"Ini semua emang salah gue yang terlalu banyak berharap."
-Anara Emiley.***
"Mau mampir dulu gak?" Anara turun dari jok motor. Menyerahkan helm yang tadinya ia pakai ke tangan Daver.
Sebenarnya Anara hanya basa-basi. Karena ia yakin, Daver akan menolak dan langsung pulang.
"Boleh."
Anara membulatkan matanya. Satu hal: Anara takut Jeff dan Lena sedang bertengkar di dalam. Anara tidak mau Daver mengetahui kondisi keluarganya.
Malu? Iya, Anara malu. Ia tidak mau berpura-pura senang dan tegar dengan kondisi keluarganya sekarang.
"Ra, malah bengong, dih." Anara sampai tidak sadar bahwa Daver sudah turun dari motor ninjanya.
Anara menghilangkan benak keraguannya."Eh, iya, ayo."
Anara berjalan duluan. Diikuti dengan Daver di belakangnya. Baru saja mereka menginjak pekarangan, suara vas pecah mengejutkan pendengaran keduanya.
Daver sangat terkejut. Bunyi itu sangat dekat. Seperti berasal dari dalam rumah Anara.
"Ra, kenapa, tuh?" tanya Daver. Sekarang, Anara tidak tahu mau berbuat apa. Sudah dapat dipastikan bunyi tadi adalah ulah Jeff.
"Dasar perempuan pembawa sial!"
Anara membeku di tempat. Di satu sisi ia khawatir dengan Lena, di sisi lain ia takut Daver akan mengetahui statusnya sebagai anak broken home.
Daver mendekati Anara. Ia memegang lengan perempuan itu. "Ra, are you okay?"
Anara menggeleng. Matanya berkaca-kaca. Ia malu, takut, khawatir, dan tidak tau mau berbuat apa di hadapan Daver.
"Sorry, but, am I right?" tanya Daver sekali lagi. Anara mengangguk. Ia mengerti akan sesuatu yang dipikirkan Daver.
"Tolong pulang sekarang, ya," ujar Anara lembut. Terdengar dari nada bicaranya, Anara sedang menahan tangis.
Daver mengerutkan alisnya. Lalu ia menggeleng. "Mana bisa gue tinggalin lo dengan keadaan kayak gini?"
"Brengsek!" teriak Jeff dari dalam. Bentakan itu sangat tiba-tiba. Membuat hati Anara terguncang.
Setetes cairan bening tertitih dari pelupuk mata Anara. "Dav, please!" Ia menghentakkan kakinya ke tanah berkali-kali. "Lo harus pulang sekarang!"
Daver meneguk ludahnya kasar. Ia bimbang. Secara logika, Daver memang harus meninggalkan Anara karena ia tahu Anara merasa malu.
"Telfon gue kalo ada apa-apa," ucap Daver pada akhirnya. "Denger gak?!"
Bertepatan pada saat Daver mengatakan kalimat itu, suara tamparan berbunyi sangat nyaring. Terdengar ngilu di telinga Anara.
Anara langsung berlari masuk ke rumahnya tanpa mengiraukan Daver terlebih dahulu. Bahkan ia tidak peduli akan kata selamat tinggal.
Daver dengan tahu diri meninggalkan rumah Anara. Ia tidak pantas untuk mengetahui lebih dari yang tidak sengaja ia dengar.
Anara membuka pintu utama dengan terburu-buru. Ia sangat terkejut begitu melihat kondisi ruang tamunya yang sangat berantakan. "Mama!"
Anara berlari menghampiri Lena yang duduk di lantai. Ia membopong tubuh Lena agar dapat berdiri.
"Are you crazy?!" bentak Anara pada ayahnya. Ia tahu ini tidak sopan. Namun, ia tidak dapat mengontrol dirinya.
Jeff kesusahan mengatur napasnya yang memburu. "Mama kamu yang gila!"
"Mama gak apa-apa, sayang," ucap Lena seraya terus menutupi pipinya.
Anara dengan kesal menarik tangan Lena. Ia tahu bahwa Lena sedang menyembunyikan memar. "Ini yang mama bilang gak apa-apa?"
"Setan! Keturunan siapa, sih, kamu, Anara? Sikap kamu terlalu mirip sama mama kamu!" seru Jeff dengan intonasi tinggi.
Anara diam. Ia malas membalas. Karena semua itu hanya berujung sia-sia.
Pada akhirnya, seperti biasa. Jeff meninggalkan mereka berdua. Menyisakan rasa benci di hati Anara.
Anara membawa Lena ke kamar wanita itu. Untuk mengobati memarnya. Sebisa mungkin Anara berusaha untuk tidak meneteskan banyak air mata di depan ibunya.
🥀🥀🥀
Selesai melakukan ritual setelah pulang sekolah, Anara mengambil ponselnya. Ia melihat begitu banyak notif.
Dan itu berasal dari Daver.
Ntah, Anara mau senang atau bagaimana. Tapi yang jelas Daver berhasil membuatnya tersenyum.
Daver Negarald
Gmn woi?Bales napa si raRaRaRaRarararaAnara Emiley!Btw sorry gue denger apa yg ga harus gue dengerRa, you okay?Gue sbg sahabat yg baik ga mau biarin lu lewatin itu semua sendirianAnara menatap pesan terakhir Daver dengan datar. Ia, Daver benar. Sahabat.
Anara Emiley
Tolong tutup mulut soal yg tadiGue baik2 aja, kalo lo bisa jaga rahasia iniTidak perlu menunggu waktu yang lama, Daver membalas pesannya.
Daver Negarald
Iya bawelKalo ada apa2 cerita RaAnara mengulum senyumnya. Ia baru merasakan rasanya diperhatikan oleh seorang Daver Negarald, pujaan para cewek di sekolahnya.
Daver Negarald
Jawab kali RaBaca doangAnara Emiley
MakasihDaver Negarald
Kok makasih?Anara Emiley
Makasih udah perhatianEnak ya,Fara punya cowok seperhatian ini wkwkGue gaada yang perhatiin:(Daver Negarald
Gue bukan cowoknya Fara RaBahas Fara terus, jgn2 lo suka Fara ya?WkwkAnara Emiley
HahahaAnara bisa gila kalo kelamaan chat dengan Daver. Tapi setidaknya, pikirannya tidak terus terfokus dengan kejadian tadi. Daver dapat membuatnya tersenyum lagi.
Sayangnya, Daver melakukannya karena mereka adalah sahabat. Anara bukan seseorang yang spesial.
Daver Negarald
Gue tau Ra, lo 'hahaha'' padahal hati lo lg sedihAnara tertegun. Sedih, karena Daver atau karena kejadian tadi yang dimaksud Daver?
Daver Negarald
Jadi, gmn kalo malam ini lu temenin gue makan?Lu jg makan nntiYa biar lu bisa lupa sama kejadian tadiAnara bersorak kegirangan. Apa ia tidak salah membaca? Daver mengajaknya makan bersama malam ini?
Anara Emiley
BolehDaver Negarald
Gue jemput jam stengah 7Anara tidak membalas apa-apa. Malahan, ia melempar ponselnya. Ia mendekap wajahnya ke bantal, lalu berteriak sekencang mungkin.
Anara tahu ini bahagia sementara. Tapi walaupun sementara, Anara harus menikmatinya. Moment ini langka dan mungkin hanya terjadi sekali dalam hidupnya.
Tuhan masih baik. Dia mau membiarkan Anara bahagia karena orang yang Anara sayang. Walaupun orang itu tidak memiliki perasaan yang sama dengan Anara.
🥀🥀🥀
Meskipun Daver selalu mengajaknya berbicara dengan segala topik yang ia miliki, Anara merasa canggung dengan suasana.
Tadi, Daver menjemputnya tepat pukul setengah tujuh. Penampilan Anara tidak terlalu lebay. Ia hanya memakai kaus bercorak army yang ia beli di Stradivarius, celana pendek sepaha berwarna putih, dan sepatu Adidas putih kesayangannya.
Sedangkan Daver, dia nyaman hanya dengan kaus yang dibaluti oleh hoodie Anti Social Social Club miliknya, celana jeans panjang, dan kets Nike.
"Hmm," gumam Anara. Ia menggigit bibir bagian dalamnya.
Daver yang tadinya sedang melihat handphone, jadi langsung melihat Anara. "Kenapa?"
Anara tersenyum tipis. "Mau tanya."
"Tumben nyari topik duluan," sindir Daver. Ia mengeluarkan tatapan ledek, lalu terkekeh.
Anara menyengir. "Lo gak akan bilang ke temen-temen soal kejadian yang tadi, kan?" tanya Anara. Terdengar nada keraguan dan kekhawatiran di dalamnya.
Daver mengembuskan napas dan memutar bola matanya malas. "Enggak, lah, Ra. Emang gue se-cepu apa, sih?"
"Gue cuma nanya aja, gak usah ngegas," guraunya. "Oh, iya, Dav."
"Kenapa?"
Mendadak Anara tidak tahu bahan pembahasannya tadi. "Gak jadi, deh. Lupa mau ngomong apa." Ia menggaruk tangannya yang tak gatal.
"Cewek itu kalo di depan orang yang dia suka, emang segugup itu, ya?" Daver senyum meledek, menatap Anara.
"Apa lo bilang?!" Anara spontan teriak. Ia mengerutkan dahinya. Mulutnya membentuk huruf 'o' tanpa ia sadari.
Daver menggeleng dan terkekeh geli. "Nggak, nggak."
"Sumpah, ya, tadi lo bilang apa?!" tekan Anara memaksa. Anara dengar yang Daver katakan, tetapi ia mau memastikan apakah pendengarannya tidak salah?
Daver menggeleng lagi. "Gue cuma bercanda, Ra."
Anara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Jangan kepedean lo."
Sebisa mungkin Anara menyembunyikan ekspresi kejutnya. Anara tidak tahu apa maksud Daver berbicara seperti tadi. Tapi, yang Anara semogakan, Daver benar-benar hanya sekadar bergurau.
"Gak pede, kok. Lagian kalo emang enggak, gak usah shock kayak tadi kali, Ra," ujar Daver menjahili. "Jujur aja, sih."
Anara berekspresi kesal. "Ngomong apa, sih, lo? Ngelantur."
Daver tertawa. Anara lucu sekali jika sedang salah tingkah.
Tidak lama kemudian, handphone Daver bergetar. Panggilan masuk itu dilirik oleh Anara diam-diam.
Oh, Fara, batin Anara.
Daver mengangkat panggilan itu di tempatnya, di hadapan Anara. "Halo? Kenapa, Far?"
"Bisa tolong ke sekolah sekarang gak, Dav? Mobil gue mati, gue gak ngerti caranya gimana?" Fara tergesa-gesa. Napasnya tidak beraturan karena kelelahan.
Daver melihat Anara sekilas. "Iya, gue otw." Setelah itu, Daver langsung mematikan sambungan sepihak.
Dari situ Anara kembali menyadari bahwa Fara jauh lebih penting di mata Daver daripada dirinya.
"Ra—"
"Iya, tau, kok. Sana, gih," sela Anara dengan lembut. "Gue bisa pulang sendiri."
"Gak apa-apa, gue anter lo. Gue yang jemput, gue juga yang harus anter balik," ucap Daver serius. Namun, dibalas gelengan oleh Anara.
"Kesian Fara sendirian malem-malem di sekolah. Kalo dia kenapa-napa gimana?"
Daver tidak berpikir jauh. Jika ia pergi buru-buru menjumpai Fara yang sendirian di sekolah, apakah ia tidak mengkhawatirkan nasib Anara yang nantinya pulang sendirian malam-malam begini?
Daver mengangguk, mengiyakan ucapan Anara. Dengan cepat ia berdiri. "Ya udah, Ra, gue ke sekolah dulu ya. Kesian Fara. Bye, Ra!"
Anara menatap sendu Daver yang berlari cepat menaiki motornya. Anara tidak mengerti, seberapa besar perasaan cowok itu untuk Fara. Sampai Anara dapat melihat kekhawatiran di mata Daver.
🥀🥀🥀
Anara dan Fara keluar dari kelas beriringan pada jam istirahat. Anara bingung, hari ini Fara terlihat sangat bahagia. Cewek itu menggandeng tangan Anara dan mengayunkannya dengan semangat.
"Senyum terus," sindir Anara dengan wajah yang ia buat setidak-nyolot mungkin.
"Kemarin Daver lucu banget, Ra," tembak Fara langsung. Wajahnya cerah sekali. Menggambarkan suasana hatinya sekarang.
Anara hanya pura-pura terkejut dan ikut senang. "Oh, ya? Lucu kenapa?"
"Dia, kan, benerin mobil gue. Terus dia rela nyetirin mobil gue sampe rumah. Dia anter gue, Ra. Motornya dia tinggal di sekolah. Baik banget." Fara melompat kecil seraya berjalan ke kantin. "Muka lo datar banget sih, Ra. Lo gak seneng kalo sahabat lo seneng, ya?"
Anara mengubah raut datarnya menjadi senyum tipis. "Seneng, kok. Selamat, ya."
Fara mengerucutkan bibirnya. "You say it but your face doesn't look so."
Anara tidak tahu mau menjawab apa. Alhasil, ia menarik tangan Fara untuk berjalan lebih cepat. "Gue laper, Far. Udah, ayo, cepetan."
Saat memasuki kawasan kantin, Anara dan Fara berpapasan dengan geng Daver yang juga mau masuk ke kantin dari arah yang lain.
Tentu, orang yang pertama kali Anara lihat adalah Daver. Namun, laki-laki itu memandang Fara terus.
Harus Anara lapor pada Alvano bahwa sekarang sakit hatinya kambuh lagi?
Anara cemburu tapi ia bukan siapa-siapa. Lagian, kalau Anara cemburu, tidak ada yang peduli.
"Hai," sapa Fara yang mengarah ke Daver. Laki-laki itu hanya menjawab dengan alisnya yang ia naik-turunkan.
Tiba-tiba Evan sudah berada di Anara tanpa ia sadari. "Hai, sayangku, Anara. Sama akang aja, yuk!"
Anara menatap Evan aneh sekaligus jijik. Tapi daripada terus-terusan melihat Daver dan Fara, lebih baik ia bersama dengan Evan.
"Bareng, yuk," ajak Rino.
Anara dan Fara mengangguk. Mereka mengikuti Rino dkk yang berjalan menuju meja mereka.
Anara duduk di hadapan Daver. Sedangkan Daver duduk di sebelah Fara. Anara juga bingung. Kenapa Fara malah duduk menjauh darinya.
"Dav, motor lo gimana jadinya?" tanya Fara membuka perbincangan. Anara, Ander, Rino, dan Evan melihat mereka berdua.
"Tadi gue berangkat bareng Ander," jawab Daver yang disertai dengan senyuman. Daver akui, dari hari ke hari, Fara terlihat semakin cantik.
Tapi menurut teman-temannya, Anara yang selalu cantik setiap hari. Tidak dikurang dan tidak ditambah. Karena kata Evan, kalau ditambah nanti Anara jadi keterlaluan cantiknya.
"Oh, sorry, ya. Gara-gara gue—"
Daver menyela, "Never mind."
Fara tersenyum.
Anara mencaci maki dirinya di dalam hati. Tidak seharusnya Anara merasa cemburu. Apalagi dengan sahabatnya sendiri.
Tapi Anara tidak bisa menyembunyikan itu semua. Ia benar-benar cemburu dan kesal.
"Lo kemarin pulangnya gimana, Ra?" Anara terkejut tiba-tiba Daver bertanya padanya.
"Jalan kaki," jawab Anara sekenanya. Ia bahkan tidak menatap mata Daver. Ia sungguh bete.
"Hah? Dari mana ke mana, Ra?" tanya Ander dengan volume suara keras. Membuat Anara mau mengutuknya sekarang juga.
Rino menyenggol sikut Ander, lalu tertawa. "Suara lo kurang gede." Yang disenggol malah ikut tertawa.
"Kepo," sahut Evan.
Daver menatap Anara. Ia merasa tidak enak karena sudah membiarkan perempuan itu pulang sendiri malam-malam dengan berjalan kaki. "Kok, jalan kaki, sih, Ra?
Anara malu kalau harus jawab yang sebenarnya, bahwa ia lupa membawa uang.
"Suka-suka gue," jawab Anara acuh tak acuh.
Daver merasa aneh dengan Anara. Kenapa cewek itu jadi sangat cuek dan datar hari ini?
"Emangnya kalian habis ngapain berdua kemarin?" Fara mulai keluar rasa penasarannya. Anara menatap cewek itu dengan malas.
"Gak ngapa-ngapain," balas Daver karena Anara tidak menjawab.
Anara melihat Daver. Ia mengerti walaupun kesal juga. Lalu, ia kembali melihat Fara. "Iya, gak ngapa-ngapain. Gak penting."
Evan menarik ikat rambut Anara sampai kuncirannya terlepas. Itu hobinya dari dulu. "Lagi sensi amat, Ra."
Tingkah jahilnya itu dibalas cubitan menyakitkan oleh Anara. "Lagi gak mau bercanda, Evan!"
"Anara!" panggil seseorang. Keenamnya langsung menengok ke asal suara.
Anara langsung tersenyum sumringah saat tahu siapa yang memanggilnya. Alvano. Laki-laki yang dapat membuat mood Anara kembali naik.
Alvano menghampiri meja mereka. Pandangannya tidak lepas dari Anara.
"Ra—"
"Ada latihan gak hari ini?" sela Daver. Rino yang melihat itu tertawa. Rino rasa, ia menyadari sesuatu.
"Lo nanya gue?" tanya Alvano yang diangguki Daver. "Ada. Pulang sekolah."
Daver ber-oh ria.
"Anara," panggil Alvano sekali lagi.
Anara menoleh. "Iya, apa?"
"Pulang sekolah ada kegiatan gak?"
Anara menggeleng ragu. "Kayaknya, sih, enggak. Kenapa, Van?"
"Temenin gue ke toko buku, dong." Alvano menyangga tubuhnya dengan tangan yang mengait di meja. Menunjukkan urat kokoh yang lengannya miliki.
"Lo gak ada latihan emangnya?" sahut Daver. Raut wajahnya tidak senang. Daver tidak menyadari itu.
Alvano memandang Daver dengan kesal. "Urusin urusan lo aja, kenapa jadi kepo-in jadwal gue?"
Anara tidak peduli dengan perdebatan keduanya. Apalagi Daver orangnya. Ia tidak mood mendengar suara cowok itu. "Bisa, kok."
"Oke, Ra. Gue tunggu, ya, pulang sekolah," ucap Alvano yang diangguki Anara.
Daver berdecak. "Bukannya latihan, malah jalan-jalan."
"Kusut banget muka lo, Dav," ujar Ander mengomentari. Daver langsung memberikan tatapan tajamnya.
"Lo gak seneng gue jalan sama Anara atau gimana sih?" Alvano mulai nyolot. Ia tidak suka dengan Daver yang dari tadi mencampuri urusannya.
Daver diam. Ia menyadari sesuatu setelah Alvano mengatakan itu. Anara juga langsung melihat Daver yang berada di hadapannya.
"Gak jelas lo!" tambah Alvano lagi.
Daver tidak suka dengan Alvano yang selalu menempel pada sahabatnya.
Tetapi seharusnya sahabat tidak boleh seprotektif itu.
Daver jadi merasa aneh sendiri.
Daver melonggarkan kerah bajunya. Ia melepas dasi yang terikat rapi di sana. "Ra, temuin gue pulang sekolah. Gue mau ngomong sesuatu."
Alvano mendengus. Pasti ini orang mau ngegerecokkin gue, batin Alvano.
"Gak mau," tolak Anara mentah-mentah.
"Please. Penting."
Pertahanan Anara runtuh. Ia mengangguk. Melihat itu, Alvano jadi semakin kesal pada Daver.
"Gak lama. Gue harus nemenin Alvano."
***
"Hebatnya, dia bisa buat gue benci dan jatuh cinta di saat yang bersamaan."-Anara Emiley***Anara melamun dari tadi karena Daver terlalu lama membuatnya menunggu. Ia memainkan dedaunan yang jatuh dari pohon. Merobeknya hingga kepingan terkecil.Anara memandang jam tangannya berulang kali. Sudah sepuluh menit ia menunggu. Mungkin terdengar sebentar, tetapi itu lama bagi Anara."Ra!"Anara menoleh. Akhirnya yang ditunggu datang juga."Lama banget." Anara bete. Wajahnya sudah kusut dari tadi."Tadi ada tambahan kelas. Sorry, ya." Daver merapikan rambutnya yang berkeringat.Anara bertanya langsung, "Kenapa?"Daver menatap Anara sebentar. Lalu terdiam. Anara yang menyadari itu jadi salah tingkah. Anara memang sensitif jika ditatap oleh Daver."Soal yang kemarin.."Oh, Anara benci dengan pembahasan itu.Daver melanjutkan ucapannya setelah memberi jeda. "Ya, gue cuma mau bilang aja. Jangan sedih. Walaupun muka lo selalu seneng di sekolah, jutek juga, sih. Tapi lo keliatan bahagia di sekola
"Cuma perhatian, emangnya gak boleh?"-Daver Negarald***Ander meletakkan Alvano di kasur secara bodo amat. Tidak ada halusnya sama sekali. Hal itu membuat Alvano meringis kesakitan."Pelan-pelan bego," titah Alvano di tengah rintihannya.Ander memandang Alvano tidak peduli. Ia mundur selangkah, lalu duduk di meja. Berhadapan dengan Alvano. "Lo obatin diri lo sendiri. Masih untung gue bawa ke sini. Kalo nggak, lo udah habis sama Daver."Alvano bergumam mengiyakan Ander."Kenapa, sih? Gue gak ngerti apa-apa. Cuma yang tadi gue liat, Daver emosi banget
"Kalo emang gak suka, seenggaknya jangan bikin gue berharap."-Anara Emiley***Daver benci ketika menjadi bahan suruhan guru. Seperti sekarang, langkah gontainya membawa dirinya ke ruang olahraga.Walaupun menggemari pelajaran ini, tetap saja, Daver malas jika disuruh mengambil sesuatu yang menjadi kebutuhan belajar teman-temannya.Daver membuka pintu ruang olahraga di hadapannya. Sialnya, ia bertepatan dengan Alvano yang sedang meletakkan bola futsal.Sungguh merupakan suasana yang canggung bagi keduanya. Meskipun mereka laki-laki yang harusnya memiliki sikap tidak peduli, tapi tidak bisa dipungkiri kalau keadaan ini memangawkward."Eh, ada atlet," ucap Alvano dengan nada sindiran. Ia tertawa singkat.Daver menoleh padanya dengan tatapan aneh. Daver tidak senang. "Apa maksud lo?""Atletkick boxingkita," ucap Alvano lagi. Ia menggerakka
"Dan orang yang menyukai seorang Daver Negarald gak cuma dari fisik, patut gue pertahanin. Apalagi kalau itu lo."-Daver Negarald***Daver dan Rino memandang intens orang-orang yang berada di belakang Alvano. Keduanya jarang atau bahkan tidak pernah bertemu dengan mereka."Oh, sekarang dateng bawa temen," cibir Rino meledek seraya melihat satu per satu orang-orang yang ada tiga jumlahnya. Ia memutar bola matanya malas."Lo kira gue gak ada temen?" sergah Alvano.Rino mengacungkan jari tengahnya. "Ngomong ama jari gue." Evan terkekeh diam-diam mendengar ucapan Rino.
"Kalo emang bukan jodoh, kenapa semesta deketin kita terus ya?"-Anara Emiley***Anara melangkahkan kakinya menuju ruang guru. Tadi, saat ia sedang dalam jam pelajaran Matematika, gurunya menyuruh dia untuk menemui Pak Santoso, guru olahraga.Anara termasuk murid favorit Pak Santoso karena ia memiliki kecerdasan yang tinggi di bidang PJOK, khususnya secara teori.Tidak, Anara tidak pandai berolahraga. Hanya saja Anara sangat mengerti tentang teori PJOK. Misalkan dari peraturan permainan, hal yang dilarang/pelanggaran, dan lain-lain.Anara membuka pintu ruang guru dengan lambat. "Permisi, Pak."
"Stop being this cute, Anara."-Daver Negarald***"Gue lagi males, Van.""Ayo, lah. Gak setia kawan, lo.""Hadeh, Jupardi."Mata Evan bersinar saat melihat Daver akhirnya mau membuka aplikasi PUBG setelah dipaksa berkali-kali. "Yey, baik banget, Gantara."Seperti itu persahabatan mereka. Nama orangtua selalu menjadi nama panggilan."Ah, lupa, kuota gue sekarat." Evan melempar ponselnya ke meja. Ia mengacak rambutnya dongkol."Lo yang ngajak, bodoh. Pake wifi sekolah," aju Daver memberi ide."Lemot tau!"Daver malas mengurusnya. Ia memilih untuk keluar dari aplikasi PUBG. "Gak usah, lah, udah."Evan berdecak kecewa. "Padahal lagi pengen gua."Daver menoyor kepala Evan. Ia tertawa melihat wajah sahabatnya yang kecewa hanya karena tidak bisa mabar dengannya. "Makanya modal dikit.""Gue lupa kuota gue tinggal seratus mb. Daripada gue paksain terus ngadet, kan." Evan membela diri. Selalu."Eh, iya, heh!" Daver berseru langsung. Ia memukul lengan Evan membuat cowok itu kebingungan.Daver t
"Jujur lebih baik, karena emang gak ada pilihan lain."- Anara Emiley***Daver melangkah semakin dekat pada Anara. Evan buru-buru menghampiri ketiganya. Anara yang kebocoran, Evan yang cemas. Tidak bisa dibohongi bahwa pelototan mata Anara menunjukkan betapa terkejutnya dia."Lo—""Tadi sengaja nguping," ucap Daver jujur.Daver tidak henti-hentinya menatap Anara membuat Anara menjadi salah tingkah. Setiap gerakannya seakan diawasi dengan lucu."Will i get some new reasons?" sindir Daver
"Hello, King."-Gema Sergio***Anara bingung dengan dirinya sendiri yang selalu datang terlambat pada hari Rabu. Entah diakibatkan dirinya yang tadi malam begadang atau bagaimana, intinya Anara jadi harus berhadapan dengan Ibu Erna yang piket hari ini."Kenapa terlambat?" Ibu Erna bertanya dengan nada tegasnya."Saya.. hmm..""Mandinya lama? Ataumake updulu ke sekolah?"Sepertinya akan berbahaya bila Anara bilang kalau ia begadang. "Tulis aja macet, B
...Saat Daver mengatakan itu, suasana semakin haru. Ada yang menyembunyikan air mata, ada yang berusaha untuk tetap senyum, ada yang cemberut karena sedih."Oh iya, gue titip Anara ke kalian ya. Dia suka mendem sendiri kalo ada apa-apa. Jadi tolong didengerin kalo dia emang butuh temen cerita, peluk dia kalo lagi sedih, bikin dia ketawa. Pokoknya tanyain terus dia kenapa," pinta Daver pelan.Zhenix mengangguki perkataan Daver. Evan dan Rino, mereka mengacungkan jempol.Daver mundur beberapa langkah, kembali lekat dengantrolley-nya. Setelah melambaikan tangan, ia mulai membawa pergi benda yang menampung segala kebutuhannya itu.Sesekali Daver menengok ke belakang. Barangkali ia melihat seseorang berlari menghampi
..."Aku salah banget ya?" tanya Daver kemudian menatap Giselle.Giselle tersenyum lembut, lalu mengacak rambut Daver selayaknya anak kecil. Ia tertawa sekejap."Kok malah diketawain sih," gerutu Daver. "Ini udah tinggal 40 menit lagi, Kak. Zhenix udah pada bilangotw, tapi mereka bilang Anara gak mau ikut.""Siapa tau Anara tiba-tiba dateng?""Dia aja gak angkat telepon atau bacachataku sama sekali. Nih, liat. Aku udah ada ratusan kali nelepon dia. Gak ada satupun yang diangkat."Giselle menatap Daver sebentar, lalu ia mengatakan sesuatu yang sedikit melegakan hati Daver. "Gini, Dav. Anggap aja untuk sekarang, Anara lagi marah sebentar. Sebe
"We start this story by together. It must be the same way when we end this."—Daver Negarald—***"Daver, bangun! Bisa-bisanya kamu gak pasang alarm. Ayo siap-siap!" oceh Natasya, membuka gorden kamar Daver. Wanita itu sengaja menginap di apartemen Daver, sekalian membantu anaknya membereskan barang-barang.Daver memicingkan mata begitu sinar mentari menerobos kaca kamarnya. Ia terkejut dengan dirinya sendiri sampai langsung mengubah posisi menjadi duduk.Jadi tadi gue cuma mimpi?!"Kenapa?" Natasya bingung melihat gerak-gerik Daver
***17.38 WIB.Shit!Rasanya Daver mau mengumpat berkali-kali. Kenapa Anara tidak kunjung membalas pesannya? Membaca pun tidak!Apakah Daver harus pergi dengan perasaan ganjalnya ini? Juga dengan ketidakjelasan hubungannya dengan Anara?"Kamu nungguin apa sih? Dari tadi bolak-balik liat hp terus." Giselle ternyata memperhatikan kegelisahan Daver."Calm down." Gantara menepuk bahu Daver dengan gagah, lalu tersenyum. Aura keayahan laki-laki paruh baya itu sangat kental. "Calon penerus Negarald Group harusstay cool, oke?"Daver tersenyum berat, lalu menganggukkan kepalanya.
***"Ra? Kok manyun sih? Seneng dong harusnya karena tau Mama demen sama kamu."Daver dan Anara baru saja sampai di danau yang pernah mereka kunjungi waktu lalu. Memang gelap jadinya karena ini sudah malam. Akan tetapi, ada banyak lampu yang menyala dan beberapa pedagang yang masih menggelar lapak.Anara tidak menanggapi. Pikirannya sedang tidak fokus. Ia juga tadi lagi sibuk mengetik sesuatu di ponselnya."Are you okay?""Ya?" sahut Anara asal."Kamu gak apa-apa?" ulang Daver sabar. Ia menatap Anara. "Dari kemarin, kamu agak beda. Aku mau nunggu kamu cerita sebelum aku duluan yang tanya. Eh, kamu gak cerita-cerita." Ia terkekeh bercanda.
"So, it does end like this, doesn't it?"-Davenara***Sesuatu yang sangatrareakan terjadi malam ini di rumah Giselle. Bayangkan saja, Gantara dan Natasya mau menghadiri makan malam bersama. Padahal sejak bertahun-tahun lalu diajak, mereka tidak pernah mau.Mungkin bisa jadi karena hari ini adalah hari ulang tahun Grace, anak Giselle. Jadi Gantara dan Natasya selaku opa-oma anak empat tahun itu mau turut serta.Tentu di kesempatan berharga ini Daver mengajak Anara. Bahkan cowok itu membelikan Anaradressformal supaya mereka semua bisa berseragam."Happy birthday to Grac
***Anara selesai dengan aktivitas bersih-bersihnya. Dari yang bau keringat karena habisworkout,kini gadis itu sudah kembali wangi semerbak.Anara menyisir rambut, setelah itu mengambil vitamin rambutnya. Namun, ketika mengambil benda tersebut, ia melihat ada ransel Daver."Dav, kok tas kamu nyasar di sini?" teriak Anara dari dalam kamar."Iya, Ra! Tadi aku minjem kamar mandi kalian buat mandi, terus sekalian aku pindahin tasnya biar gampang cari baju, parfum, dll," jawab Daver dengan suara yang besar.Anara mengangguk paham. Lalu, ia memakai vitamin rambutnya dan kembali menyisir."Itu apaan dah?" gumam Anara kecil, salah fokus ke amplop berisi surat yang
"We called it family."-ZHENIX***Sudah pukul 3 subuh, tapi Rino belum bisa tidur. Padahal yang lain udah tepar dari jam 12 malam. Karena lapar, ia pun akhirnya keluar kamar untuk mencari cemilan.Ceklek!Rino menyalakan lampu. Ia berjalan ke dapur. Agak sedikit heran karena ada suara air mendidih."Oy!" panggil Letta, ternyata lagi masak mie instan. "Ngapain lo?""Kaget, kirain siapa." Rino mengelus dada, lalu tertawa. "Bikin apaan, Ta?""Mie. Mau?"
***"Na, jadian yuk!""HA?" Elena kaget dengan ucapan Evan yang tiba-tiba. Ia mengambil es kelapa dan memberikannya. "Mabok lo!""Ih, serius, Na. Emangnya lo gak mau punya cowok cakep plus humoris kayak gue?" Evan mengedikkan alisnya sambil mengelus-elus dagu.Elena tertawa melihat kepedean yang Evan tampilkan. "Udah-udah, gak usah ngaco deh, ayo balik. Yang lain juga pada mau minum es-nya.""Lo mah gitu, Na. Digantung mulu gue." Evan ngambek."Emang lo mau nerima kekurangan gue?" tanya Elena, sebenarnya hanya bergurau.Namun, Evan menanggapinya dengan serius. "Lo pikir gue sesempurna itu untuk gak milih lo dengan alesan yang