Malam sudah sangat larut. Sebagian besar bangunan pun lampunya sudah mati. Hanya menyisakan nyala lampu di beberapa tidak saja termasuk lampu jalan yang memang dibiarkan menyala. Angin berembus sedikit kencang, membuat siapa saja yang akan langsung mengigil kedinginan jika merasakannya. Angin juga membuat rambut pendek seorang laki-laki berjaket hitam berantakan. Namun, seolah tidak peduli, laki-laki itu masih tetap berdiri bersandar di pagar pembatas atap sebuah gedung apartemen.Riga, dengan mata terpejam justru berdiam di sana sambil merasakan embusan angin yang mencoba menerobos jaketnya. Dingin, tapi cukup meringankan beban pikiran di benaknya. Ingatannya terlempar ke belakang tiba-tiba. Mengingat kapan terakhir kali ia datang dan menghabiskan waktu di atap gedung ini? Satu minggu lalu? Dua minggu? Oh, atau mungkin sekitar tiga bulan lalu?Ya, tiga bulan lalu di pertengahan bulan. Hari itu langit malam sedang bagus, tapi tidak dengan suasana hatinya. Karena itu, ia memutuskan dat
Suara dari tayangan televisi mendominasi seisi apartemen. Sesekali suara berisik bungkus camilan yang isinya baru diambil, suara kuah yang diseruput, serta denting sendok yang mengenai mangkuk terdengar. Si pembuat suara itu tak lain adalah empat orang laki-laki berusia sebaya yang kini sudah sibuk dengan mangkuk berisi mie ayam di hadapan masing-masing.“Kenal,” jawab Riga beberapa saat kemudian. Ia menyingkirkan plastik berisi sampah ke samping sofa, di belakangnya.“Seberapa kenal mereka? Kalau cuma kenal biasa kayaknya nggak mungkin mereka sampai boncengan kayak gitu, gue cukup kenal Gamma. Dia orangnya cuek kalau sama cewek.” Pandu angkat bicara sambil memasukkan satu sendok sambal ke dalam mangkuknya.“Nah, bener juga. Gamma cuek dan lagian bukannya dia udah punya pacar, ya? Gamma pacaran sama Nada, kan? Oh, atau jangan-jangan Gamma ....” Belum sempat Sakti menyelesaikan kalimatnya, Dana sudah menoyor kepalanya. Membuat laki-laki itu menggerutu kesal.“Jangan berburuk sangka sam
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan tepat ketika Alena membuka pintu kamarnya. Alena menutup pintu, meletakkan tas selempangnya di lantai begitu saja, ia langsung mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Matanya terpejam, menghalau cahaya putih dari lampu yang berada di tengah langit-langit kamarnya. Ia lelah, tapi juga merasa lega.Di pantai tadi, Alena dan Riga menghabiskan waktu cukup lama. Bermain pasir pantai sambil sesekali menjahili satu sama lain, dan tertawa lepas tanpa beban. Sebelum pulang, mereka mampir ke salah satu tempat makan tak jauh dari pantai, makan malam. Baru setelah itu, Riga mengantar Alena pulang.Sampai rumah, Alena langsung disambut oleh Budi. Pria paruh baya itu langsung meloncat bangkit begitu Alena dan Riga datang. Tanpa perlu bertanya pun sudah bisa dipastikan kalau Budi pasti menunggu Alena di teras sejak tadi. Budi langsung memberondong Alena dengan berbagai omelan—lebih ke nasihat kalau menurut Riga—, tapi kemudian pria itu memeluk Alena erat. Terlih
Alena tidak berhenti merutuki dirinya sendiri sejak bangun tadi. Lagi-lagi ia terlambat bangun padahal hari ini adalah hari pertama ujian. Ketika ia turun, rumahnya sudah kosong. Papanya berangkat lebih dulu karena harus meninjau ke lapangan. Meski begitu, papa sudah menyiapkan bekal berisi roti dengan selai stroberi untuk Alena sarapan. Setelah memasukkan bekal ke dalam tas, Alena segera berangkat.Namun, alangkah terkejutnya ia saat membuka pintu pagar. Riga—dengan motornya yang sepertinya baru dicuci—sudah menunggu di depan rumahnya. Alih-alih bertanya ‘sejak kapan laki-laki itu ada di sini?’ justru yang keluar dari mulut Alena adalah “Lo ngapain di sini?”“Jemput lo, ngapain lagi? Buruan naik,” perintah Riga seraya menoleh pada jok belakangnya yang kosong. “Malah diam, lo mau kita berdua telat terus nggak dibolehin masuk ruang ujian? Naik cepetan.”Alena mengerjap dan mengangguk. Ia buru-buru mengunci pintu pagar, kemudian naik ke boncengan. Setelah memastikan Alena naik, Riga mel
Ini adalah kombinasi paling gila menurut Alena selama ia bersekolah di SMA Angkasa. Bagaimana tidak, bayangkan saja hari pertama ujian sudah langsung dihadapkan dengan Matematika dan mata ujian selanjutnya adalah Kimia. Benar-benar ia tidak habis pikir dengan guru yang menyusun jadwal ujiannya. Ia yakin hampir semua murid jurusan IPA akan mengeluhkan hal yang sama.Namun, dibandingkan dua mata pelajaran yang membuat kepalanya hampir meledak, ia punya hal lain yang lebih penting. Karenanya, setelah bel istirahat berbunyi dan guru pengawas keluar, Alena juga beranjak dari kursinya.“Lo mau ke mana?” Gerakan Alena yang tiba-tiba mengejutkan Via yang duduk tepat di belakangnya. “Mau ke kantin, ya? Kalau gitu ayo bareng.”Alena menolaknya secara halus. Alena mengatakan bahwa ia sedang ada urusan, tapi akan segera menyusul jika urusannya sudah selesai. Via paham dan tidak bertanya lagi. Gadis itu membiarkan sahabatnya keluar kelas lebih dulu—dengan terburu-buru. Mungkin sedang ada urusan pe
Semua yang ada di dunia ini selalu punya risiko masing-masing, jadi seharusnya manusia untuk itu. Karena jika sekali saja kita tidak siap, akan selalu ada penyesalan di setiap akhirnya. Penyesalan yang di kemudian hari bisa menjadi trauma jika tidak segera diakhiri.Sama seperti Alena sekarang. Andai waktu bisa diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Apa pun akan ia lakukan supaya semuanya kembali seperti semula. Namun, ia sendiri masih ragu akankah semua bisa kembali atau tidak. Akibat dari ulahnya—keegoisannya yang menginginkan mantan kekasihnya kembali kepadanya—, persahabatannya terancam hancur.Seharusnya ia tidak melakukan ini—meneror Nada hanya karena gadis itu berpacaran dengan mantan kekasihnya—dan membuat Gamma semakin membencinya. Seharusnya ia sadar dan berhenti berharap, karena tatapan teduh milik Gamma sudah tidak lagi untuknya. Ini salahnya yang terlalu percaya diri bahwa hubungan Gamma dan Nada akan retak jika ia masuk di antara mereka. Anggap saja, ia jahat se
Kantin sepi ketika Alena datang. Hanya ada dua murid duduk berhadapan di salah satu meja, satu orang siswi berdiri di depan kulkas minuman, serta satu orang lagi sedang mengobrol dengan penjual batagor sambil menunggu pesanannya disiapkan. Alena melangkah menuju kulkas. Siswi yang sudah mengambil minuman pilihannya tadi menyunggingkan senyum ramah ketika melihat Alena. Alena balas tersenyum.Hari ini terlalu buruk dari perkiraannya. Jadi, mungkin sebotol minuman dingin cukup bisa menyegarkan. Alena mengambil minuman tersebut, menutup kembali pintu kulkas, dan menuju salah satu meja panjang di pojok kantin. Meja itu sejatinya cukup untuk empat sampai delapan orang. Semilir angin dari kipas angin yang berada tepat di atasnya membuat rambutnya sedikit menari-nari. Rasa manis yang sedikit asam, tapi segar berhasil membasahi kerongkongan Alena.Ingatan Alena terlempar pada kejadian beberapa jam lalu. Ia belum pernah melihat Nada semarah tadi kepada orang lain. Bahkan siapa pun yang melihat
Embusan angin yang sedikit kencang langsung dapat Riga rasakan begitu ia menggeser pintu kaca penghubung balkon malam itu. Ketika ia datang, tiga kursi di sana sudah diisi tiga anak laki-laki yang kini sibuk dengan ponselnya masing-masing. Di meja di hadapan mereka, terdapat beberapa camilan, stoples kue kering, dan beberapa botol minuman. Jangan salah paham dulu, minuman itu tidak lain adalah kola dan minuman dingin dengan rasa jeruk.Riga menutup kembali pintu kaca tersebut, lalu menghampiri ketiga temannya yang sudah lebih dulu datang. “Sorry, telat,” ucapnya seraya menarik kursi di sebelah Pandu yang sedang meminum kolanya.“Santai aja, mereka juga baru datang,” Dana menyahut sambil melirik sekilas pada tamunya yang baru datang. “Tunggu bentar lagi, ya, Ri? Ini dikit lagi selesai kok. Lo nyantai aja dulu atau makan-makan camilan gitu.”“Riga mana mau lo suruh nyantai? Paling juga dia malah buk—Tuh, kan baru aja gue mau bilang, dia udah ambil buku duluan,” sahut Sakti. Yang dibicar
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,