"Sayang, lusa aku akan ke Bali untuk tanda tangan kerjasama salah satu hotel di sana."
Pagi itu, Mahendra yang keluar dari kamar mandi, baru ingat dengan jadwal dan segera memberitahu agar tidak lupa. Jadwal yang padat terkadang membuatnya lalai dengan janji mereka. Janji setelah mereka menikah yaitu tidak ada yang disembunyikan dan harus terbuka satu sama lain."Lho, lusa jadwalku kontrol kandungan, Mas. Lagian, kok, mendadak gitu?"Hana yang baru saja membangunkan Kai di kamar putranya, kembali ke kamar dan biasanya akan membantu Hendra mengenakan dasi. Dia tak bisa menyimpan rasa kekecewaan di paras ayu itu tetapi berusaha tersenyum."Oh, ya? Sorry, aku lupa, Sayang.""Kalau besok Mas punya waktu luang?"Hana melangkah mendekati si suami yang mengambil kemeja navy. Lalu, wanita itu membantunya menyatukan satu per satu kancing kemeja dengan mata terus menatap wajah Hendra, menunggu jawabannya."Besok, ya?""Bu, tadi ada orang yang datang membawa CV lamaran. Berkasnya sudah aku taruh di ruangan Ibu."Pesan Luna saat mereka sudah menginjak ke dalam toko, yang mendapat gumaman kecil dari mulut Hana. Sudah banyak pelamar yang memasukkan surat, tetapi belum ada satu pun yang bisa menarik perhatiannya. Beberapa kali melakukan wawancara dan praktik ke bagian dapur dengan calon yang mendaftar, tetapi belum ada yang berhasil masuk dalam kriteria yang diinginkan pemilik bakery with love. Wanita hamil itu menghempaskan tubuh di kursi. Lalu, tangannya mengambil minyak kayu putih dari tas dan mengoleskan di bagian dahi dan hidung. Rasa mual dan pusing mulai melanda lagi. Morning sick yang menjadi kebiasaan empat minggu lalu ternyata belum juga menghilang.Potongan peristiwa tadi malam di meja makan terbesit terlintas di benaknya. Tatapan suami adik ipar itu sangat mengusik pikirannya. Sorot mata yang penuh kejanggalan, membuat Hana bergidik ngeri. Namun, dia t
"Aku belum bisa pulang sekarang, Sayang. Aku akan meminta dokter datang ke rumah untuk memeriksa kondisi Kai, bagaimana?"Itu jawaban Mahendra kala Hana mengabari via telepon kalau putra mereka muntah di sekolah. Kini, kondisinya sedikit parah karena bukan hanya muntah tapi sudah disertai diare dua kali dalam dua jam."Aku rencananya akan membawanya ke rumah sakit aja, Mas. Aku khawatir Kai dehidrasi karena dia pun tidak mau makan dan minum."Terdengar helaan napas berat di seberang sana. Sang papa sedang mengadakan rapat dengan klien yang benar-benar tidak bisa ditinggal atau diwakilkan oleh Aldo, sang general manager."Oke kalau itu yang terbaik. Aku minta Pak Dadang ngantar kalian. Ingat, jangan pergi pake taksi online. Segera Pak Dadang meluncur. Paham, Sayang?"***Kai segera dibawa ke kamar perawatan usai diperiksa dokter anak langganannya. Arsenio yang dicari Hana untuk menangani putranya. Wanita itu tahu si dokter berkaca
Untaian kata itu membuat mata Hana memanas. Entah mengapa, kalimat penyemangat yang keluar dari bibir Arsenio selalu menyentuh di hati paling dalam. Dia yang tahu bagaimana menembus palung hati tersebut. Andaikan dulu Hana tak bertemu dengan Mahendra lagi, apakah dia akan memberi sebagian hatinya untuk sang dokter? Ah, kenapa di benaknya ada pemikiran seperti itu?Hana menggeleng, membuang jauh angan-angan yang dulu sudah dia tepiskan. Dia sendiri yang telah memilih Mahendra dan menolak kala Arsenio menyatakan cinta."Makasih, Kak."Usai mendengar kata itu, Arsenio mendecak keras lalu berkata."Sudah berapa kali kamu bilang makasih, Han? Kenapa jadi sungkan gitu ke aku? Oh, sekarang kamu sudah anggap aku orang asing?""Bukan, bukan gitu, Kak.""Lalu?""Aku ...."Ucapan itu terhenti ketika pintu kamar perawatan terbuka. Sosok Mahendra dengan langkah tergesa masuk dan memasang wajah tak suka tatkala melihat kebera
"Apa, Pa?"Melengkungkan bibir, Mahendra membenarkan posisi duduk yang bersandar menjadi lebih tegak. Tangannya mengelus kepala Kai dengan lembut. Ditatap sorot mata yang mirip sekali dengannya, bibir Kai persis dengan Hana. Wajah yang sempurna di matanya."Papa akan bawa kamu ke theme park atau waterpark. Terserah Kai pilih mau di mana? Disneyland Hongkong? Genting Malaysia? Atau di mana, boleh pilih. Asal ...."Dia sengaja berhenti berucap demi membuat Kai maupun Hana penasaran. Lantas dia tersenyum lagi sebelum melanjutkannya."Asal apa, Pa?" Kai tampak tak bisa menyimpan mimik greget-nya. Tadi Hana bisa menangkap wajah kegirangan di wajah sana. Lantaran memang sudah hampir dua bulan, si papa memang sangat sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga lupa meluangkan waktunya untuk keluarga kecil tersebut."Asal Jagoan Papa janji mau makan dan turuti semua anjuran Mama dan dokter. Semua itu demi kesembuhan Kaindra. Nah, jika Jagoan
Percuma rasanya memberi penjelasan dan pengertian kepada Kai, anak itu kembali merajuk. Dia tak mau makan dan minum apapun saat Hana menawarkan."Aku ingin Papa, Ma. Kenapa akhir-akhir ini Papa sangat sibuk?"Di situ, ada Arsenio yang memang kebetulan sedang revisit pasien di kamar tersebut. Dia bisa menangkap kekecewaan di wajah pasien yang sudah mulai membaik kesehatannya. Namun, tidak dengan hati yang ada di rongga dada tersebut. Organ itu seolah patah."Dengarkan Mama. Papa melakukan ini karena memang tugas papa bekerja mencari nafkah. Demi mencari uang untuk sekolah Kai. Untuk biaya kehidupan kita, biaya jalan-jalan kita ke theme park atau waterpark nanti. Nah, jika urusan papa selesai dan Kai sudah sembuh, kita bisa berlibur bersama lagi."Kai mengangguk meski hatinya menolak untuk memaklumi pekerjaan si papa. Dia hampir kehabisan tolaransi untuk berada di posisi yang harus terus mengerti. Dia hanya ingin keluarga utuh yang bahagia. Di mana
Tidak ingin menerka yang akan membuatnya penasaran, jari itu menari lincah di layar dan mendapatkan deretan angka yang berarti identitas si pengirim belum tersimpan di kontak teleponnya. Nomor itu ada di barisan pertama di aplikasi hijau tersebut. Tidak ada gambar di sampingnya juga. Ya, benar-benar asing. Siapa?Hanya ada sebuah foto tanpa ada pesan tulisan apa pun yang tertangkap di layar. Sebuah gambar yang menunjukkan sepasang insan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk di sebuah rumah makan, bisa jadi restoran atau kafe. Hana mengambil kesimpulan itu lantaran terlihat di sekitar ada meja dan kursi yang banyak. Di atas meja juga ada piring dan gelas. Itu tak begitu penting, tetapi ada sesuatu yang janggal di gambar tersebut. Sosok pria yang duduk menyamping itu mirip suaminya. Jambang tipis, setengah hidung dan mata kanan itu milik papa Kai. Jari Hana menekan memperbesar foto itu untuk memastikan terkaannya. Yes, itu memang Mahendra.Jari Hana memperk
"Dia tetap melakukan perjalanan ke Bali. Pertemuan dengan General Manager Hotel di sana untuk melanjutkan kontrak kerjasama. Lumayan proyek kali ini, Han. Cuma aku cancel ikut bersama karena tidak bisa meninggalkan mama.""Oh, kalau gitu. Ayo, kita lihat kondisi Tante dulu."Hana menahan pertanyaan selanjutnya karena kesehatan mamanya lebih penting saat itu. Dia pun mengikuti langkah Aldo dari belakang. Dia dan orangtua Aldo tidak begitu dekat, hanya baru beberapa kali bertemu. Yang Hana tahu, mamanya sudah menderita penyakit diabetes selama lima tahun lalu.***Sore hari setelah selesai urusannya dengan dokter yang menangani mamanya, Aldo datang ke ruang perawatan Kai. Dengan menenteng mainan Lego, pria berkeriting itu melempar senyuman kepada Kai yang juga menampilkan gigi seputih kapas kepadanya."Gimana kabar Jagoan Om?""Baik, Om."Tangan mungil itu sudah tak sabar meraih kotak persegi yang disodorkan. Entah sudah berapa banyak kotak koleksi mai
"Btw, kamu dapat foto itu dari siapa? Hendra yang mengirimkan ke kamu? Eh, tapi dia nggak mungkin lakuin itu."Pertanyaan yang dijawab sendiri membuat Aldo menggaruk kepala berhias rambut keriting kemudian dia tertawa garing. Tak lama, pria itu membenarkan posisi duduknya dan mengulurkan tangan."Coba aku lihat lagi fotonya, Han."Dengan ragu bercampur rasa penasaran lebih mendominasi, Hana menyerahkan ponsel ke tangan yang terulur. Jari kokoh itu mengusap hingga layar menyala. Mengecek foto dari aplikasi, Aldo memicingkan mata mempertajam penglihatannya. Iya, itu Mahendra dan Nadhira. Tidak ada efek editan karena di sana juga tidak ada adegan yang janggal. Mereka duduk di meja persegi dan sepertinya sedang menikmati makan siang."Tidak ada yang salah dengan ini, kan, Han?" Mata Aldo berpindah memindai wajah Hana yang sedari tadi menatapnya terlebih dahulu."Hubungan mereka murni hanya antar supplier dan klien. Aku bisa jamin itu. Lantara