalam tas, membuka tutupnya lalu meminum separuh isinya. Tampak pria berparas oriental itu mengembuskan napas dan memandang taksi yang membawa Karmila telah menjauh. Di otak Nadio sekarang, hanya ada satu keinginan. Dia harus berbicara empat mata dengan Karmila. Keputusannya mengajak makan siang di luar dan membahas hal tersebut, tak tepat. Ponsel Nadio berbunyi, dia melihat nama penelepon. “Ya, gimana pesanan saya?” Seorang wanita dari seberang telepon berkata,”Sudah saya packing, Pak. Maaf, boleh tahu nomor telepon penerima?” “Okey, saya kirimkan alamatnya. Tolong dirahasiakan nama saya,” jawab Nadio yang memutuskan hubungan langsung. Jemari tangannya segera mengetik nama dan nomor kontak lalu mengirimkannya. Tak berapa lama pesan telah dibaca dan dibalas. Kini, Nadio gegas masuk mobil lalu memacunya ke arah kantor. Sesampai ke tempat parkir, Nadio melihat mobil yang men
“Apaan sih, gua kaga bisa napaass ...!” teriak Karmila sambil mengurai dekapan Nadio. “Lu tau, gua marah karena apa?” tanya Nadio sambil mendorong kursi roda ke arah sofa. Kemudian, Nadio mengunci kursi roda dan duduk tepat di hadapan Karmila. Pandangan pria ini mengintimidasi tepat ke manik mata Karmila.Rasa sakit pada kaki dalam balutan gips, terkalahkan kejengkelan hati Karmila atas kelakuan Nadio sedari pagi. Wanita ini benar-benar dalam posisi siap meledak. Bagai magma gunung berapi aktif yang siap meletus. Itu tergambar jelas bagai ikan berenang dalam aquarium. Ekspresi wajah Karmila tak main-main soal ini.Nadio bukan tak menyadari hal tersebut. Namun, jiwa otoriter pria berparas oriental tersebut bergejolak. Dia harus bisa menguasai Karmila sebagai bawahan dan tak akan biarkan kesenangannya berakhir. Karmila tak boleh resign, dengan cara apa pun.“Stop! Gua resign detik ini juga. Permisi!” Karmila membuka kunci tuas dan segera memutar kursi roda ke arah pintu. ‘’Tiiit ...!
Gila bener! Si bos, lengkap betul belinya. Berasa seserahan. Dari ujung kaki sampe kepala, batin Vivian yang semakin merasa aneh.“Bukannya pertemuan dengan klien, ya?” tanya Karmila sambil menenteng mini dress dengan tali spaghetti. Vivian seketika kaget melihat barang yang ditenteng di depan matanya. Wanita bertubuh subur tersebut segera mengirim pesan kepada sang bos, daripada dia salah jawab.[Maaf, Pak. Karmila tanya, benar mau meeting? Mini dress tali spanghetti, tak terlalu seksi?]Sementara itu, Karmila masih menunggu jawaban dari Vivian. Wanita berambut ikal tersebut menempelkan pakaian bermotif bunga sakura ke tubuhnya. Dia pun geleng-geleng kepala dengan mulut berdecak. Pakaian itu pun diletakkan di meja.“Tau kaga. Hari ini adalah teraneh buat gua, Kak. Kirain bos doang, kaga taunya, lu juga,” ucap Karmila lalu memutar kursi roda akan ke pintu.“Lu, mau ke mana? Tunggu bentar! Gua masih tanya tema meeting. Kayaknya salah info,” jelas Vivian gugup sambil menatap layar ponse
Brengsek! Umpat Karmila dalam hati. Keinginan resign wanita ini semakin kuat. Sehabis meeting, dia akan mengutarakan langsung kepada Nadio dan akan pulang ....Karmila baru tersadar bahwa dia harus segera pindah indekos. Keselamatannya terancam, jika masih sekamar dengan Lisa. Aku mau ke mana? Tanya Karmila dalam hati dan buliran bening pun menetes dari kedua sudut mata.Namun, wanita berambut ikal tersebut buru-buru menghapus air matanya. Saat dilihatnya, Nadio telah masuk bersama Sofie.“Okey, Sof. Thanks, ya. Gua langsung cabut,” pamit Nadio sembari menghampiri Karmila.Sofie tersenyum menggoda lalu berucap,”You ‘re welcome. Kalian bisa pesan gaun pengantin dimari. Harga spesial, deh.”“Tukan, mau, lu. Otak dagang!” seru Nadio gegas mengangkat tubuh Karmila. Wanita ini pun kaget dan langsung menjerit. Namun, Nadio hanya tersenyum tipis menatap Karmila sekilas. Pria berparas oriental tersebut beranjak keluar dengan membopong tubuh Karmila. “Bay, bay, Cantik. Gua tunggu fitting gaun
“Terima kasih kembali. Gak usah diganti, Bu. Okey, saya tinggal ke lobby kembali. Kalo ada apa-apa, bisa hubungi saya pake telepon paralel,” jelas sekuriti.“Okey, Pak. Terima kasih,” balas Karmila dan ditanggapi anggukan oleh sekuriti. Pria berambut cepak ini pun beranjak pergi.Wanita berambut ikal ini mulai sibuk kembali dengan tugasnya. Beberapa saat kemudian, seorang kurir pengantar makanan datang dengan diantar sekuriti. Begitu barang telah diterima Karmila, kurir dan sekuriti berpamitan. Sebuah goodie bag besar penuh makanan dari resto ternama telah berada di hadapan Karmila.Dia kini hanya bisa termenung, memikirkan apa yang ada dalam otak si bos. Akhirnya, dia pun bergelut dengan tugas kembali. Berkas selesai dikerjakan bersamaan dengan kedatangan Vivian. Kepala divisi advertising tersebut tampak tersenyum lebar, begitu pintu dibuka oleh Karmila.“Enak, ya, meeting dalam kamar penuh makanan gini. Berasa liburan,” sindir Vivian saat kedua bola mata menangkap penampakan goodie
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru