"Vivian?" Silvia berada di dalam pikirannya. Dia melihat Vivian yang kini terbaring di atas air danau yang di atasnya bulan menggantung sempurna. Kepala Vivian mendongak menatap Silvia di tepi danau.
"Mau apa kau kemari?" tanya Vivian yang memusatkan penglihatan.
"Ikutlah denganku," katanya memohon pada
Vivian.
"Kemana?" Vivian perlahan-lahan berdiri dan berjalan di atas air danau, mempersempit jarak mereka untuk mendekati Silvia yang masih menunggu kedatangannya di tepi danau.
"Menyatulah bersamaku Vivian. Aku membutuhkanmu," kata Silvia lembut.
"Kenapa? Itu tidak mungkin Silvia," kata Vivian dengan mimik bingung saat menatap Silvia.
"Maaf aku tidak pernah mengatakannya padamu. Sejujurnya jika kau dan aku mencoba untuk saling berikatan kita bisa menjadi kuat, tapi kelemahannya aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku." Vivian memperlamabat langkahnya, dan ada ketakutan yang jelas terpancar dari manik mata emas miliknya.
Wajah-wajah puas terlihat di antara pasukan Moon Kingdom karena berhasil merebut Ghorbo.Mereka mengulas senyum bahagia, meski ada beberapa yang menangis haru dan sebagian menangis sedih karena kehilangan rekan seperjuangan, akan tetapi semua seakan sudah terbalas dengan kemenangan yang mereka dapat. Silvia tersenyum dan menatap Aaron yang tampak biasa saja."Hey berbahagialah. Kita memenangkan pertarungan ini," katanya pada Aaron yang terlihat menekuk wajah. Pangeran itu memperbaiki posisi Silvia yang tadi setengah duduk menjadi menyandar padanya. Gadis itu hendak protes."Kali ini jangan membantah. Kau masih sangat lemah," katanya dan melemparkan tatapan penuh perintah pada pasukannya sebelum mengatakan, "Ayo kita kembali! Dan bawa mereka yang terluka, serta kumpulkan pedang yang masih tersisa!" Suara Aaron terdengar lantang agar bisa didengar semua ksatrianya."Siap!" jawab mereka bersamaan dan langsung mengerjakan perintah Aaron.Pasuk
Sepasang mata indah membuka perlahan, bola matanya begerak menyapu langit-langit tenda berwarna kuning kusam di atasnya. Bibir merah cherry miliknya meringis, bergumam tak jelas. Ia merasa sakit di bahu kiri, serta beberapa bagian tubuh lainnya. Dengan gerakan lambat ia berusaha bangkit dari tempatnya. Gadis itu—Vivian— melihat cemas ke pintu masuk tenda—berharap seseorang ada di luar sana. Dia sangat ingin keluar, tapi entah apa yang membuatnya tak mampu menggerakkan seluruh tubuh.“Kau sudah bangun?” Aaron menyingkap pintu tenda yang ditutupi kain putih polos nan panjang. Matanya menangkap tubuh Vivian yang setengah duduk di atas tempatnya berbaring.Gadis itu hanya mengangguk lalu kembali menatap ke bawah. Aaron mendekat perlahan, tapi tidak membantunya bangkit. Pria itu berjongkok di hadapannya.“Bagaimana dengan lukamu?” tanyanya, melihat bahu kiri Vivian yang ditutupi gaunnya.“Luka?” Vi
Pasukan Moon Kingdom meninggalkan perkemahan di sore harinya. Barisan pasukan itu begitu rapi. Tampak Aaron yang memimpin rombongan. Ia menunggangi kuda hitam miliknya dengan pandangan menatap lurus ke depan, sedangkan Vivian duduk manis di depannya. Gadis itu tadinya protes saat Aaron mengatakan mereka akan menaiki kuda yang sama, ia ingin setidaknya satu kuda dengan Jemy, tetapi pria itu tentu tidak bisa menjaga Vivian jika kondisinya masih sangat lemah seperti saat ini. Aaron lebih dapat dipercaya untuk menjaganya dalam keadaan mendesak, jika mereka mendapat serangan tiba-tiba.“Jaga tubuhmu tetap seimbang, Vivian. Perhatianku bukan hanya padamu, tetapi seluruh rombongan ini. Jika kau terus bergerak gelisah di tempatmu, maka yakinlah aku akan menyuruhmu menaiki kuda putih Silvia sendirian.” Aaron menatap Vivian tajam dengan nada mengancam.Vivian bergidik ngeri mendengar itu. ia tidak berani melirik Aaron dan memilih duduk tenang di atas kuda, sambil mem
Raja Fous tersenyum puas di tengah ruangan berisi ratusan ksatria, ia baru saja menyelesaikan pidato kemenangan yang berhasil merebut kembali Ghorbo dari tangan Kaum Gouwok. Suara sorak sorai memuja dirinya menggema di ruangan besar dengan bangku beton yang melingkar tujuh. Raja Dimitri juga tak kalah senang. Senyum yang jarang ia perlihatkan kini ikut menghiasi wajahnya yang kaku.“Ini adalah kemenangan besar kita. Mari berpesta untuk merayakannya! Besok malam akan ada pesta kemenangan dan kalian semua diundang!” Seru Raja Fous menjamu para ksatria. Jemy menatap kumpulan itu dengan sinis, ia tak habis pikir, bagaimana mungkin mereka bisa berpesta untuk merayakan seseuatu yang kecil, sedangkan bencana besar masih ada di depan mata. Aaron hanya duduk diam sedari tadi, ia tidak berminat dan langsung berdiri meninggalkan tempat itu.“Kau akan keluar?” tanya Jemy yang ikut menyusul.Aaron berhenti dan menatap Jemy sekilas.“Ya,&r
Pesta besar-besaran diadakan di Istana Moon Kingdom. Kelima raja aliansi itu berkumpul di meja bundar khusus. Gelak tawa dan riuh rendah suara ksatria yang ada dalam ruangan besar, dimana pesta itu diadakan kini menggema hingga ke seluruh ruang-ruang istana. Mereka menari dengan diiringi musik di tengah ruangan, tetapi tidak ada yang boleh bernyanyi karena nyanyian adalah larangan walau musik dan tarian masih diperbolehkan.Jemy sengaja menghindar dari sana dan memilih berkumpul bersama Aaron, Daren, Morio, dan Jackuen. Sedangkan Jrender terlihat tenggelam dengan minuman bon—sejenis minuman keras yang pahit, tinggi alkohol—di meja seberang.“Nikmatilah pesta ini, jangan terus menekuk wajahmu seperti itu, kita tidak akan tahu kapan memenangkan perang lagi dan membuat pesta seperti sekarang,” kata Teo yang menawarkan bon miliknya.Jemy menggeleng. “Tidak terima kasih. Sudah lama aku tidak minum.” Tolaknya halus
Tetes air terdengar menggema dalam lorong gelap dengan penerangan minim dari celah dinding yang pucat. Ada jerit serta tangis samar terdengar hingga ke dalam bilik jeruji penjara besi berisi tubuh putih yang terbaring tak sadarkan diri. Lantainya yang dingin terasa menyengat kulit, membuat kulit putih pucat itu menjadi memerah. Seorang pria siap berjaga di luar penjara. Ia waspada, menatap nyalang pada tubuh lemah yang ada di baliknya. Matanya terus awas, seolah tidak akan lepas, takut tubuh itu terbangun dan menyerangnya. Kabar keganasan Pearl Girl telah terdengar hingga ke seluruh dunia. Tidak ada yang tidak tahu berita kemenangan Moon Kingdom di Ghorbo.“Sam!” Seorang pria tinggi berisi mendatangi pria yang sedari tadi berjaga di depan penjara besi. Mendengar namanya dipanggil, ia berbalik dan mengangguk, memberi respon.“Tinggalkan saja gadis itu. Kita disuruh berkumpul oleh Tuan Muda,” ajaknya.“Bagaimana jika dia sium
Jemy memukul meja berkali-kali. Ia menatap Raja Dimitri dan yang lainnya. Wajahnya benar-benar menunjukkan emosi yang sejak tadi menguasai. Matanya berpindah dari satu wajah ke wajah lainnya. Ia tak puas dan merasa tertipu.“Ini jelas-jelas penghianatan! Apa kalian tidak bisa mencari dalang dari semua ini?” bentaknya pada jejeran prajurit yang duduk berbaris di ruangan besar itu.“Kami tahu Jemy. Tidak hanya kau yang merasa tertipu, tetapi aku juga. Sebagai seorang Raja yang menjadi pemimpin dari aliansi ini, akulah yang paling merasa dirugikan. Seperti ditusuk dari belakang oleh ksatria yang kupercaya,” kata Raja Dimitri dengan intonasi tenang. Mengurangi keributan serta kekalutan emosi yang telah memenuhi ruangan itu sejak mereka mengadakan pertemuan.“Ini sudah hari ketiga, tapi kita belum menemukan petunjuk keberadaan puteriku! Aku ingin kau menyeret orang-orang yang bersembunyi dari balik baju aliansimu untuk dipenggal
Vivian menatap pantulan dirinya di atas air sungai jernih yang mengalir tenang menyusuri lekukan di antara pepohonan di sisinya. Dia termenung, mematut diri dalam diam. Melihat pantulan wajahnya yang tampak mati, seputih kertas, seolah tak bernyawa. Tangannya gemetar, dia menekan kedua tangannya yang tak lagi terkendali. Tubuhnya begitu lelah, bajunya penuh akan noda darah. Bukan darah miliknya, namun darah mereka. Orang-orang yang telah membangunkan Silvia.Ia terlalu takut menghadapi apa pun. Batinnya tersiksa dan kepalanya berpikir tanpa jeda. Berulang kali merapalkan kata mati seperti kaset rusak. Sudah lelah ia menangis, tak ada satu bagian tubuhnya yang luput dari ketersiksaan. Suaranya telah habis, serak karena berteriak. Hanya rasa lelah yang tersisa, dan dia tak sanggup walau sekedar mengangkat tubuhnya."Istirahatlah, aku akan mencari sesuatu untuk kita berdua." Seorang pria menghampiri Vivian yang berlutut di tepi sungai."Aku tidak lapar, Sa
Awalnya Aaron ingin mencapai perdamaian dengan sedikit bernegosiasi pada Herold. Seingatnya pria itu bukanlah orang yang haus darah ataupun kekuasaan. Jelas sekali pria yang membawa pasukan Kaum Gouwok dan Abandonis ini sangat berbeda dengan pria yang dikenalnya lima tahun yang lalu.Pasti sesuatu sedang terjadi.Batin Aaron masih dengan pandangan berkabut marah. Katalput dalam peti yang Kaum Gouwok bawa sudah mereka keluarkan dari peti, begitu pula meriam kecil dan sebuah senjata yang terbuat dari besi sepanjang satu meter berdiameter dua puluh centi tampak berdiri kokoh di barisan belakang Kaum Gouwok. Ketiga senjata itu diarahkan tepat ke barisan Moon Kingdom.“Untuk apa kau mengeluarkan senjata itu? kita akan bertarung dengan jarak dekat, jadi simpan mereka karena kau tidak akan memerlukannya,” kata Aaron dengan nada mengejek.Herold tertawa mendengar perkataan Aaron. “tidak, aku tidak menggunakan benda-benda itu dalam perte
Nervi, salah satu dataran terjal dengan barisan tebing dan bukit juga lembah yang hanya dipenuhi tanah cokelat berbatu. Tempat tertandus setelah Corgonla, salah satu jalur neraka bagi pengembara. Namun medannya yang berat sangat menguntungkan bagi Aaron untuk memulai rencana peperangan mereka. “Tugaskan pemanah di sekeliling bukit, buat barisan serapi mungkin untuk mengepung mereka,” kata Aaron memberi tugas pada para Archer untuk membuat dua lapisan pasukan pemanah di atas bukit yang mengelilingi jalur yang pastinya akan dilalui Kaum Gouwok.“Lalu letakkan masing-masing meriam di sini,” tunjuk Aaron pada sepuluh titik yang paling strategis untuk membidikkan meriam.“Pasukan bersenjata bersembunyi di sini,” kata Aaron lagi menunjuk pada beberapa goa dan ceruk menjuruk ke
Udara terasa panas menyengat kulit makhluk yang berada di bawah terik matahari termasuk iring- iringan pasukan Moon Kingdom menuju Nervi, masih ada perjalanan selama satu hari satu malam sebelum mereka tiba ke tujuan. Pasukan itu melewati daratan Raeng yang dipenuhi tanaman perdu, kemudian mereka memasuki lembah Antontem dengan tebing runcing yang rawan longsor. Aaron membawa mereka melewati jalur yang tidak biasa agar kedatangan mereka ke Nervi tidak terendus oleh Kaum Gouwok yang juga sedang menuju perjalanan ke Nervi.Sebisa mungkin Aaron serta pasukannya datang lebih dulu sebelum Kaum Gouwok sampai di Nervi agar rencana mereka bisa berjalan semestinya. Beberapa kali pasukan yang Aaron pimpin beristirahat untuk memberi makan para ksatria, namun dia hanya memberi jeda selama setengah jam sebelum akhirnya kembali meneruskan perjalanan. Jalanan yang mereka lalui terasa sangat berat diakibatkan perbukitan terjal, tiupan angin lembah yang hangat membakar kulit, maupun sengatan
Aaron melangkah pelan mendekati dipan yang ditiduri Vivian. Sejak saat itu dia sering mendatangi balai pengobatan dan berjaga di sebelah Vivian. Pandangan Aaron jatuh pada tubuh rapuh yang tergeletak lemah tanpa daya. Kulitnya begitu pucat, lebih pucat dari biasanya. Namun wangi tubuhnya masih kuat, menebarkan aroma mawar yang menggoda. Dalam keadaan seperti ini Vivian tak ubahnya seperti gadis yang tidur biasa. Tidak tampak tanda-tanda dia baru mengalami percobaan pembunuhan.“Bisakah Pangeran bergeser. Kami hendak memeriksanya.”Seorang pria tinggi berambut panjang sebahu dengan baju hijau daun mendekati Aaron dan berdiri di sebelah Vivian, tepat di depan Aaron. Dan satu pria lagi mengikuti di belakangnya dan bergerak ke sebelah Aaron. Kedua pria itu adalah tabib istana, jelas terlihat dengan baju kebesaran mereka yang berwarna hijau daun. Sampai saat ini Aaron sudah melihat mereka tiga kali. Keduanya adalah muridnya Sue yang bernama Jeid dan Hazu.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa menang, tetapi aku akan melakukan apa pun untukmu Pangeran. Hidupku adalah milikmu Yang Mulia.” Morio memberi hormatnya dengan membungkukkan tubuh ke hadapan Aaron.“Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak suka cara kalian membungkuk padaku, cukup mengatakan apa yang kalian rasakan tanpa harus memberi penghormatan lebih seperti itu. Aku hanya manusia biasa yang beruntung terlahir dalam lingkaran keluarga kerajaan,” ujarnya.Para ksatria tersenyum, mereka sangat mengenal watak Aaron yang tidak terlalu membanggakan identitasnya sebagai Putera Mahkota. Dia lebih senang berbaur bersama mereka yang kastanya lebih rendah karena bagi pangeran muda itu mereka semua sama, status yang manusia ciptakanlah yang membuat mereka membedakan diri satu dengan yang lain.“Lalu apa rencana kita Pangeran?” Jackuen membuat semua yang hadir terdiam dengan pertanyaan krusialnya. Mereka kini fokus mencari solusi.
Beberapa pria berbadan besar dengan baju perang lengkap yang mereka kenakan tampak berlari dengan terburu-buru ke arah Istana Utama. Ksatria yang tadinya sibuk berlatih kini menghentikan aktivitas dan menatap waswas melihat sepasukan tentara berzirah perak itu memasuki istana. Melewati mereka yang mulai memberi perhatian pada barisan pasukan khusus. Morio menatap mereka sembari mengeratkan pegangan pada busur panahnya. Dia mengangguk pada pimpinan pasukan yang berjalan paling depan dengan langkah terburu-buru. Ini bukan saatnya untuk saling sapa dan sekedar berbagi kisah dengan sejawat lama, karena kedatangan pasukan berzirah perak itu bukanlah pertanda baik. Mereka pasukan elit terlatih yang bertugas sebagai mata-mata dan juga penjaga perbatasan Moon Kingdom dan kerajaan di bawah aliansi.“Pasti sesuatu yang buruk sedang terjadi,” bisik Jackuen dengan ngeri. Berkali-kali dia menelan salivanya menatap kedatangan pasukan itu.“Ya, dan kedatangan mereka
Tidak ada yang menyadari rencana Zasier yang sebenarnya dan dia merasa seperti tuhan yang bisa mempermainkan nasib siapa saja di atas telapak tangannya. Hanya untuk sebuah kesenangan. Besmut balas menatap tuannya itu dengan tatapan sama liciknya. Mereka duo iblis yang kompak dalam konspirasi ini. Setelah jamuan itu berakhir Zasier meninggalkan meja makan dan dia memasuki ruang pribadinya, yaitu kamar yang sangat luas dengan ornamen patung burung Jajova—lambang kekuasaannya—dan juga kepala serta tengkorang manusia yang diawetkan. Ada karpet persia berwarna merah maroon yang melapisi lantai, sebuah tempat tidur yang bisa memuat lima pria dewasa di tengah ruangan dengan tiang-tiang tinggi berhiaskan kelambu berwarna kelabu. Ruangan itu didominasi warna merah darah berpadu hitam pekat yang dindingnya berlapiskan bebatuan dari Lembah Aeramus—lembah terdalam dan paling mematikan dengan tambang batu mulia termahal di dunia. Sebuah rak buku seluas dinding di depan
Sesuatu yang dingin menyentuh tubuh Aaron hingga dia terbangun dan mendapati dirinya sedang tertidur di atas rerumputan tepat di halaman belakang istana di dekat danau. Kepalanya bergerak perlahan ke samping dan hampir saja dia terlompat dari tempatnya berbaring ketika mendapati tubuh Sue yang ikut berbaring di sebelahnya. Bibir Aaron meringis saat kepalanya terangkat untuk mengambil posisi duduk sedang tangannya memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang menghentak-hentak hingga ke belakang kepala.“Ah, Anda sudah bangun Yang Mulia?” tanya Sue yang juga ikut terduduk dari posisinya berbaring.Aaron melirik tajam pada Sue seolah dia enggan pria tua itu melemparkan pertanyaan apa dan mengapa dia sampai lepas kontrol hingga tertidur di tempat ini, seperti bukan dirinya. Dan, Aaron mengumpat dalam hati. Memangnya dia melakukan sesuatu yang menggambarkan dirinya akhir-akhir ini? Aaron bahkan tidak yakin jika dia masih Aaron yang sama sebelum semua ber
Hamparan bunga lilac, queentin, peoni dan alamanda tumbuh dengan indah di halaman dengan rumput halus seperti sutra di bawah sinar bulan yang menggantung sempurna di langitnya yang penuh bintang, bertabur dengan kerlip cahaya bagai hamparan berlian berpendar indah dengan kilat-kilat seperti percikan bunga api membentuk kembang bunga yang merekah bagai mawar mekar. Tak jauh dari sana ada danau dengan air bening yang dapat memantulkan bayangan langit di atasnya. Seolah langit itu telah berpindah ke bawah, terperangkap dalam air danau sebening kaca.Sepatu boot yang pria itu pakai menapak ragu pada rerumputan di sana. Dia bergerak perlahan seperti kebingungan melihat tempat itu. Kepalanya bergerak kesana-kemari memindai sekitar. Melihat apakah itu mimpi, ilusi atau mungkin nyata. Tetapi dia dapat merasakan hangatnya sinar perak bulan yang menyinari tubuhnya, dan wangi bunga musim semi membelai penciumannya.Ini nyata.Bisiknya. Dan dia me