"A-ada satu hal yang menurutku sangat aneh?"
"Hhmm, apa itu?"
"Kenapa kau seperti agak menghindar dan membuat jarak denganku? apa semua pasangan kekasih seperti ini?"
Gladis tertegun mendengar pertanyaan pria tampan itu, sebenarnya ia merasa canggung jika berada di dekatnya. 'Please, jangan mulai lagi,' batinnya.
Gladis mendekatinya, dia tersenyum melihat Arsen dan jawaban Gadis cantik itu malah membuat lawan bicaranya semakin bingung. "Jawaban apa yang ingin kau dengar? kebohongan atau kejujuran?"
"Bagaimana jika aku memilih kebohongan? apa yang akan kamu katakan?"
"Aku akan mengatakan bahwa ..., aku tidak ingin terlalu dekat denganmu sebelum kamu benar-benar pulih, karena mungkin jika nanti kamu sudah sembuh, aku takut dipermainkan oleh kenyataan."
"T-takut?"
Lagi, Gladis hanya tersenyum, dia menggengg
"Ih, ya sakit lah," rengek Gladis manja, tapi tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. "Permi ...." Belum selesai ucapan pramuniaga tersebut harus terhenti karena terkejut, Gladis tiba-tiba menarik tangan penjaga toko yang menepuk pundaknya. Hampir saja pramuniaga itu terjatuh. "Aduh, mbak maaf reflek, nggak papa kan?" "Ng-nggak papa mbak, silakan memilih dulu," jawab pramuniaga tersebut sambil memegangi tangan yang mungkin terasa nyeri. Arsen hanya melongo menyaksikan spontanitas yang dilakukan Gladis. Selama ini ia mengira jika wanita yang kini di cintainya itu sangat lemah lembut dan kalem, karena kepribadian yang ditunjukkan Gladis kepada Arsen selama ini. Untuk memecah suasana canggung di antara mereka bertiga, Gladis menarik ujung baju Arsen. "Sayang, mau beli yang mana?" &nbs
Mereka berdua hendak masuk ke dalam rumah berlantai dua itu, Gladis membuka pintu dan Arsen masih melihat sekeliling. "Ayolah ...," ajak Gladis sambil menggandeng Arsen. Wanita cantik tersebut dibuat kagum dengan suasana rumahnya saat ini, dia tidak menyangka kakaknya benar-benar mengabulkan permintaan konyolnya itu. Dia melihat barang-barang berpasangan tersusun selaras dan rapi, 'kakakku memang hebat, ia selalu bisa diandalkan,' batinnya. "Apakah ada sesuatu yang kau ingat?" tanya Gladis pada pria yang sedari tadi hanya melihat-lihat sekeliling. Arsen hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, kita coba pelan-pelan saja jangan terlalu di paksakan." Arsen dituntun wanita cantik itu menuju lantai atas, mereka memasuki ruang baca yang diubah sedemikian rupa, dengan rak buku besar serta tatanan buku yang sangat rapi dan satu ranjang yang sudah disiapkan oleh Steve. "Ini ...?
Gladis menjawab; gugup dengan detak jantung yang tak beraturan, "I-ini masak buat nasi goreng." "Mengapa telingamu begitu merah?" tanya Arsen mebuat Gladis tersentak menghentikan aktivitasnya. Seketika gadis bertubuh ramping tersebut melangkah mundur, tetapi kakinya tersandung dan dengan sigap Arsen menangkap tubuhnya. Kini posisi mereka seperti orang sedang berpelukan, dengan Arsen yang menatap dalam mata gadis cantik itu. Tidak mau terlihat salah tingkah, Gladis cepat-cepat mendorong tubuh Arsen. "I-itu ..., makanannya udah siap, kita makan dulu aja," ucapnya sambil mematikan kompor. Gladis menyiapkan dua porsi makanan diatas meja dan Arsen mengambil teko berisi air putih, tetapi dia tidak menemukan gelasnya. "Sayang gelasnya mana?" "Cari aja di rak kecil samping kulkas!" Tetapi bukan gelas yang didapat, Arsen malah mengam
"Bagaimana tuan? apa yang harus saya lakukan?" tanya Kevin dengan nada lesu. "Aku bisa mencoba membantumu untuk mencarinya ...." Seperti mendapat pencerahan. Kevin menanggapi pernyataan lelaki pendiam itu dengan wajah berbinar. "Menemukan tuan Arsen? bagaimana caranya?" "Itu mudah, asal kau tahu beberapa informasi dari ponsel milik Arsen dan asal ponselnya masih hidup." "T-tentu tuan, tentu saja saya tahu," ucap Kevin kepada Lexi. Kini mereka sudah berada di depan komputer milik pria berkulit sawo matang itu, sementara Lexi berkutat dengan perangkat komputernya, Kevin selalu berada di sampingnya memberitahu setiap informasi yang dibutuhkan. "Apa kau yakin ini betul E-mail milik Arsen?" "Iya tuan, ada apa?" "Kenapa tidak bisa dilacak?" "T-tidak mung
"Res ..., aku membiarkanmu menyatakan yang sebenarnya! kamu tidak tahu bagaimana kau mati! sebelum terlambat lebih baik kau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya!" Tidak ingin semakin mendidih. Jenni lantas pergi begitu saja sambil membanting pintu sampai membuat Reska tersentak. Jenni yang sedang berang berada di luar, mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Sabar jen, sabar huh." Ia mengetikkan beberapa kata di ponselnya, ingin dikirimkannya kepada Gladis namun niatnya tersebut diurungkan lagi. Kali ini dia mencoba menelpon nama yang sama, namun nomor yang dituju tidak aktif. Sedangkan dua sejoli yang sedang kasmaran kini sedang berada di luar. Arsen mengajak Gladis untuk sekedar melihat-lihat lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Mungkin ada yang bisa ia ingat. "Kita mau kemana dulu?" Gladis menjawab tanpa ragu. Tanpa memikirka
"Pesan aja makanan yang sering kita pesan," ucapan Arsen tiba-tiba kepada Gladis. Gadis berkulit putih itu sempat bingung untuk menjawab apa. Ia memberi kode kepada pramusaji tersebut. Mereka saling bertukar pandang. Pramusaji tersebut mengangguk tanda mengerti, maksud dari ucapan Gladis. "K-kami pesan menu yang sering dipesan, iya ... yang sering dipesan," ucap Gladis menekankan intonasinya pada kalimat terakhir. "Yang biasanya ya? Oke kak." Tanpa menulis Satu menu pun, Pramusaji tersebut langsung membuatkan makanan untuk mereka. "Memang biasanya kita pesan makanan apa di sini?" Gladis sebenarnya juga tidak tahu, tetapi dia yakin Arsen akan menyukainya. Gadis berambut panjang itu mengedipkan sebelah matanya. Dia menjawab pertanyaan Arsen lalu tersenyum. "Nanti kau juga tahu." Tak lama kemudian pelayan restoran itu datang membawa, beberapa macam
"Sayang, siapa dia?" Belum sempat Gladis menjawab pertanyaan Arsen. Jenni langsung masuk dan duduk di depan Arsen. Dia mengulurkan tangannya dan disambut oleh Arsen. "Apa Anda tidak mengenaliku?" Wajah berbinar tersirat dari roman Jenni. Dia juga salah satu murid yang mengagumi sosok Arsen Saat kuliah dulu. Pertanyaannya hanya dijawab gelengan kepala oleh Arsen. "Saya ...." Belum selesai ucapan wanita bermata sipit itu, lengannya sudah ditarik oleh Gladis. sambil tersenyum kearah Arsen, ia menyeret Jenni ke arah luar. "Sebentar ya sayang," kata Gladis. Jenni yang mendengar kata sayang keluar begitu saja dari mulut sahabatnya itu. Dia menghentikan tarikkan Gladis. Dengan mata sipitnya ia menatap tajam sahabat karibnya itu dan berkata, "Kau berhutang penjelasan kepadaku!" dengan suara pelan tetapi penuh penekanan. Yang d
Kevin malah mematung di depan Melinda. Karena terlalu banyak beban yang dipikirkannya. Dia sampai tidak tahu harus berbuat apa. "Apa aku merepotkanmu?" Pertanyaan Melinda seakan membuatnya tersadar. Kevin cepat-cepat mengambil tisu untuk ratu cencala tersebut dan menyuruhnya melepaskan sepatu yang basah itu. Namun Melinda malah membentaknya, "Kau mau kakiku ini tambah kotor!? kalau menginjak lantai tanpa alas bisa-bisa kakiku jadi gatal, huh, menyebalkan!" Gadis berambut keriting itu kemudian membuang muka. Sambil menyilangkan tangannya, membuat Kevin menghela nafas dalam. Dia hanya bisa memaki di dalam batinnya. 'Sialan! baru kena air di sepatunya aja omelannya udah kaya ratu, kalau mau udah gue guyur satu badannya biar tahu rasa!' Kevin duduk berjongkok di hadapan Melinda, dengan satu lututnya menempel di lantai. Dia menggunakan lutut yang satunya untuk dijad
Kevin membuka lebar pintu ruang rapat yang masih ricuh. Terlihat Melinda hanya menunduk saat dimaki oleh salah satu pemegang saham. Sejurus kemudian semua mata yang ada disana melihat kearah Arsen. Tak terkecuali Melinda yang langsung tersentak melihat Arsen berdiri di ambang pintu. "A-arsen?" gumamnya. Begitu bos arogan itu masuk dan memposisikan dirinya di hadapan semua orang. Dengan wajah serius, dia memandangi orang-orang yang beraada di hadapannya, beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa lembar kertas berisi laporan bulanan. Tiba-tiba saja Arsen meminta maaf. "Kepada direktur dan pemegang saham yang terhormat! Saya sangat menyesal atas apa yang terjadi hari ini dengan permintaan maaf yang tulus." Arsen lalu membungkuk di hadapan semuanya. Hal tersebut membuat semua orang yang mengetahui sifat aslinya terheran-heran, termasuk Kevin dan Melinda. Bagaimana bisa seorang Arsen A
Tanpa bosa-basi lagi, mereka berdua segera pergi ke kantor. Sementara keadaan di kantor sedang ricuh karena rapat bulanan para pemegang yang mulai curiga karena hasil pembagian profit tidak sesuai dengan uang yang masuk. Mereka menanyakan kemana Arsen sebenarnya. [Arsen sudah kembali! Bersiap-siaplah] Isi pesan singkat di ponsel Melinda dan CFO perusahaan saat mereka masih rapat dari seseorang. Begitu membaca pesan tersebut, wajah gadis bermata sipit itu langsung berubah menjadi pucat pasi. Obrolan orang-orang disekitarnya seolah-olah hanya angin lalu. Dengan badan gemetar, CFO perusahaan beringsut keluar dari suasana ruangan yang masih ricuh. Melinda duduk mematung dengan tatapan mata kosong. Pikirannya menjadi kosong seperti terhipnotis. Salah satu pemegang saham meninggikan nada bicaranya, menuduh Arsen dalang dibalik semua kerugian yang terjadi. Karena memang faktanya, semua kesenja
Saat Gladis menciumnya, ketika mereka menghabiskan malam bersama. Memberi perhatian untuknya, mencubit tangannya waktu terasa sakit, momen dimana pertama kali Arsen bertemu Gladis di Rumah sakit sampai Arsen mengingat tentang benturan keras saat dirinya di dalam mobil. Seketika itu juga, Arsen langsung tersadar dan sudah berada di Rumah sakit. Sebelumnya, saat pekerjaannya hampir selesai, Gladis ditelepon seseorang dengan nomor yang tak dikenal. Gladis menyipitkan mata saat melihatnya. Awalnya dia ragu untuk menerima telepon dari nomor rumahan tersebut. "H-halo ...." "Halo selamat siang, ini dari rumah sakit ... Apa benar ini Gladis? Nomor anda tersimpan di kontak darurat milik pasien atas nama Arsen Adyatama." Deg! Benar perasaan Gladis yang sedang tidak nyaman dan gelisah dari tadi. Pihak rumah sakit memberi tahu jika Arsen mengalami kecelakaan jatuh dari tangga dengan kondi
"Kirimkan lokasinnya sekarang! aku akan segera menuju kesana!" ucap Kevin saat ditelepon oleh orang yang dia sewa. Melinda sangat heran saat melihat gelagat Kevin yang sangat gugup. Dia berusaha mengejar Kevin sambil berteriak, "Kevin tunggu!" Sayangnya, Kevin tidak menggubris suara Melinda karena dia juga diberi tau jika Arsen dalam bahaya. Gadis bermata sipit itu terus mengejarnya sampai ke basement parkiran mobil. Dengan cepat, sebelum Kevin masuk kedalam mobil, dia menarik lengan pria tersebut. "Tunggu! Ada apa?" "M-maaf nona, saya buru-buru!" Kevin melepas genggaman Melinda dan masuk kedalam mobil. Tanpa menoleh lagi ke arah melinda, dia langsung menancap gas. Sementara Arsen masih menganalisa keadaan sekitar. Berusaha mencari celah jalan keluar. Sadar, orang-orang yang mengikuti tau bahwa Arsen mengetahui jika sedang diikuti. Mereka semakin me
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia