Sejak selesai pertandingan hingga sampai di rumah, Aruna terus mendiamkan Anggasta dan berusaha menghindarinya. Setiap Anggasta mengajaknya bicara ia hanya menjawab seadanya dan singkat, setiap Anggasta berusaha menyentuhnya ia akan menghindar dengan seribu alasan. Anggasta mendengus kesal, tanpa basa basi ia langsung menggendong Aruna ke atas tempat tidur dan menguncinya agar tidak bisa kabur. "Mas awas, aku mau ke toilet." Aruna mendorong tubuh Anggasta menjauh, tapi bukannya menjauh tubuh Anggasta justru malah semakin mendekatinya."Mau apa ke toilet? nongkrong sambil liatin tulisan di botol shampoo? kamu udah tiga kali ke toilet loh," Aruna menghela nafas pelan, memang sudah tidak ada lagi alasannya untuk menghindar dari Anggasta. "Kenapa kamu diemin aku?" "Aku gak diemin mas kok, perasaan mas aja kali." sahut Aruna ketus. "Bohong," "Kalau aku emang lagi diemin mas, mas mau apa? ikut diemin aku?" "Enggak, aku cuma mau tau apa alasan kamu ngediemin aku kayak gini?" "Aku seb
"Mas, aku masih gak nyangka loh kalau Alana udah meninggal." Ucap Aruna, tatapannya lurus ke depan seolah-olah sedang menggali memorinya saat masih ada Alana di kehidupannya kemarin. Anggasta hanya diam dan tidak menjawab ucapan Aruna, sebenarnya sejak kemarin malam Anggasta ingin menumpahkan kesedihannya tapi ia tidak mau melukai hati Aruna karena menangisi perempuan lain. Sesampainya di rumah, Anggasta terlihat lesu dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah kucuran air shower Anggasta menumpahkan tangisnya tanpa suara, mengingat memori indah dan perasaan miliknya untuk Alana. Sekalipun Alana pernah mengecewakan dan menipu dirinya, tetap saja sisi itu masih ada di hati Anggasta untuknya yang ia sembunyikan dari Aruna. Anggasta menyukai Alana sejak ia masih berusia belasan tahun, sulit baginya untuk melupakan Alana sepenuhnya. Meskipun Anggasta sudah sangat mencintai Aruna, tapi sisi untuk Alana tetap ada di sudut hatinya sampai kapanpun karena Alana adalah
Di pagi hari, Aruna bangun terlebih dulu dan membuatkan beberapa sarapan untuk Anggasta. Setelah berpikir semalaman Aruna akhirnya memilih untuk mengalah saja, Aruna akan membiarkan perasaan itu tetap berada di hati Anggasta karena biar bagaimanapun cinta memang tidak bisa dipaksakan.Aruna merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya saat memasak, juga rasa pusing dan mual yang datang secara bersamaan tiap beberapa menit sekali tapi Aruna tahan itu semua sampai selesai memasak. Karena Aruna tidak bisa menahannya lagi, akhirnya mbok Jum yang menghandle sisanya sedangkan ia hanya bisa duduk dan memperhatikan dari meja makan. Pukul tujuh tepat, Anggasta keluar dari kamar dan duduk di meja makan tanpa menegur Aruna. Mata dan tangannya sibuk pada ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan tapi itu membuat Aruna terganggu karena Aruna merasa tidak di anggap keberadaannya disini. "Mas, jangan main ponsel kalau lagi sarapan." tegur Aruna. Anggasta mengehela nafas pelan dan meletakkan ponse
Malam sudah mulai menjelang larut, namun saat Anggasta sampai di rumah keadaan rumah masih gelap gulita tanpa ada satupun lampu yang menyala. Saat Anggasta hendak membuka pintu pagar, tiba-tiba seorang tetangga datang menghampirinya dengan tergesa-gesa. "Mas! mas Anggasta!" panggilnya dengan setengah berlari. "Pak Bandi? kenapa pak?" "Mas, mbak Aruna masuk rumah sakit. Tadi mbok Jum nitip pesan buat ngabarin mas kalau mas sudah pulang," ucapnya. Setelah mendengar kabar Aruna masuk rumah sakit, Anggasta segera pergi ke tempat Aruna di rawat yaitu RS Harapan. Sejak seharian ini Anggasta memang tidak menjawab panggilannya sama sekali, Anggasta larut dalam kesedihannya sendiri dan mengabaikan semuanya. Anggasta berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit sampai akhirnya ia menemukan kamar tempat Aruna di rawat, namun saat sampai di sana ia malah melihat pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya. Raja ada di sana, menunggui Aruna yang tengah tertidur pulas dengan selang infus
Saat Rajasa kembali ke kamar, semua pasang mata langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya terutama Aruna. Mereka semua mendengar ucapan Rajasa dan Anggasta di telepon karena Rajasa kelepasan membentak Anggasta, sekarang Rajasa cuma bisa mematung dengan wajah pucat karena bingung harus bagaimana menjelaskannya kepada Aruna. "Mas Anggasta ke Kalimantan yah?" tanya Aruna.Rajasa mengangguk pelan, "Iya Aruna," "Untuk apa?" "Anggasta bilang, dia mau menuntut keadilan atas kematian Alana yang tidak wajar." jawab Rajasa apa adanya. Aruna tertunduk sedih, ia kini tengah sakit dan dokter memberitahukan kalau kehamilannya ini cukup lemah karena stress dan kelelahan yang di deritanya. Tapi Anggasta tetap lebih mementingkan urusan kematian Alana, apa kematian Alana membuat Anggasta begitu terpukul hatinya sampai ia lupa kalau ada perempuan yang masih membutuhkan perhatiannya. Aruna hanya bisa pasrah, ia membaringkan tubuh dan memunggungi semua orang yang ada di kamar rawatnya. "Ayah, lebi
Aruna keluar dari kamar dengan mata sembab dan menghitam karena tidak tidur semalaman, langkahnya lunglai seakan tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun. Kastara yang sedang bermain game di dekat balkon sampai terkejut saat melihat penampilannya, kakak iparnya yang biasanya selalu terlihat cantik kini tampil menyeramkan seperti makhluk dari alam lain apalagi Aruna juga mengenakan dress tidur panjang berwarna putih satin. "Kak, kaget aku!" ucapnya seraya mengelus pelan dada bidangnya."Loh Kastara, kamu gak ke Yvaine?" tanyanya, lalu ikut duduk di sebelah Kastara menikmati pemandangan pagi hari dari lantai dua."Enggak, siang nanti aku harus terapi lagi buat mulihin ingatan aku. ngomong-ngomong mata kakak kenapa sembab gitu?" "Gak apa-apa kok, cuma gak bisa tidur aja semalam." Aruna malas menjelaskan penyebab mata sembabnya ini ke Kastara, toh kastara juga tidak ingat apapun kalau Aruna menceritakan masalahnya."Turun yuk kak, kita sarapan bareng." ajaknya, lalu memasukkan pon
"Telepon dari siapa Ngga?" tanya Handoyo yang baru kembali dari toilet."Dari Aruna pak," "Dia nyuruh kamu pulang?" Anggasta menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. "Kalau kamu mau pulang, pulang aja Ngga. Kasus ini gak akan selesai dalam waktu cepat, biar saya saja yang mengurus semuanya." "Tapi pak, saya ingin Bastian dan keluarganya mendapatkan balasan atas perbuatan mereka pak." Handoyo merangkul bahu Anggasta dan menepuknya pelan, "Iya saya paham Anggasta, tapi Aruna juga butuh kamu. Lagipula disini ada Bima yang membantu saya, pulanglah Anggasta. Jangan buat saya jadi merasa bersalah sama istri kamu,""Baik pak, saya akan pulang besok pagi." Anggasta kembali melanjutkan makan siangnya yang tertunda dan mungkin memang lebih baik ia pulang saja besok, biar bagaimanapun Aruna juga membutuhkannya apalagi kemarin ia meninggalkan Aruna dalam keadaan di rawat di rumah sakit. *****Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, mereka akhirnya sampai di kediaman Takahiro tepat puk
Anggasta menjejakkan kakinya di loby bandara setelah sekembalinya ia dari Kalimantan, ia sengaja tidak memberitahukan kepulangannya kepada Aruna karena ia ingin membuat surprise untuknya. Sebelum sampai di rumah ia mampir dulu ke rumah Alana untuk mengambil motornya yang ia titipkan disana, lalu pergi ke toko kue untuk membeli sepotong cake strawberry. Tidak hanya kue, Anggasta juga membeli sebuah buket bunga untuk Aruna sebagai permintaan maafnya. Anggasta masuk ke dalam rumah secara mengendap-endap untuk mengejutkan istri tercintanya, ia yakin sekali Aruna ada di rumah karena mobilnya masih terparkir rapih di carport. Anggasta membuka pintu kamarnya perlahan, namun ternyata kamar itu kosong dan rapih. Anggasta mencari lagi ke setiap ruangan yang ada di rumah ini, tapi yang ia temukan hanyalah mbok Jum yang sedang merawat bunga kesayangan Aruna di halaman belakang. "Mbok Jum," panggil Anggasta, Mbok Jum terkejut setengah mati karena Anggasta tiba-tiba ada di hadapannya. "Den, kapa
Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan
Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski
Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe
Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k
"Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter
Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak
"Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena
Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-
Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan