Mas Fadil, satu-satunya pria di dalam hidupku. Tega menjadikan istrinya janda untuk menikahi janda yang lain. Sungguh ironi, hidup ini.
Namun, semuanya adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Rasa takut menjadi seorang janda dan stigma negatif tentang janda membuat hati ini gentar.
"Ra, besok Adi jemput kalian. Lupakan kesedihan jangan berlarut-larut, anggap ini sebagai pembelajaran hidup," ucap Ibu dengan tatapan Iba.
"Hore! Kita jalan-jalan!" pekik anak-anak yang tiba-tiba berlarian ke arah kami.
"Mah, kita jalan-jalan ke mana? Sama Ayah kan?" tanya Kia-gadis cerewetku dengan mata berbinar.
"Nggak tahu, kita ikut Om aja, yang penting jalan-jalan," jawabku tanpa menghiraukan kata Ayah yang ia sebut.
Detik itu, aku berharap kata Ayah i
Lelah rasanya seluruh tubuh, tapi puas karena anak-anak terlihat bahagia. Aku tidur di kamar lantai atas rumah Adi. Sengaja berlama-lama di rumah adik lelakiku karena ingin melepas beban untuk sesaat.Menjadikan waras pikiran ini di tengah badai yang menghantam selama ini. Aku berbaring malas di kamar, membuka beberapa pesan masuk di gawai.[Aku ada di rumah, kamu ke mana?]Sebuah pesan dari Mas Fadil yang membuat suasana hati menjadi keruh kembali.[Bukan urusanmu lagi, aku ada dimanapun]Pesan balasan terkirim.[Aku nanyain anak-anak, jangan ge-er.][Terserah, anak-anak baik. Mereka senang habis diajak jalan-jalan omnya][Ya sudah, jaga anak-anak]Aku mematikan gawai dengan kesal. Untuk apa lelaki itu pulang? Jangan-jangan, ia mau mengambil barang berharga dari rumah.Aku kembali mengusap layar dan memberitahu Ibu agar beliau mengawasi Mas Fadil. Untunglah semua surat be
Hari ini langit terlihat cerah. Tidak panas pun tidak mendung. Aku masih sibuk menemani Fariz bermain.Netraku beralih ke arah benda pipih yang menyala. Sebuah notif terlihat dari layar. Pesan gambar dari salah satu sahabatku-vera yang lama sudah tidak bertemu.Entah angin apa yang membuat wanita berdarah Jawa itu menghubungiku tiba-tiba. Mataku membelakangi ketika melihat beberapa foto yang di kirim Vera.Foto Fadil, Melayu dan Ibu mertuaku. Hati ini perih seketika. Bahkan, Ibu mertua pun melupakanku.Aku menahan bulir bening yang mulai mendesak hendak keluar sekuat tenaga. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi keluarkan kejam seperti itu.Belum ada satu bulan, Fadil menyalak diriku. Mereka sudah menerima pelakor yang menghancurkan rumah tangga anaknya dengan tangan terbuka.Dadaku terasa panas dan bergemuruh menahan amarah yang telah naik ke ubun-ubun.Teganya mertua dan saudara Fadi
Mobil travel sudah dipesan, barang bawaan pun sudah dikemas. Aku tengah menghabiskan sisa waktuku bersama anak-anak di rumah.Si sulung dan Kia terlihat murung dan sedih. Aku tahu, jauh di dalam lubuk hati, mereka pun merasakan takut dan sedih seperti yang kurasa.Hanya si kecil Fariz yang terlihat ceria hari itu, ia belum mengerti apa yang terjadi."Mah, jangan pergi," ucap Luna dengan mata berkaca-kaca."Kalau Mamah nggak pergi, kita nggak punya uang," jawabku sambil menahan embun yang mulai memenuhi pelupuk mata."Pulangnya kapan?" tanya Kia dengan wajah murung."Do'ain aja cepet dapet uang biar cepet bisa pulang.""Aaamiin," jawab anak-anak bersamaan.Hati ini sakit saat membayangkan jauh dari ketiga buah hati. Perih bagai disayat sembilu. Aku berlari ke dalam kamar seketika. Menumpahkan semua embun yang sudah tidak tertahan.Dering gawai akhirnya mengalihkan perhatian. S
Pagi itu, aku sudah bersiap untuk memulai pekerjaan baru. Vera mengantar sampai ke showroom tempatku bekerja.Aku melangkah pasti dengan semangat menggebu untuk merubah hidup. Untuk keluar dari lingkaran kenangan bersama Fadil.Aku berdiri tepat di depan sebuah bangunan besar dengan banyak kaca sebagai dindingnya. Memindai setiap sudut dari depan hingga ke belakang.Seorang pria berseragam Satpam menghampiri dan menyapa dengan sopan."Selamat pagi, Bu. Mau ketemu sama siapa?""Ketemu Pak Andrian.""Ouh, beliau belum datang. Ibu tunggu saja di sana," ucap lelaki berpostur tegap itu sambil menunjuk ke arah samping bangunan."Ouh, iya. Terima kasih."Aku pun pergi ke arah yang ditunjukan. Tampak deretan kursi dari besi dan sebuah meja menghadap ke arah bangunan.Aku duduk sambil membuka beberapa aplikasi di dalam gawai. Menunggu adalah pekerjaan paling melelahkan. Hampir satu
Tidak sabar rasanya hati ini ingin segera berjumpa dengan ketiga buah hati. Tepat pukul tiga dini hari, mobil beristirahat di sebuah tempat peristirahatan.Sopir dan sebagian penumpang turun utuk makan dan beristirahat. Aku pun turun dan memilih berjalan-jalan sekitar tempat peristirahatan.Sekedar mencari angin segar setelah berjam-jam di dalam mobil. Suasana masih gelap, hanya penerangan lampu yang menerangi sebagian jalan. Aku mengusap layar gawai untuk memberitahukan kepulanganku subuh ini.Akhirnya, setelah satu jam di tempat istirahat. Mobil kembali melaju, membelah jalanan yang mulai lengang seperti hati ini yang terasa sepi.Jauh di dalam lubuk hati, ada rasa malu untuk pulang. Harapan yang jauh dari kenyatan, bukannya menambah pendapatan, aku malah menambah beban hutang.Setelah lima jam perjalanan. Akhirnya, aku sampai tepat di depan pintu rumah Ibu dengan membawa kegagalan.Aku mengetuk pi
Suasana hening, semua orang sibuk dengan isi pikirannya masing-masing."Lalu, Fadil mau apa ke sini?" imbuh Ibu terlihat penasaran."Mas Fadil meminta rujuk lagi," jawabku ragu.Seisi rumah terlihat kaget dan bingung. Mereka saling berpandangan satu sama lain, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku."Kamu sendiri bagaimana? mau balik lagi sama Fadil?" tanya Ibu seraya menatapku lekat.Aku terdiam, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Keluarga memang selalu mendukung di saat suka dan duka. Mereka akan selalu ada.Namun, dengan beban tiga orang anak yang masih kecil. Apa mereka sanggup dan rela menanggung semua biaya hidup anak-anak? Mungkin, jika hanya untuk makan saja, orang tuaku masih sanggup, tapi kebutuhan mereka di masa yang akan datang, akan jauh lebih banyak.Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Apa mereka setuju dan tidak keberatan j
Apa ini Ya Rabb? Sikapnya mulai berubah lagi. Apa ini pertarungan sebenarnya untuk memenangkan hatinya kembali?Aku masih termenung memandanginya hingga tidak terlihat lagi. Lelaki itu seolah tidak rela meninggalkan kota terkutuk itu. Ia belum rela berpisah dengan Melati.Jika ini caranya, aku hanya akan bertahan sampai dia mengatakan talak untuk ketiga kalinya. Di situlah akhir dari perjuanganku untuk memperbaiki semuanya dan mempertahankan dirinya.Namun, jika ia terlanjur menjatuhkan talak kembali. Aku ikhlas.***Sehari setelah kepergian Fadil. Ibu mengajakku kembai menemui ustaz untuk mengobati Fadil. Antara ragu dan takut. Namun, perubahan sikap Fadil yang seratus delapan puluh derajat membuatku yakin, bahwa ada kekuatan lain yang mempengaruhinya.Sebuah kekuatan hitam yang membutakan Fadil. Menjauhkannya dari Rabb-Nya. Entah apapun itu, alam ghaib memang benar-benar ada.Satu hal yang pasti,
Sabtu pagi aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan dan and1 sisir pisang kesukaan Mas Fadil.Hari itu anak-anak tampak riang menunggu kepulangan ayahnya. Hampir dua minggu Mas Fadil tidak pulang ke rumah dengan alasan sibuk mengejar target."Mah, hari ini Ayah pulang kan?"tanya Kia dengan mata berbinar." Insya Allah, doain aja biar cepet pulang," jawab ku ragu."Mah, ini ada surat dari sekolah. Mamah kan belum bayar uang sekolah Kakak tiga bulan," ucap si sulung seraya menyodorkan selembar kertas berwarna putih.Aku memegang secarik kertas itu dengan tatapan nanar. Dunia seolah berbalik, dahulu jangankan menunggak uang sekolah, kami bahkan mampu membayar satu tahun di awal.Lupakah Mas Fadhil dengan kewajibannya terhadap anak-anak? Inikah perlakuan adil yang ia janjikan? Aku segera mengusap layar gawai untuk menghubungi Mas Fadil.[ Ayah lagi di mana? Kapan pulang anak-a
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya