"Aduh .... Sakit!"
"Bagaimana rasanya?" tanya Gladis penasaran.
Arsen mengedip-ngedipkan matanya. Terlihat Ia berpikir sejenak. Gladis mencubit pergelangan tangan yang tidak dibalut biocrepe dan Arsen mengaku jika cara Gladis sangat jenius. "Kamu membagi rasa sakitnya menjadi 2, sehingga tangan yang patah tidak terasa sakit lagi, tapi di sisi lain yang ini sakit karena ... dicubit!"
Spontan gadis cantik itu menepuk lutut Arsen. Dia berucap, "Hei! apakah kamu tidak tahu seni kehidupan? meski tanganmu sakit, ingatlah bahwa tangan yang lain tidak sakit!" Kata-kata Gladis terdengar seperti syair di telinga Arsen.
Ia terus memandang Gadis itu dengan tersenyum bahagia dan sorot mata berbinar-binar. "Kamu sangat baik untukku. Terlalu baik."
"I-itu ... sudah tugasku."
'Aku yang terlalu baik atau kamu yang terlalu penurut seperti anak kucing. Hahaha ...'
"Baiklah, aku akan turun tapi ada satu permintaan untukmu!" Gladis memutar kedua bola mata dan melipat kedua tangannya. Ia menghela napas kemudian berjalan mendekati pria tersebut. "Apa itu?" "Simplenya sih, aku butuh jasamu!" Gladis memperhatikan baik-baik pria itu dari atas ke bawah. Dia tidak pernah mengenal orang asing yang duduk di motornya. Dengan sepatu mengkilatnya pria tersebut mengetukkannya ke lantai beberapa kali. Gladis terus mendekat kearahnya. Dalam hati, Gladis tersenyum sinis. Dia tahu bahwa lelaki di hadapan sebenarnya sedang gugup. Gadis cantik itu duduk di motornya, tepat di hadapan pemuda tak dikenal itu. Mereka berdua saling berhadapan. Sedetik kemudian, rona manis yang Gladis tampilkan berubah menjadi tatapan dingin, seolah ingin menerkam pria dihadapannya. "Siapa anda? sebenarnya apa maumu?" Lelaki itu mundur perlahan-lah
"Sulit dipercaya bahwa ada wanita yang sikapnya seperti itu. Bisa berubah dengan cepat, seperti ada dua orang dalam satu tubuh," ujar kaki tangan Mr. X tersebut. Akan tetapi dia juga bingung. Apa alasan sebenarnya dari tuannya? mengapa ia mengutusnya untuk melakukan hal tersebut? Gladis memutar arah laju motornya. Dia kembali ke parkiran kantornya dengan kecepatan penuh. Tapi, kali ini motor sport yang ia kendarai diparkirkan agak jauh dari basement. Dirinya berjalan mengendap-endap. Benar dugaan Gladis sejak awal. Dia sudah menaruh curiga kepada pria yang baru saja ditemuinya,yang tiba-tiba menginginkan dirinya."Cukup patuh juga anak itu," ucap Mr. X yang masih berdiri di sana. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, dia kembali berucap, "Kau boleh memiliki isi koper itu!" Dengan wajah kegirangan, pria yang tadi sempat ambruk digampar Gladis, berkali-kali menciumi koper dipelukannya. &nb
"Apa kamu marah? ya kan? kamu seperti menghindar jika denganku. Tidak seperti sepasang kekasih yang aku lihat di film. Maafkan aku jika aku terus merepotkanmu!" Arsen mulai merancau tak karuan. "Dasar payah! Aku saja tidak bisa mencium bau alkohol darimu, tapi kamu sudah oleng kayak gini?" Gladis tertawa dengan tingkah kekonyolan Arsen. "Berjanjilah satu hal kepadaku!" Arsen yang duduk bersama Gladis, dia terus memepet tubuh gadis cantik di sampingnya. Sampai posisi Gladis berada di bawah tubuh Arsen. "Apa itu?" "Setelah kau berjanji padaku ...." "Katakan dulu apa itu!" "Aah .... Kamu pasti tidak mau memaafkanku kan?" Arsen kembali merengek. Dia memposisikan dirinya duduk dengan memeluk lutut yang ditekuk. Pria itu memasang muka bersedih agar Gladis dapat bersimpati kepadanya. "B-baiklah, aku berjanji! apa itu?"
Pagi hari setelah menyiapkan sarapan untuk Arsen. Gladis pergi berangkat kekantor. Beberapa menit kemudian, Kevin dengan motor maticnya menuju ke rumah Gladis. Sesampainya di depan pagar, dia turun dan menelpon Lexi. "Halo tuan Lexi. Iya, saya sudah berada di depan rumah Nona Gladis," lapornya kepada Lexi. Ternyata dia dan Lexi berencana untuk mencari keberadaan Arsen ke orang-orang yang ikut dalam kegiatan proyek di Bali. Ia mulai menelusuri semua itu dari Gladis. Hampir saja dia masuk ke rumah itu, sudah ingin memencet tombol bel di gerbang. Tetapi tiba-tiba aksinya dihentikan oleh kedua pria. "Mas ... maaf tidak boleh parkir di lingkungan ini! apa kamu sudah lapor ke pos jaga di depan tadi?" Kevin terlihat bingung. bagaimana tidak? di lingkungan perumahan biasa ada tukang parkir. Bukankah hal aneh, jika itu satpam jaga mungkin hal wajar. kedua pria itu adalah kaki tangan ayah G
"Lagi ngetik apaan sih?" tanya Gladis yang tiba-tiba masuk ke kamar Arsen tanpa ketuk pintu ataupun permisi.Arsen terkejut dan reflek dia melipat laptopnya begitu saja. Kemudian dia berbalik dan mempertontonkan senyum manisnya kepada Gladis. "Ada apa? apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Gladis. "K-kamu kok udah pulang? nggak kerja?" Arsen mencoba mengalihkan perhatian Gladis. Entah apa yang sebenarnya Arsen ketik di mesin pintar tersebut, dia tak ingin ambil pusing dengan aktivitas pria yang dicintainya. "Mau makan siang sama kamu. Masa iya? punya cowok tampan gini dianggurin aja." Ucapan gadis cantik itu membuat Arsen merona. Arsen mengangkat sebelah alisnya, memperlihatkan ekspresi bingung. Namun dalam hati, dia sangat kegirangan. Padahal sebelumnya, dia merasa malu saat bangun tidur karena tanpa sengaja mempertontonkan tingkah konyolnya di hadapan sang kekasih.
Jenni kembali berbisik kepada Gladis, "Wah, gawat! perang dunia ketiga nih." Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam rumah. Arsen dan Reska duduk di meja makan dengan kopi yang sudah tersedia di depan Reska. Arsen duduk dengan tenang sementara Reska selalu memandang pria dihadapannya dengan sinis. Saat Reska meminum kopi buatan Arsen, matanya terbelalak ingin memuntahkan kembali kopi yang sudah sampai di tenggorokannya. Namun dirinya merasa tindakannya kurang sopan. "Gila! ini kopi apaan? nggak kayak buatan Gladis yang tiap hari aku minum!" lagi, Reska hanya memancing emosi Arsen. Semua yang dia lakukan bersama Gladis selalu dibesar-besarkan. Pria manja itu ingin membuat Arsen cemburu. "Karena Gladis tahu cara membuatkan minuman untuk anak kecil. Sementara aku mengajarkanmu cara meminum kopi untuk pria dewasa! kemarin kepanasan. Sekarang pahit. Besok apa lagi?" Gladis yang mendengark
"Temam satu kelas? berarti mereka semua muridku dulu?" Jenni disenggol teman wanita yang berada di sampingnya. Bertanya sebenarnya ada apa dan kenapa Gladis bisa diperlakukan seperti itu. Jika Arsen adalah Reska mungkin itu hal yang wajar. Mereka sudah tahu sejak dulu pria manja tersebut memang menyukai Gladis. Tetapi ini berbeda dengan pemandangan yang sedang mereka saksikan. Jenni memberi tau kepada temannya. "S-sebenarnya pak Arsen hilang ingatan ... tapi jangan bilang-bilang sama orang lain!" Gadis itu memperingatkannya. Dia juga takut jika keberadaan Arsen diketahui oleh orang lain. Terutama tunangan yang baru ia bicarakan. "Bagaimana? apa kamu mengingat sesuatu .... Pak Arsen?" Gladis sampai bingung menempatkan posisinya saat ini. Arsen mencoba menelusuri setiap wajah yang ada. Namun, dia tetap tidak mengingat apapun. Reska tiba-tiba menggandeng Gladis. Akan tet
"I-izin? tentang apa itu?" Gladis duduk dengan tenang dipangkuan pria tampan itu sambil melingkarkan tangannya di leher arsen. "Bolehkah aku menciummu?" Spontan Gladis menundukkan wajahnya. Dia menahan tawa sekaligus menyembunyikan pipi yang tambah memerah. Baru kali ini ada seorang pria dengan sopan meminta izin untuk menciumnya. Biasanya dia akan menampar pria yang mendekatinya yang mencoba berbuat tak senonoh. Ia juga sering mematahkan jari ataupun pergelangan tangan pria mesum yang sering dijumpainya di bar. "Boleh, silakan." Gladis menatap dalam mata Arsen dan mengangkat kedua sudut bibirnya. Dengan perlahan, Arsen mendekatkan wajahnya. Refleks Gladis menutup kedua kelopak matanya pelan-pelan. Bibir beradu bibir. Dengan lembut dia mengecup bibir indah merah jambu milik Gladis. Gadis cantik itu seakan tak sabar. Dia melumat bibir Arsen dan dibalas ol
Kevin membuka lebar pintu ruang rapat yang masih ricuh. Terlihat Melinda hanya menunduk saat dimaki oleh salah satu pemegang saham. Sejurus kemudian semua mata yang ada disana melihat kearah Arsen. Tak terkecuali Melinda yang langsung tersentak melihat Arsen berdiri di ambang pintu. "A-arsen?" gumamnya. Begitu bos arogan itu masuk dan memposisikan dirinya di hadapan semua orang. Dengan wajah serius, dia memandangi orang-orang yang beraada di hadapannya, beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa lembar kertas berisi laporan bulanan. Tiba-tiba saja Arsen meminta maaf. "Kepada direktur dan pemegang saham yang terhormat! Saya sangat menyesal atas apa yang terjadi hari ini dengan permintaan maaf yang tulus." Arsen lalu membungkuk di hadapan semuanya. Hal tersebut membuat semua orang yang mengetahui sifat aslinya terheran-heran, termasuk Kevin dan Melinda. Bagaimana bisa seorang Arsen A
Tanpa bosa-basi lagi, mereka berdua segera pergi ke kantor. Sementara keadaan di kantor sedang ricuh karena rapat bulanan para pemegang yang mulai curiga karena hasil pembagian profit tidak sesuai dengan uang yang masuk. Mereka menanyakan kemana Arsen sebenarnya. [Arsen sudah kembali! Bersiap-siaplah] Isi pesan singkat di ponsel Melinda dan CFO perusahaan saat mereka masih rapat dari seseorang. Begitu membaca pesan tersebut, wajah gadis bermata sipit itu langsung berubah menjadi pucat pasi. Obrolan orang-orang disekitarnya seolah-olah hanya angin lalu. Dengan badan gemetar, CFO perusahaan beringsut keluar dari suasana ruangan yang masih ricuh. Melinda duduk mematung dengan tatapan mata kosong. Pikirannya menjadi kosong seperti terhipnotis. Salah satu pemegang saham meninggikan nada bicaranya, menuduh Arsen dalang dibalik semua kerugian yang terjadi. Karena memang faktanya, semua kesenja
Saat Gladis menciumnya, ketika mereka menghabiskan malam bersama. Memberi perhatian untuknya, mencubit tangannya waktu terasa sakit, momen dimana pertama kali Arsen bertemu Gladis di Rumah sakit sampai Arsen mengingat tentang benturan keras saat dirinya di dalam mobil. Seketika itu juga, Arsen langsung tersadar dan sudah berada di Rumah sakit. Sebelumnya, saat pekerjaannya hampir selesai, Gladis ditelepon seseorang dengan nomor yang tak dikenal. Gladis menyipitkan mata saat melihatnya. Awalnya dia ragu untuk menerima telepon dari nomor rumahan tersebut. "H-halo ...." "Halo selamat siang, ini dari rumah sakit ... Apa benar ini Gladis? Nomor anda tersimpan di kontak darurat milik pasien atas nama Arsen Adyatama." Deg! Benar perasaan Gladis yang sedang tidak nyaman dan gelisah dari tadi. Pihak rumah sakit memberi tahu jika Arsen mengalami kecelakaan jatuh dari tangga dengan kondi
"Kirimkan lokasinnya sekarang! aku akan segera menuju kesana!" ucap Kevin saat ditelepon oleh orang yang dia sewa. Melinda sangat heran saat melihat gelagat Kevin yang sangat gugup. Dia berusaha mengejar Kevin sambil berteriak, "Kevin tunggu!" Sayangnya, Kevin tidak menggubris suara Melinda karena dia juga diberi tau jika Arsen dalam bahaya. Gadis bermata sipit itu terus mengejarnya sampai ke basement parkiran mobil. Dengan cepat, sebelum Kevin masuk kedalam mobil, dia menarik lengan pria tersebut. "Tunggu! Ada apa?" "M-maaf nona, saya buru-buru!" Kevin melepas genggaman Melinda dan masuk kedalam mobil. Tanpa menoleh lagi ke arah melinda, dia langsung menancap gas. Sementara Arsen masih menganalisa keadaan sekitar. Berusaha mencari celah jalan keluar. Sadar, orang-orang yang mengikuti tau bahwa Arsen mengetahui jika sedang diikuti. Mereka semakin me
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia