“Senang?”Ditanya begitu, gadis yang memeluk boneka penguin itu mengangguk cepat dan tersenyum manis. Lihatlah, hanya boneka penguin, tapi bisa membuat gadis itu bahagia seperti ketiban rezeki nomplok. “Makasih, ya, Ri.”“Habis ini mau ke mana lagi?” tanya Riga masih menatap gadis itu.Gadis itu terdiam sesaat. “Mampir toko buku dulu, mau? Gue sekalian mau cari novel. Habis itu kita mampir ke Star Cafe. Gimana?”Kalau saja Alena tidak menyebut Star Cafe mungkin saja Riga sudah lupa dengan tujuannya ke sini. Kalau sampai itu terjadi pasti Tante Arumi akan mengomelinya habis-habisan karena batal mempertemukannya dengan Alena.Riga menyetujuinya. Mereka meninggalkan timezone dan melangkah pergi menuju toko buku. Ramainya mall hari itu membuat Riga meraih tangan Alena dan menggenggamnya. “Bahaya kalau sampai lo hilang di sini,” kata Riga yang langsung dihadiahi pukulan di lengan oleh gadis itu.Mereka masuk toko buku. Riga menawarkan diri untuk mengambil alih boneka penguin supaya Alena b
Agenda kencan Alena dan Riga berubah total. Rencananya sepulang dari kafe, mereka akan lanjut jalan-jalan di kawasan Kota Tua. Namun, rencana tersebut berubah setelah Nada dan Gamma datang. Alena dan Nada justru lebih memilih jalan-jalan sendiri keliling mall tanpa Riga dan Gamma, walaupun pada akhirnya kedua laki-laki itu tetap memaksa ikut. Mereka tidak mungkin membiarkan kedua gadis itu hanya berdua di tengah keramaian seperti ini.Setelah pamit dengan Tante Arumi, mereka berempat pergi. Mereka menuju bioskop. Ide siapa lagi kalau bukan dari kedua gadis itu. Alena dan Nada ingin menonton film yang baru rilis. Riga dan Gamma tidak banyak protes, mereka mengiakan saja keinginan kedua sahabat itu.Awalnya Riga pikir mereka akan menonton film romantis mengingat bagaimana antusiasnya kedua gadis itu, nyatanya ia salah. Alih-alih film romantis, layar bioskop justru menampilkan film horor yang bahkan hingga film tersebut berakhir, Riga yakin kedua gadis sok berani itu tidak tahu bagaimana
Ujian sudah selesai, rapor pun juga sudah dibagikan hari Selasa lalu, dan sekarang waktunya libur. Di hari penerimaan rapor, kepala sekolah SMA Angkasa memberitahukan kepada para murid bahwa selama dua minggu ke depan sekolah libur. Pengumuman ini tentu saja disambut baik oleh semua murid tak terkecuali Alena. Dengan begitu mereka bisa mengistirahatkan otak sebelum memulai tahun ajaran baru.Sejak hari pertama libur sekolah, kegiatan Alena tidak jauh-jauh dari makan, tidur, baca novel, dan nonton drama atau film. Kadang ia juga pergi main bersama Nada dan Manda. Girls time, katanya. Via tidak bisa ikut bergabung dengan mereka karena sedang berlibur di rumah neneknya di luar kota.Sebenarnya, Alena dan teman-temannya punya rencana bagus untuk mengisi waktu liburan mereka. Namun, karena mereka juga punya urusan masing-masing selama liburan, jadi rencana itu baru bisa dilakukan satu minggu sebelum liburan berakhir. Cukup lama memang, tapi itulah kesepakatan mereka.Roni, si pelopor renca
Sudah sejak pagi rumah Riga ramai orang. Siapa lagi biangnya kalau bukan delapan laki-laki yang kini sedang duduk manis di ruang tengah sambil menikmati nasi uduk. Semalam tiga orang di antara menginap di rumah Riga, sedangkan empat orang lainnya baru datang Subuh tadi. Itu pun dalam keadaan belum mandi, kecuali Dana. Untungnya, ayahnya sedang tidak di rumah karena ada urusan pekerjaan di luar kota. Jadi, ia tiga perlu merasa sungkan dengan ayahnya akibat tingkah teman-temannya. Tahu sendiri kan bagaimana mereka kalau kumpul, kadang bisa lebih heboh dari anak perempuan. Sesuai rencana yang sudah disusun sebelumnya, hari ini mereka akan mengadakan kegiatan amal. Mereka akan membagikan nasi kotak untuk orang-orang di jalan. Dana dari kegiatan awalnya hanya dari uang mereka saja, tapi beberapa orang tua mereka yang mengetahui kegiatan ini pun menyumbang. Jadi, dana yang terkumpul lebih dari perkiraan mereka. Dana itu kemudian dibelanjakan bahan-bahan yang dibutuhkan dan minumnya. Kemar
Hari ini adalah hari terakhir liburan sekolah. Karena itu, Riga dan teman-temannya memutuskan menutup libur semeter ini dengan pergi ke pantai. Mereka ingin bersenang-senang dulu sebelum kembali menjalani rutinitas sebagai murid SMA Angkasa mulai besok Senin.“Kalian sadar nggak, sih kalau kegiatan berbagi kemarin itu jadi bikin kita semua dekat kayak sekarang? Padahal sebelumnya kita cuma kenal nama atau tau kelasnya doang. Sadar, nggak?” Suara Roni yang sedang membalik daging panggangnya membuat semua orang menatapnya. Mereka sedang berada di rumah Riga. Si pemilik rumah mengundang mereka untuk acara makan-makan kecil-kecilan di rumahnya. Kini, halaman belakang rumah Riga sudah disulap serupa tempat piknik. Lengkap dengan tikar, meja panjang dengan kaki pendek, serta alat pemanggang dan dagingnya.“Gue juga mikir begitu kemarin. Kita yang beda kelas dan kenal kalian, ya sekadar nama doang. Eh, tiba-tiba sekarang jadi akrab begini karena Riga ngajakin kita ikut kegiatan itu. Coba aja
Liburan ke pantai di akhir waktu liburan bukanlah hal buruk bagi Riga. Buktinya, ia bisa menikmati kebersamaannya dengan teman-temannya, termasuk membiarkan dirinya menjadi orang selanjutnya yang dikubur di pasir oleh teman-temannya. Kini, tubuh Riga sudah tertutup pasir dan hanya tampak kepala dan tangannya saja. Gelak tawa sontak terdengar, tapi tidak cukup bisa mengalahkan riuhnya suasana pantai hari itu.Beberapa saat kemudian, Riga meminta bantuan Dana untuk membantunya keluar dari pasir. Masih tetap di posisinya di atas pasir pantai, Riga duduk selonjoran sambil membersihkan pasir-pasir yang menempel di kulit dan bajunya. Lalu bangkit sambil menepuk-nepuk pasir di celananya. Namun, sebagian pasir itu masih tetap menempel di pakaiannya yang basah.Riga menyapukan pandang ke sekitar. Semakin siang, pengunjung pantai semakin bertambah. Mungkin jika dikumpulkan, akan bisa menjadi satu dusun saking banyaknya. Pandangannya tak sengaja tertuju pada tiga orang gadis yang duduk beberapa
Sejak penerimaan rapor dan dinyatakan naik kelas, Alena sudah bukan lagi siswi kelas sebelas, melainkan kelas dua belas. Tingkatan paling akhir di Sekolah Menengah Atas. Itu artinya, Alena butuh setidaknya kurang dari satu tahun lagi untuk lulus dari Angkasa.Hari ini, Senin di pertengahan bulan Juli, sekolah kembali masuk. Namun, karena hari ini merupakan hari pertama tahun ajaran baru jadi tidak ada jadwal belajar mengajar. Beberapa guru sibuk membantu OSIS dalam kegiatan penerimaan siswa baru, serta mengurus keperluan lain. Hal itu membuat murid kelas sebelas baru dan kelas dua belas baru dibebaskan—dipulangkan cepat setelah pengumuman pembagian kelas—dengan catatan tidak mengganggu kegiatan Masa Orientasi Siswa.“Semoga kita satu kelas lagi nanti,” ucap Nada yang duduk bersandar di meja guru. Pengumuman pembagian kelas masih belum keluar, jadi semua murid masih menempati kelas lama mereka.Ucapan Nada diaminkan oleh sahabat-sahabatnya, termasuk Alena. Gadis yang duduk bersila di s
Suara hujan di luar nyatanya lebih mendominasi kelas XII IPA 4 daripada suara tegas Bu Ambar yang sedang menjelaskan materi Biologi. Hal ini membuat hampir semua murid di kelas seperti sedang didongengi karena suara beliau tidak cukup bisa menjangkau bangku deretan belakang. Hawa dingin serta rasa kantuk yang menyerang berhasil membuyarkan fokus belajar. Namun, demi nilai, tidak ada yang bisa apa-apa selain memilih di antara dua pilihan. Tetap di kelas sambil menahan kantuk atau cuci muka di toilet lalu kembali masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Di bangkunya, Alena berusaha menyimak materi yang dijelaskan sambil menahan kantuk. Syukurlah, bel istirahat menyelamatkan mereka. Bu Ambar keluar setelah memberikan tugas untuk dikumpulkan minggu depan. Biasanya setelah pelajaran Biologi, murid di kelasnya akan langsung berhamburan keluar kelas. Tujuannya mana lagi kalau bukan kantin. Namun, berbeda dengan kali ini. Alih-alih keluar, mereka malah sibuk dengan ponsel masing-masing. Mungkin
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,