"Kita jadi foto prewedding hari ini?""Jadi. Ini aku—“ Dominic langsung menutup mulutnya dengan mata yang berkedip berkali-kali saat melihat penampilan Anna di hadapannya sekarang. "Kenapa, ada yang salah?" Anna bertanya setelah melihat Dominic yang hanya diam melongo saja. "Kau mau ke mana?" tanya Dominic dengan menelan ludahnya. "Katanya kita mau pergi." Anna mendengkus kesal. Dominic ini bagaimana, sih? "Jadi, mau ke mana lagi?""Iya, aku tau, Sayang. Tapi, pakaianmu itu—“"Apa aku terlihat aneh, ya?" tanya Anna yang langsung memotong perkataan Dominic, dengan tertunduk lesu. Gadis itu menatap dress berwarna putih dengan motif bunga yang dipakainya sekarang. "Nggak aneh." Dominic langsung menggeleng cepat. "Kau justru terlihat lebih cantik, Sayang. Aku sampai terpesona."Dominic tidak berbohong. Biasanya Anna selalu memakai jeans dan sweater saja untuk pakaian sehari-hari. Kini gadis itu terlihat lebih anggun dengan dress putih bercorak, dan tentu saja terlihat lebih segar. "
Setelah mendapatkan kabar tentang Frank yang berada di kantor polisi, Dominic dan Anna bergegas mengunjungi tempat tersebut, dan mencari tahu masalah apa lagi yang disebabkan oleh Frank. "Maafkan ayahku, Dom." Anna berkata setelah mereka cukup lama diam di dalam mobil. Dia sungguh merasa tidak nyaman sekarang. Dominic menoleh kemudian mengusap rambut Anna seraya tersenyum tipis. "Kita akan cari tahu apa masalahnya."Anna hanya mengangguk. Jika boleh berkata jujur, rasanya Anna sudah tidak punya wajah lagi di depan Dominic karena Frank terus saja berulah. Kemarin pria itu meminta uang dengan jumlah besar pada Dominic, tetapi Anna melarang untuk memberikannya. Jika terus diberi, Frank pasti akan muncul lagi dan terus meminta uang. "Dominic, aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Amna dengan sedikit bimbang. "Ya, Sayang. Katakan saja, aku akan mendengarkan.""Sebenarnya ayahku seorang pecandu obat-obatan dan alkohol. Apa dia menyebabkan masalah yang berkaitan dengan barang-barang itu
Dominic segera berlari saat melihat Frank tiba-tiba saja mencekik Anna. "Bajingan! Apa yang kau lakukan?" teriak Dominic dengan mata melotot. Dia berusaha menepis tangan Frank yang mencekik Anna dengan sangat kuat. Wajah gadis itu sudah memucat dengan napas yang mulai tak beraturan. "Lepaskan!""Lepaskan, pria tua!" bentak polisi yang menemani Dominic tadi. Bukannya menuruti perintah polisi, Frank justru semakin mencengkram leher putrinya dengan sangat kuat. Selama ini dia tidak pernah berhasil melenyapkan gadis itu, setelah mencoba berbagai cara. Jadi, sekarang Frank akan menghabisi Anna tanpa ampun. Dia tidak peduli jika akan dipenjarakan. Toh, dengan Anna mati atau tidak, Frank akan tetap di penjara. "Bajingan!"Bug! Dominic langsung menghantam wajah Frank dengan tangannya sendiri. Dia tidak peduli lagi dengan status pria tua itu sebagai ayahnya Anna, atau di mana mereka berada. Frank yang merasa kesakitan langsung melepaskan cekikan pada Anna, dan menyentuh bibirnya yang
Dominic sedikit tertegun saat melihat Harry dan Austin berdiri di depan pintu apartemennya. Wajah kedua sahabatnya itu juga terlihat gelisah. "Dominic!" panggil keduanya secara bersama-sama. "Kenapa kalian ada di sini?" "Aku dengar dari Adam jika kau dipanggil oleh polisi. Ada apa? Apa ada masalah serius?" Harry langsung bertanya tanpa jeda. "Hm, cepat katakan ada apa? Harry menelponku tadi, dan aku langsung kemari. Kau tidak biasanya mau terlibat dengan kepolisian," timpal Austin juga. Mereka sangat panik tadi dan langsung datang ke apartemen Dominic. Cukup lama kedua pria itu menunggu, sekitar tiga puluh menit yang lalu. "Kita bicara di dalam saja." Dominic langsung berjalan mendahului kedua sahabatnya dan juga Anna. Ceklek!"Aku mau mandi dulu, Dom," kata Anna yang langsung menuju kamar. Tubuhnya sudah lengket karena kegiatan mereka seharian ini. Dominic hanya mengangguk. Kemudian dia hanya bisa menggeleng pelan saat melihat Harry dan Austin langsung duduk dengan raut penuh
Pagi itu, Anna bangun lebih dulu. Dia merasa lebih baik setelah tidur nyenyak semalaman. Anna juga cukup terkejut saat melihat kondisi apartemen yang sudah kembali rapi lagi. Dominic dan teman-temannya benar-benar bekerja dengan keras sepertinya. Tanpa dia tahu jika hanya Harry dan Austin saja yang membersihkan apartemen sepenuhnya Jadi, Anna membuat sarapan dengan suasana hati yang baik pagi ini. Gadis itu tersentak saat merasakan sepasang tangan besar tiba-tiba saja melingkar di perutnya. Sesaat kemudian, dia bisa mengirup aroma harum dari sabun mandi milik Dominic. "Kau sudah bangun, Dom?""Hm, sudah mandi juga. Kau sedang membuat sarapan apa, Sayang?" tanya Dominic dengan meletakkan dagunya di pundak Anna. Dia suka berada dalam posisi ini. "Roti lapis. Oh, iya, kau sudah bertanya malam tadi pada Austin, apakah dia mau mengantar Daniella belanja hari ini? Jika tidak aku yang akan mengantarkan Daniella." Anna benar-benar lupa semalam karena kejadian luar biasa yang tidak pernah
"Mau ke mana?" tanya Anna ketika melihat Dominic bersiap-siap. Ini sudah malam hari, dan pria itu baru akan pergi setelah seharian di apartemen. "Aku mau bertemu Harry, Sayang. Hanya sebentar.""Oh. Kalau begitu boleh aku titip sesuatu?" Anna mulai menatap Dominic dengan penuh harap. Jika sudah seperti ini, bagaimana mungkin Dominic bisa menolak Anna? Apalagi gadis itu melihatnya dengan menggemaskan. "Boleh. Mau dibelikan apa?""Ice cream seperti biasanya."Dominic melihat jam di pergelangan tangannya. "Malam-malam mau makan ice cream?""Cuma sedikit," ucap Anna dengan tersenyum manis. Sengaja dia lakukan agar Dominic mau membelikannya. Dominic yang gemas langsung mencubit pipi Anna. "Kalau ada maunya baru mau tersenyum manis seperti itu. Apa aku batalkan saja janjiku pada Harry?""Eh, kenapa?" Anna langsung tergagap setelah melepaskan tangan Dominic dari pipinya. "Aku tidak tahan jika harus meninggalkanmu, Sayang. Aku rasa, aku bisa gila gara-gara kau tersenyum menggoda seperti
Dominic membuka pintu, dan melihat televisi yang masih menyala di ruang tamu. Sedangkan Anna sudah tertidur dengan lelap di sofa. Waktu menunjukkan jika sudah tengah malam, gadis itu pasti menunggunya sejak tadi. Dominic menarik sudut bibirnya sedikit saat melihat ice cream yang sudah dia beli untuk Anna. Daripada membangunkan kekasihnya, Dominic memilih untuk menyimpan ice cream tersebut di dalam kulkas saja. Baru setelah itu, Dominic mengangkat tubuh Anna untuk pindah ke dalam kamar. "Kau sudah pulang, Dom?" tanya Anna dengan suara serak. Mata gadis itu mengerjap karena Dominic mengangkat tubuhnya, yang membuat dia sempat kaget tadi. "Hm, baru saja. Kenapa terbangun?""Ice cream-ku mana?" tanya Anna dengan mata membuka lebar. Dia tidak menjawab pertanyaan yang Dominic katakan tadi. "Ice cream?"Anna menganggukkan kepala dengan menengadahkan tangan di depan wajah Dominic. Wajahnya sekarang mirip seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu. "Kau lupa membelikannya?""Tidak, S
Hari mulai sore, dan Dominic belum kembali dari kebun belakang rumah. Anna terlihat bingung harus melakukan apa lagi saat dia sudah selesai membantu Elena membuat makanan penutup. "Mau istirahat, Sayang?" tanya Elena pada Anna. Wajah gadis itu juga terlihat cukup lelah. "Eh, tidak perlu, Tan.""Dominic mungkin akan kembali sebentar lagi. Papanya lagi senang berkebun, dan biasanya baru kembali menjelang petang. Bagaimana kalau menunggu Dominic dengan istirahat saja?" tawar Elena lagi. Saat Anna hendak menjawab Elena, Jennifer tiba-tiba datang dan menyapa Elena dengan wajah riang, sebelum akhirnya dia cemberut karena melihat kehadiran Anna. "Dari mana saja seharian?" Elena bertanya dengan wajah sinis. Padahal pagi tadi dia sudah meminta Jennifer untuk tinggal dan membantunya mempersiapkan acara makan malam, tetapi wanita itu tetap saja pergi entah ke mana. Melihat Elena mulai marah, Jennifer mengeluarkan jurus andalannya. Dia punya berbagai macam cara untuk menghadapi Elena di sit
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,