“Aku pikir Aku sudah tiba pada titik jenuh yang kumiliki. Pahit rasanya mengingat bahwa penantian ini terasa sangat sia-sia.”
“Kita akan melakukannya dengan cepat.”
Odelia memperhatikan cerminan dirinya pada kedua mata kelabu milik lelaki itu. Jean benar-benar dalam bayangan dirinya yang sama sekali tak dikenalnya. Baik dulu maupun sekarang. Namun meski tak mengenali pribadi yang sekarang ada dihadapannya, Odelia tak bisa berbuat banyak. Ia yang lemah hanya pasrah saat Jean membuka satu-persatu benda yang melekat pada tubuhnya.
Odelia terdiam memperhatikan bagaimana setiap gerakan yang dibuat ole
"Aku mencari hingga aku merasa lelah. Aku terdiam menunggu kepastian yang sebenarnya aku tahu bahwa itu tak pernah ada."Sepasang mata kelabu itu turun memandangi hamparan rumput yang tumbuh didepan salah satu dari sekian banyak pekarangan yang tumbuh dirumah ini. Sesekali mulutnya menghembuskan asap nikotin yang berasal dari rokok yang ia hisap. Tatapannya nanar, bukan kepada objek yang berada dihadapannya, melainkan pada sosok lain yang kini tak ada bersamanya. Sudah sejak awal, tak ada niatannya untuk memandangi sekumpulan rumput yang tumbuh menjadi satu berwarna kehijauan itu.Sejak tadi pagi, berawal dari keputusannya untuk meliburkan dirinya dari rutinitas kantor yang memuakan, disinilah seorang Jeanattan berakhir. Jika saja ia memutuskan untuk pe
“Aku pikir tak apa jika sedikit tersakiti meski aku yakin kau takkan pernah menjamah ini. Tapi karena itu dirimu, maka aku mampu bersabar lebih lama.”Kedua orang laki-laki dengan setelan jas kantornya tengah berdiri sambil menyandarkan punggung mereka di pembatas pinggiran balkon. Baik Jullian atau pun Jean sama-sama terdiam di tempatnya. Tak ada satu pun suara yang keluar dari bibir kedua lelaki jangkung itu. Keduanya memilih menyandarkan tubuh mereka pada pembatas pagar balkon lantai dua rumah Rea.Jean yang hanya bisa terdiam berdiri disamping laki-laki asing ini menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Baginya menghisap benda nikotin itu adalah pelariannya. Mungkin hanya dirinya yang
“Sepintar-pintarnya tupai melompat, pasti lambat laun akan terjatuh juga.”Di dalam kamar Yonash, Clara nampak duduk disamping pria paruh baya itu. Clara tak hentinya merengek pada ayahnya seharian ini, dan puncaknya pada malan ini. Clara nekad masuk ke dalam kamar ayahnya dan mendesaknya kembali. Ia takkan menyerah sampai ayahnya itu mau buka suara. Wajahnya pun tak pernah lepas dari raut memelas. Ia hanya meminta ayahnya berbagi sedikit cerita mengenai ayahnya dan juga kakaknya, Jean. Ia yakin ayahnya mengetahui sesuatu. Setelah meminta Marko menyelidik kakaknya, Clara semakin gelisah.“Ayah.. aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku.” Rengeknya sambil menyandarkan kepalanya
“Perasaan yang kupikir takkan pernah ada, kini terasa begitu nyata bergema dalam hatiku.”Pikirannya kacau, begitu yang dapat Jean simpulkan. Setelah seharian ini ia memutuskan untuk berada di kediaman Rea, Jean merasa dirinya malah tidak tenang. Padahal ia sengaja bersembunyi di rumah itu untuk menghindari kepenatan kantor dan juga Martha yang akan selalu menyambangi kantornya, entah untuk urusan kecil yang sebagian besar Jean bisa tebak adalah tentang uang.Jean memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Ternyata kekuatan pikiran lebih besaar dari apa yang ia bayangkan. Rasanya seluruh tubuhnya nyeri memikirkan apa yang baru saja dikatakan Rea tadi siang. Tubuhnya nyeri, terasa seperti ia
"Menyadari bahwa kau berusaha untuk melenyapkan rasa itu, membuatku semakin sakit."Setelah beberapa saat dihabiskannya untuk menangisi diri, Odelia pun bangkit. Wanita itu dengan susah payah berdiri diatas kedua kakinya meski rasa lemas tak kunjung hilang darinya. Matanya sembab, entah sudah berapa lama ia menangis disini. rasanya selama apapun ia berusaha menguapkan emosinya, sia-sia saja jika sakit yang terus menjamah hatinya tak kunjung sirna.Odelia pun berdiri menopang tubuhnya dengan pinggiran sofa yang tak jauh darinya. Ia memegang erat lapisan bludru itu ditangannya. Sungguh rasanya untuk bergerak saja ia tak mampu. Mungkin terdengar melankolis mengingat Jean tak melakukan kekerasa fisik kep
“Harusnya ini berhasil. Aku yang menyakitimu dan kau yang terluka. Tapi, mengapa...”“Suka atau tidak suka kau harus mau. Dan, perintahku adalah mulai malam ini kau tidur disini, dikasur ini bersamaku.”Kedua mata Odelia terbelalak. Ia sungguh tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari bibir lelaki itu. Apakah lelaki itu tidak menyadari apapun? Apakah lelaki itu berniat untuk menyiksanya lebih parah dari yang sebelumnya?Semakin dekat dengan seorang Jeanattan akan membuatnya semakin tersiksa. Odelia sudah bertekad untuk melupakan lelaki itu segera setelah ia membubuhkan tandatangannya di
“Aku akan berhenti. Sungguh, jangan lagi kau mengharapkan aku yang akan terjatuh untuk kedua kalinya padamu.”Seorang wanita nampak terduduk diatas ranjang mewah berukuran king size yang entah sejak kapan menjadi tempatnya membaringkan tubuh. Terbangun dalam kesendirian didalam kamar sebesar ini sungguh membuatnya seperti berada didalam hutan yang lebat. Ia tersesat disini, dan berusaha mengingat kejadian yang mengakhirkan dirinya diatas ranjang asing dengan tubuh telanjang di dalam selimut.Kegetiran langsung menyapu seluruh ruang di hatinya, ketika ingatan semalam kembali menjamah kepalanya. Ia ingat betul bagaimana ucapan Jean yang bertolak belakang dengan sikapnya selama ini. Lelaki i
“Orang yang menyakitinya adalah kakakku sendiri.”Seorang wanita nampak duduk disalah satu bangku yang tersedia di kafe didaerah Kemang. Suasana yang terlihat sedikit sepi, karena telah usai jam makan siang, membuat tempat itu terlihat lebih lengang dari biasanya. Didepan wanita itu, sang pria yang hanya menggunakan kaos lengan panjang turtle neck hanya bisa terdiam membisu setelah memberikan sebuah amplop coklat kepada wanita itu.Marko, pria itu tak bisa berkomentar banyak setelah apa yang ia ketahui setelah beberapa penyelidikan dilakukannya. Pria itu hanya duduk termangu, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh sang tunangan yang saat ini sibuk memperhatikan tumpukan dokumen hasil
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap