Setelah hampir empat jam lampu di depan ruangan operasi menyala, akhirnya operasi selesai dengan adanya dokter yang keluar menghampiri Dominic yang tampak kacau balau. "Bagaimana dengan keadaannya, Dok?""Saya sangat bersyukur, Tuan. Semangat hidup Nona Anna sangat tinggi, setelah mengalami syok hipovolemik tadi, kini keadaannya mulai membaik. Beruntung Tuan Williams mendapatkan darahnya dengan cepat, kalau terlambat sedikit saja, mungkin kita tidak bisa berbuat lebih. Luka tusuknya cukup dalam dan sedikit mengenai organ vital, itulah sebabnya dia kekurangan banyak darah tadi."Dominic menundukkan wajahnya dengan napas lega. Di dalam hatinya dia terus mengucapkan rasa syukur dan terima kasih karena Tuhan masih mau mendengar doanya. "Jadi, kondisinya sudah benar-benar aman, Dokter?" tanya Hamilton kali ini. Dokter itu tersenyum tipis. "Untuk sekarang iya, tapi kami akan tetap memantau keadaannya sampai besok malam. Oleh karena itu, untuk sementara Nona Anna akan tetap berada di ruan
Orang-orang yang Adam perintahkan bergerak dengan lebih cepat, daripada kepolisian. Dalam waktu dua puluh empat jam setelah kejadian, mereka berhasil menemukan kedua pria yang menyerang Anna. Tidak dipungkiri uang memang senjata paling ampuh. Saat Dominic berani membayar mahal orang-orang yang Adam perintahkan, mereka semua langsung bekerja dengan cepat. Dominic menatap kedua pria berbeda usia yang sudah babak belur, yang sedang duduk di atas kursi dengan tangan terikat. Terlebih lagi saat dia menatap pria kurus yang sudah tampak tua—pria yang sudah menyerang Anna dengan pisau kemarin. "Ka-kami hanya dibayar untuk melakukan ini, Tuan." Pria yang masih muda itu terbatuk dengan tatapan sayu kepada Dominic. Wajahnya sudah penuh luka lebam karena sebelum Dominic datang, mereka berdua dipukuli lebih dulu. "Jadi, kalian makan dari hasil membunuh orang?""Tidak. Kami baru pertama kali menerima pekerjaan seperti ini." Dia menginjak kaki rekannya, si pria tua yang sudah terkapar. "Hei, p
Harry dan Austin terkejut saat melihat kedatangan Elena ke dalam ruang perawatan Anna. Elena yang melihat keberadaan Harry dan Austin mencoba untuk bersikap biasa saja karena hubungannya dengan Austin yang tidak cukup baik. "Tante ke sini?""Tolong berikan ini untuk Dominic," jawab Elena tanpa menjawab pertanyaan yang Harry lontarkan. Dia menatap Dominic yang terlelap di atas sofa. "Ah, iya." Harry menerima paper bag yang diberikan Elena dengan gugup. "Ini—“"Ini pakaian Dominic. Dari kemarin dia belum berganti pakaian."Harry mengangguk paham meski dia tampak kebingungan, kenapa Elena bisa tahu tentang keberadaan Dominic di sini. Elena segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam kamar Anna, tetapi tiba-tiba saja wanita paru baya itu berhenti dan dia menatap Austin dalam diam. "Austin.""Ada yang bisa saya bantu, Tan?""Aku titip Dominic pada kalian berdua. Pastikan waktu makannya tidak terlewat."Bukan hanya Austin saja yang melongo kebingungan, Harry juga mengalami hal y
"Dominic!"Dominic tersentak saat Anna kembali memanggil namanya. Dia masih sedikit bingung saat Anna menanyakan tentang keadaan Elena. Haruskah Dominic beritahu jika Elena itu adalah ibunya? "Sepertinya kau butuh istirahat, Dom.""Ah, iya. Keadaan wanita yang kau tanyakan tadi baik-baik saja."Anna terlihat lega saat mendengar perkataan Dominic. Setidaknya tidak ada orang lain yang terluka. "Kau kenal dengan wanita itu?" tanya Dominic yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Aku ... hanya mengenalnya begitu saja, tidak tahu juga siapa namanya. Ah, kami lupa berkenalan.""Kalian sering bertemu?"Anna tampak mengingat sesuatu sebelum menjawab Dominic. "Tidak terlalu sering, tapi kalau dia mampir ke toko kue, kami selalu bercerita banyak hal. Dia juga mengajakku belanja kemarin," kata Anna dengan senyum lebar. Dia seolah tidak merasakan sakit pada bekas operasi di perutnya. "Dia sebenarnya—“ Saat Dominic hendak memberitahu siapa sebenarnya Elena, terdengar suara ketukan pi
Dominic kembali masuk untuk menemui Anna yang sedang bersama dengan Elena di dalam kamar, setelah menghabiskan rokoknya di luar. Pria itu cukup terkejut saat melihat Elena sedang tertawa lepas bersama dengan Anna. Harus diakui ini adalah kali pertama Dominic melihat ibunya tertawa dengan lepas. "Kau mengingatkan aku pada masa mudaku, Anna. Dulu aku juga sepertimu, pemberani, tapi sayangnya semenjak aku kenal suamiku semua sikap pemberaniku itu hilang.""Sepertinya tidak, Nyonya. Kau masih pemberani, apalagi saat memukul pria kemarin itu dengan vas bunga."Elena mengusap air mata yang ada dia sudut matanya karena terlalu banyak tertawa. Mereka tadi banyak bercerita tentang banyak hal, lebih tepatnya Elena banyak menceritakan banyak hal tentang masa mudanya dulu. Mengenang masa-masa yang sangat dia rindukan. "Jadi, di mana kau bertemu dengan kekasihmu itu?"Anna langsung menghentikan tawanya, dan menggaruk kepala dengan senyum kikuk. "Aku malu jika harus mengingatnya.""Kenapa haru
"Bukan apa-apa," jawab Dominic dengan memaksakan senyumnya. Dia tidak mau Anna memikirkan tentang masalah ini karena gadis itu butuh waktu istirahat agar bisa lekas pulih. "Kau sudah bangun dari tadi?""Aku baru saja bangun saat kau berbicara dengan Adam tadi."Dominic mendekati Anna dan mengusap kepala gadis itu dengan lembut. "Kau pasti terkejut dengan suaraku. Maafkan aku.""Tidak. Aku bangun karena perutku lapar."Dominic tertawa kecil saat melihat wajah Anna yang polos saat mengutarakan keinginannya. Seperti anak kecil. "Sarapanmu akan tiba sebentar lagi, Sayang.""Aku bosan dengan makanan rumah sakit, Dom.""Bosan?"Anna mengangguk cepat. "Aku ingin makan makanan dari luar.""Tapi makanan rumah sakit itu lebih baik untukmu sekarang, Anna. Apalagi kau habis operasi dan butuh asupan gizi yang banyak agar cepat pulih."Anna menghembuskan napasnya dengan kasar saat mendengar petuah yang Dominic sampaikan. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau Anna harus menuruti Dominic. "Jadi, un
Dominic sebenarnya sudah bosan dengan pertanyaan para penyidik kepolisian, yang sekarang sedang duduk di hadapannya. Tentang mengapa dua orang pria yang menusuk Anna bisa ada bersama Adam, atau lebih tepatnya kenapa bisa Adam yang mengantarkan mereka ke kepolisian. "Anda tidak benar-benar menyekap mereka, Mr. Williams?""Kalau saya menyekap mereka, untuk apa asisten saya mengantarkan mereka ke kepolisian?"Polisi itu tampak kikuk mendengar jawaban Dominic, yang ada benarnya juga.Sejak tahu Adam yang mengembalikan buronan mereka, para atasannya di kantor sudah mewanti-wanti agar dia bisa lebih benar lagi menangani kasus ini. Kasus ini berkaitan dengan keluarga Williams. Salah satu keluarga konglomerat yang namanya sedang menjadi perbincangan hangat di Kota New York. "Anda memukuli mereka, Mr. Williams?"Dominic tampak jengah dengan pertanyaan yang entah sudah ke berapa kali. "Apa mereka bilang jika saya memukulinya?""Tidak.""Anda sudah tahu jawabannya, kenapa masih bertanya lagi
Beberapa jam sebelumnya. "Kau di sini, Nak?"Dominic membuang napasnya dengan kasar saat melihat siapa yang menyapa dirinya sekarang. Frank berdiri di hadapannya dengan senyum lebar. "Kau tidak ingin menyapa calon mertuamu?"Adam yang berjalan menghampiri Dominic, cukup terkejut dengan pria tua yang sedang menatap Dominic, dan mengatakan jika dia adalah calon mertua atasannya. "Kau mengakui putrimu sekarang?""Ya, dari dulu dia memang putriku."Dominic berdecak mendengar perkataan Frank. Dia tersenyum miring seraya berkata, "Jadi, sekarang kau sudah sadar?""Dominic," bisik Adam saat melihat perhatian beberapa orang mulai mengarah pada mereka. Namun, Dominic lebih memilih untuk mengabaikannya. "Tentu. Sejak kemarin aku sudah sadar akan semua kesalahanku di masa lalu. Ah, dia putriku yang malang," ucap Frank dengan wajah sendu, tapi Dominic tahu jika pria tua itu hanya sedang berpura-pura. "Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan lagi, aku permisi," tukas Dominic pelan. Biar bagai
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,