Aku dan Dova memisahkan diri begitu sampai di depan lift. Ia masuk ke lift kiri menuju asrama putra, sementara aku mengangkat dua koperku ke lift kanan menuju asrama putri.
"Suri! Selamat pagi," sapa seorang gadis berkemeja kuning di depanku. Ia Freya, sangat pintar. Jago lima bahasa sampai ke bahasa kasar, halus, dan aksen-aksennya juga. Sebelum masuk ke akademi ini, ia adalah pemandu wisata yang sering keliling dunia.
"Pagi, Freya! Kelihatannya aku terlambat," keluhku sambil berusaha menenteng koper.
"Iya, cepat simpan kopermu di kamar, beres-beresnya nanti saja. Kita harus tepat waktu," perintah Freya sambil buru-buru keluar dari lift menuju lapangan sekolah.
Saat pintu lift tertutup, aku segera menekan tombol ke lantai lima.
****
Lapangan sekolah kami mirip seperti stadion. Ada banyak bangku bertingkat mengelilinginya. Bagian atapnya tertutupi oleh semacam kanopi transparan yang tembus sinar matahari tapi tidak tembus air hujan.
Aku masuk ke barisan, lumayan dapat di baris kedua dari belakang. Di belakangku ada Manda dari kamar 506, dengar-dengar ia ahli membaca gerak bibir, bahkan dari jarak jauh sekalipun. Ia tersenyum ketika aku menoleh padanya. Sepertinya hampir seluruh murid sudah berdiri di tempatnya masing-masing. Kalau dilihat dari atas, mungkin kami tampak seperti semut yang mengerumuni podium kecil, tempat kepala sekolah berkacamata hitam menyampaikan sambutannya. Dari dulu sampai sekarang belum pernah aku melihat wajahnya tanpa kacamata hitam itu.
"Halo," sapa Pak Purnama mencoba mikrofon. "Semuanya sudah siap, ya? Mata-mata muda pantang terlambat!"
Tiba-tiba kami semua serentak merapikan barisan. Semua teman-temanku sudah mengenakan seragam lengkap, dan sepertinya pintu masuk stadion ini sudah ditutup.
"Libur sudah selesai. Sekarang kita fokus pada tujuan, yaitu keamanan dunia di sekeliling kita," lanjut Pak Purnama. "Saya akan mengumumkan perolehan nilai terbaik di semester kemarin. Terbaik dari kelas linguistik ada Mona dari kamar 501, kelas logika-matematika ada Suri dari kamar 503, kelas visual-spasial ada Mila dari kamar 506, Bodily-Kinesthetic ada Dova dari kamar 507, dan ....,"
Aku tidak menyimak seluruh ucapannya karena ada banyak sekali jenis kecerdasan khusus yang disebutkan. Tapi aku cukup menangkap beberapa hal yang penting, yaitu namaku dan juga Dova sempat disebutkan. Lumayan juga ternyata hasil belajar semester kemarin.
"Tapi kecerdasan tersebut tidak penting! Peringkat itu tidak penting!" Pak Purnama menaikkan intonasi bicaranya, terdengar tegas. Lalu ia bersin cukup keras depan mikrofon, sehingga mendadak kami semua kaget mendengarnya. "Yang terpenting adalah keberhasilan misi dan kerja sama."
"Hari ini, lakukan yang terbaik!!!" lanjut Pak Purnama, mengisyaratkan kami semua untuk bubar dengan tertib.
****
Siang ini rupanya aku dapat misi baru. Televisi yang terpasang di ruang kelasku tiba-tiba berganti layar dari tampilan peta dunia, menjadi ruang pusat divisi. Pak Ferdy sebagai ketua umum divisi pelaksanaan misi, tiba-tiba memanggilku dan beberapa orang siswi dari kelas lain untuk datang menemuinya.
Begitu aku sampai di sana, ternyata sudah ada beberapa siswi yang datang. Aku kenal mereka, ada Freya dan Manda
"Oke, sudah lengkap!" kata Pak Ferdy begitu melihatku. "Kalian bertiga akan saya kirim dalam sebuah misi rahasia." Lalu ia membolak-balik sebuah kertas merah. "Ini misi merah."
Aku, Freya serta Manda saling melirik. Misi merah merupakan misi nomor dua tertinggi setelah misi hitam. Misi merah mengharuskan mata-mata junior untuk melakukannya tanpa didampingi pembimbing, alias dilepas sepenuhnya. Benar-benar hanya ada kami bertiga saja nanti. Ini pertama kalinya aku mendapatkan misi merah. Sebelumnya aku hanya melakukan misi kuning saja, yang berarti masih dalam pengawasan mata-mata senior dalam misi tersebut.
"Kalian bertiga akan bekerja sama dalam memata-matai seseorang bernama Mr. Lion, bukan nama sebenarnya. Ia seorang bandar narkoba jaringan internasional."
Aku menelan ludahku dengan gugup. Ini sepertinya agak sulit.
"Kami mendapat informasi penting mengenai keberadaannya," ujar Pak Ferdy fokus mengetik di laptopnya. Layar monitor besar di atas jendela kemudian menampilkan gambar brosur konser heavy metal. "Ini konser band Broadersonic, diadakan pada malam hari di tanggal delapan. Datanglah dan cari informasi sebanyak-banyaknya."
Freya menginterupsi, "Maaf, Pak. Apakah kami hanya mencari informasi saja?"
Pak Ferdy berhenti mengetik dan mengangkat wajahnya. "Jika kalian berhasil mendapat barang bukti, itu sudah masuk ke misi kelas hitam. Itu masuk ke kapasitas kakak kelas kalian," ucapnya. "Aku tidak melarang kalian mendapat barang bukti, kok. Tapi kalian pasti tahu resikonya," katanya sambil tertawa horor.
"Baik, Pak!" kata kami bertiga serentak.
****
Setiap kali misi diberikan kepada semua mata-mata junior secara serentak, entah itu misi kuning, merah, atau hitam sekalipun, biasanya akan diikuti dengan rotasi kamar juga. Satu misi diberi batas maksimal selesai satu bulan, itu berarti di bulan itu tiap-tiap anggota tim harus segera berada di kamar yang sama. Awalnya aku juga merasa direpotkan, tapi memang begitulah hidup seorang mata-mata yang selalu berpindah-pindah. Tidak akan ada waktu untuk berlama-lama di suatu tempat, karena akan memperbesar kemungkinan bocornya identitas asli.
"Jadi, sepakat menggunakan kamar ini?" tanyaku sebelum memutar kunci.
"Sepakat, aku suka kamar yang jauh dari toilet," jawab Manda.
"Benar, kamar dekat toilet adalah ide yang buruk. Bisa-bisa misi kita ketahuan," timpal Freya menarik kopernya. "Tembok toilet seolah jadi setipis tisu kalau kita ceroboh."
Aku juga tidak mau ada yang menguping pembicaraan tim kami, karena tiap misi adalah rahasia. Jika aku berhasil mengetahui apa misi tim lain, maka timku akan dapat poin, dan tim lawan dapat pengurangan poin. Jadi, jangan sampai ada yang tahu misi rahasia ini, sampai misi ini benar-benar selesai. Aku lalu memutar kunci kamar 454 dengan hati-hati.
Kami bertiga segera masuk dan menata tempat tidur kami dengan cepat.
****
Aku membuka laptopku sambil duduk di atas kasur. "Kalian ingat siapa nama samarannya? Mr. Lion?""Benar, Mr. Lion," jawab Manda."Aku sedang coba membobol data dari reservasi konser itu," ucapku pelan. Aku mengotak-atik laptopku sambil mencoba kode-kode yang telah kupelajari selama satu semester kemarin."Aku tidak sabar," seru Freya dengan mata berbinar-binar. "Jika kita berhasil menjalankan misi ini, poin kita akan naik pesat. Nama kita akan diumumkan pada kelulusan.""Maaf aku tidak kompeten soal coding, Suri," sesal Manda saat duduk di sebelahku."Tidak apa-apa, Manda. Aku yakin Suri juga tidak jago membaca gerak bibir. Iya kan, Suri?" sahut
Malam ini, kami bertiga memutuskan untuk menyamar dengan gaya penonton konser heavy metal pada umumnya. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kami berencana naik mobil ke sana."Kita sudah mirip fans Broadersonic belum?" tanyaku sambil bercermin, lalu tertawa sendiri melihat penampilanku. "Aku begadang semalam, demi pakai kutek hitam ini.""Yeah!" seru Manda memperhatikan jari-jariku, membentuk lambang metal di jarinya. "Jangan lupa jaket hitam.""Aku sudah daftarkan kita bertiga ke konser itu," kata Freya saat memegang stir mobil. "Ayo berangkat!"Mobil pun melaju kencang melawan angin.****
"Aku .... hmmm sebenarnya ... aku yakin ini bahasa spanyol," gumam Manda. "Namun, aku tidak terlalu lancar bahasa spanyol. Hanya familiar saja."Gawat."Aku sangat lancar bahasa spanyol," kata Freya. "Aku dibesarkan di sana, kebetulan sekali.""Tapi, Freya," ucapku meragukan. "Kau pasti tidak bisa membaca gerak bibir.""Tidak, tapi aku bisa bahasa spanyol," kata Freya meyakinkan.Manda mengangguk. "Iya, tapi aku tidak bisa bahasa spanyol. Bagaimana caranya aku memindahkan informasi dari apa yang aku lihat kepadamu?" Manda geregetan."Oh, iya juga sih." Freya terkekeh.
Setelah sibuk melacak titik GPS yang sudah terpasang di jaket target, akhirnya kami bertiga sampai di pertigaan yang bercabang ke sebuah rumah."Kita berhenti di sini saja, daripada ketahuan," perintahku sambil menghapus make-up dan segala aksesoris yang mengganggu pergerakanku. "Kita tunggu sampai malam.""Oke," kata Freya mematikan mesin mobil. "Sambil kita susun rencana juga, kalau bisa.""Rencananya adalah," jelas Manda. "Jangan sampai gagal. Minimal dapat informasi tambahan lah.""Iya, tapi lebih baik gagal daripada mengorbankan keselamatan," bantahku. "Misi merah tidak butuh sampai barang buktinya. Hanya informasi saja.""Aku berharap banyak pad
Aku celingak-celinguk mencari CCTV yang dimaksud. Ah, itu dia! Segera aku ambil karet superku, lalu aku tarik kuat-kuat hingga terpental ke arah lensa CCTV hingga retak. "Tembakan yang jitu, Suri!" "Aduh Manda, lama-lama kau terdengar seperti komentator sepak bola," celotehku. Lalu di ujung sana, kudengar Manda malah terkekeh. Setelah memastikan situasi benar-benar aman, aku berpindah tempat mendekati pintu. Keren. Tak kusangka akan semudah ini. "Sepertinya aku tidak bisa lagi memantau sampai ke bagian dalam rumahnya,
"Oh, memang," kataku kikuk. "Ini kan hari kerja. Kalau sensus penduduk dilakukan pada siang hari, tidak akan ada orang di rumah. Semuanya pergi bekerja.""Alibi yang bagus." sahut Manda."Oh iya, sepertinya tadi kau lupa mengunci pintu," lanjutku basa-basi.Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung karena tidak pernah absen mengambil kelas kewarganegaraan. Lalu aku menghela napas, berusaha mengatur irama napasku senormal mungkin. Tapi degup jantungku tetap tidak karuan. Entah karena tertangkap saat menjalankan misi, atau karena tatapan mata cowok ini begitu hangat. Seandainya waktu dapat berhenti sebentar saja."Memangnya apa yang sed
Keesokan harinya, kami melakukan apel pagi di stadion seperti biasanya. Semua murid dan guru di Elite Mastermind Academy berkumpul di bawah terik matahari pagi yang sehat.Apel pagi diawali dengan kemunculan Pak Catra, selaku penanggung jawab divisi misi kuning."Halo semua, selamat pagi," sapa Pak Catra melambaikan tangan ke seluruh murid yang sedang membentuk barisan rapi, baik putra maupun putri. "Langsung saja, ya. Dari tiga puluh misi kuning, ada empat misi yang akan dilelang pada hari ini."Jika ada misi rahasia yang dilelang, itu artinya misi tersebut telah gagal. Oleh karena itu, misi tersebut akan dilempar ke tim lain dengan cara dilelang. Hadiah dari sebuah misi yang akan dilelang bernilai minimal dua kali lipat poin dari misi baru, jika berhasil. Norma
Dova berdiri bersandar pada tembok, menatapku dengan dingin. "Kau gagal rupanya, Suri."Aku tertawa kecut. "Sebenarnya aku berhasil, kok. Hanya saja saat itu ada sesuatu terjadi."Dova mengangkat bahu. "Nyatanya tadi? Misimu dilelang.""Oke, oke," celotehku melipat kedua lengan. "Terserah mau bilang apa.""Kurasa pergerakanmu kurang cepat, sehingga kau disatukan dengan tim lain yang bisa menutup kekuranganmu," ucap Dova sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Serius deh, Dova itu kalau dilihat-lihat keren juga, asalkan ia berhenti bersikap dingin padaku. "Untuk itu, berlatihlah lebih sering, Suri.""Hey, Cordova," seru seseorang. "Jadi ini y
Aku memutuskan untuk bersembunyi di dalam gudang besar itu. Tak ada pilihan lain. Setidaknya, aku bisa mengulur waktu sampai Dova dan Manda datang, untuk menghindari hal yang tidak-tidak. Lagi pula, aku jadi bingung sendiri. Sebagai mata-mata, seharusnya aku yang mengejar target. Sekarang sepertinya justru aku yang dijadikan target pengintaian oleh seseorang bertopi di belakangku. Jadi terbalik.Aku merapat ke dinding gudang setelah mengunci satu-satunya pintu dengan sangat rapat. Aku bahkan menyeret beberapa ikat jerami untuk diletakkan di balik pintu, supaya tidak mudah dibuka. Sejauh ini, tak ada siapapun di dalam gudang selain aku.Sesaat kemudian, aku mendengar samar-samar suara derap langkah seseorang dari luar gudang. Sangat pelan, nyaris tak terdengar. Dia bukan orang biasa.
"Hari ini aku mengumpulkan kalian semua di sini untuk mengemban sebuah misi dengan tanggung jawab cukup besar." Pak Ferdy menatap kami semua satu persatu dengan serius. Tak ada suara lain yang berani menyela.Aku kini berada di sebuah ruangan khusus yang kedap suara di EMA. Hal itu aku ketahui dari dindingnya yang dilapisi karpet putih dan jendelanya yang tertutup rapat. Ruangan ini sebenarnya terlalu luas untuk menampung kami semua para audiens yang hanya berjumlah kurang lebih enam orang, yaitu aku, Dova, Manda, dan dua orang dari tim misi hitam, dan satu orang sniper. Kami semua, termasuk Pak Ferdy, duduk mengelilingi sebuah meja oval dengan dilengkapi satu monitor tiap satu kursi.Ada alasan mengapa aku, Dova, dan Manda dimasukkan ke dalam tim misi khusus. Alasan utamanya bisa saja karena kami bertiga sempat berinteraksi sebelumn
Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian kurang menyenangkan di Gedung Red River. Aku kini berada di asrama EMA yang biasanya. Barusan aku diantar pulang oleh para pengajar yang turut menemaniku saat proses interogasi di markas kecil milik CIA. Pak Ferdy membebaskanku seharian, khusus hari ini saja. Jadi, aku tidak perlu melakukan apapun yang berkaitan dengan misi merahku sebelumnya. Tetapi, aku tidak bisa diam saja. Otakku terus menerus menampilkan reka adegan di mana Freya dan aku berseteru malam itu.Jadi, aku putuskan untuk menyelidiki Freya. Segera aku buka laptop kesayanganku dan mulai mencoba membobol data-data dari sistem cloud milik sekolahku sendiri. Pak Ferdy pasti akan geleng-geleng kepala kalau ia tahu apa yang sedang aku lakukan saat ini.Baru saja aku hendak menerapkan serangkaian SQL sederhana, jendela kamarku tiba-tiba terbuka sendiri. Please ini kan masih pagi. Semenjak aku masuk sekolah ini, tidak pernah ada hari tenang b
"Aku yakin kau akan mempertimbangkan tawaranku." Vilas melompat ke gedung terdekat tanpa terlihat takut ketinggian sama sekali. Helai rambutnya berkibar-kibar tertiup angin malam. Ia lenyap begitu saja.Bisa-bisanya ia pergi meninggalkan Fia dan aku dalam kondisi terikat begini?!Saat aku mulai merasa semakin melemah, aku mendengar begitu banyak derap langkah dari pintu rooftop. Ini membingungkan. Barusan ada peluru nyasar, sekarang sepertinya ada pasukan berlari menuju ke tempatku. Aku menebak mereka semua sedang mengejar Vilas yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Cowok itu benar-benar pergi secepat kilat."Jangan bergerak!!!"Aku terperanjat dengan seruan ancaman yang menyeruak tiba-tiba. Benar saja, derap langkah yang saling berlomba itu semakin jelas terdengar. Aku tidak tahu pasukan itu di pihak mana. Aku tidak tahu keadaan akan jadi lebih buruk atau tidak. Yang jelas, masa
Berhubung di sini terlalu gelap, aku memicingkan mataku agar dapat melihat lebih fokus. Aku mengarahkan penlight yang sinarnya sudah hampir sekarat untuk memastikan siapa sosok yang ada di hadapanku. Rupanya aku mengenalinya."Wow," sindirku saat aku benar-benar bisa mengenali wanita itu dengan jelas. "Kau bercanda? Tentu saja aku masih ingat padamu, Freya."Aku cukup terkejut. Antara percaya dan tidak dengan apa yang aku lihat, aku kini memasang pose pertahanan yang paling kuat. Tanpa perlu repot-repot mengeceknya, aku langsung tahu kalau pintu di belakangku ini sudah terkunci. Ditambah lagi tidak ada jendela sama sekali di ruangan ini. Tak ada pilihan lain, yaitu menghadapi rekan se-almamater yang berkhianat."Jadi kau itu double agent?" geramku. Aku mulai bisa membaca situasi. "Pada siapa kau bekerja?"Freya tertawa dengan misterius. Ia bukan lagi Freya yang aku kenal. Tidak, tidak. Bahkan aku dul
Aku terperanjat. "Hah?! Kok bisa?""Hari ini ia ada les privat dari jam satu sampai jam dua siang," jelas Pak Tomi dengan suara gemetar. "Tapi sampai jam segini, ia belum juga pulang. Di tempat les juga tidak ada."Jadi, ternyata ini bukan soal perjodohanku lagi."Sebentar, ya. Aku usahakan pulang hari ini." Aku segera menutup teleponnya.Gina dan Aldi menatapku dengan heran."Teman-teman," ujarku mencoba menjelaskan. "Sepertinya ada sedikit masalah di rumahku, dan aku ingin menunda keberangkatanku di misi ini. Aku akan melapor dulu ke Pak Ferdy." Aku melangkah menghampiri pintu keluar perpustakaan.
Sisi lain dalam diriku memberontak. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh larut dalam percakapan ini. Aku tidak mau sampai membocorkan rahasia apapun pada Vilas, walaupun tampaknya ia tidak berbahaya sama sekali, selain tatapan matanya, gestur, dan senyuman mautnya. Oh, lagi-lagi aku melamun sambil memandangi wajahnya.Aku buru-buru mengisyaratkan pada Vilas untuk berhenti berdansa. Lalu aku berbalik menghadap tamu-tamuku yang sejak tadi tak terjamah olehku. Pelan-pelan aku duduk di kursiku, dan Vilas berjalan kembali ke tempatnya. Aku tidak boleh membuang waktu mereka lebih banyak lagi."Dengan adanya acara pemilihan calon suami untukku ini, aku jadi bertanya-tanya, apakah diri kita sendiri benar-benar bisa diandalkan dalam hal memilih pasangan?" tanyaku di sela-sela keheningan setelah musik klasik untuk dansa dimatikan. "Maksudku, bag
"Selamat datang di rumahku," sapaku penuh percaya diri pada seluruh tamu yang duduk mengelilingi meja makan. "Aku Suri Stoka, putri tunggal dari mendiang Mojo Stoka."Pak Tomi juga ikut tersenyum pada para tamu. "Para tamu kita ini adalah bagian dari bisnis keluarga yang berdiri sudah sangat lama," jelasnya dengan nada formal. "Untuk mempererat hubungan baik ini, kita semua akan mengadakan pemilihan calon pasangan bagi Nona Suri secepatnya. Silakan kepada para calon untuk memperkenalkan diri."Salah seorang dari empat cowok itu terlihat sedang disikut-sikut oleh kedua orang tuanya untuk segera memperkenalkan dirinya. Ia tampak gugup dan gemetaran."A-Aku Abra ... "Tadinya aku pikir namanya adalah Abra ... Kad
Malam harinya, aku duduk termenung di atas tempat tidurku sambil memandang jendela. Mungkin hampir setengah jam aku di sini, tak melakukan apapun. Dalam benakku, ada yang berbeda dari hari ini, tapi aku sendiri bingung apa itu. Entah mengapa kini aku merasa sangat ingin tahu siapa pengirim surat milik Dova. Apakah benar itu surat cinta? Ah, buat apa aku peduli pada si cowok kulkas itu! Buru-buru aku menarik selimutku dan merebahkan kepalaku di atas bantal, lalu aku memejamkan mataku beberapa saat, berharap aku segera terlelap. Semoga malam segera berganti pagi, melenyapkan lelah yang terperangkap dalam tubuhku. Setengah jam berlalu. Ternyata aku tidak bisa tidur. Sama sekali. Kepalaku dipenuhi re