"Don't you love me anymore?" "I don't have time for this." .-.-.-.-.-. There are some words a woman will never be prepared for, and Kaitlyn discovers just how true that is. Engaged to her childhood sweetheart, Kaitlyn had it all. A cushy job, a beautiful home, and the love of her life. So life should have been sweet... shouldn't it? Kaitlyn is going to discover that you can only lie to yourself for so long. When Randy chooses to house a roommate, Jackson may be just what she needs to unlock the secrets in her 'happy' home. Bold, flirtatious, and handsome. He's nothing like her future husband. But which one does she need? Dive into a tale of love, betrayal, secrets, and growth. After all, when life changes, so do you.
View More"Aku tidak melakukannya," ucap seorang wanita bernama Ivy dengan rambut panjang yang terurai, sambil menangis. Penampilannya terlihat menyedihkan dengan pakaian yang sudah tercemar oleh darah. Wajahnya dipenuhi luka lebam, sementara tubuhnya dipegang oleh beberapa prajurit.
"Percayalah padaku, bagaimana mungkin kau berkata begitu, sedangkan ada yang melihatnya. Kau membunuhnya!" teriak seorang pria dengan penuh amarah di hadapannya.
"Kau harus mempercayai aku, aku tidak mungkin melakukannya!"
"Jangan berbohong Ivy, aku tahu betul bahwa kau tidak menyukai Maria dan sudah berusaha untuk membunuhnya sejak dahulu," ucap pria itu dengan nada tegas.
"A-aku..." ucap Ivy terbata-bata. Dengan tatapan tajam dari pria itu, beberapa prajurit yang memegangi tubuh Ivy membawanya ke lapangan. Di tengah lapangan terdapat panggung kecil yang digunakan sebagai tempat untuk menghukum semua pelaku kejahatan dengan menggunakan guillotine.
Guillotine merupakan sebuah alat untuk memancung seseorang yang dieksekusi hukuman mati dengan cepat dan manusiawi. Seseorang yang mendapatkannya akan tengkurap dan lehernya berada di antara dua balok kayu, di tengahnya terdapat lubang untuk menjatuhkan pisau tajam dari ketinggian tujuh meter.
Pemenggalan kepala tersebut akan berlangsung beberapa detik saja. Meskipun begitu, semua orang akan menonton pertunjukannya, seolah-olah hal itu adalah tontonan yang menyenangkan.
"Lepaskan aku! Aku bisa saja membunuh kalian!" teriak Ivy berusaha melepaskan diri. Namun, tetap tidak bisa. Dia begitu lemah sekarang. Untuk berdiri saja harus ditopang oleh orang lain.
Ivy berusaha menggunakan kekuatannya kembali. Dia terus berusaha membaca mantra dan mengeluarkan tenaga dalam. Hingga akhirnya, dia sadar sesuatu, ia tidak bisa mengeluarkan kekuatannya lagi.
"Apa yang kau lakukan padaku, Marius!" Ivy mengamuk, masih mencoba mengeluarkan kekuatannya.
“Aku hanya berusaha membuatmu tak menjadi gila, Ivy. Aku sudah menyegel kekuatanmu, jadi kau tak bisa menggunakannya lagi," ucap Marius.
Marius menatap Ivy datar. Tidak ada lagi tatapan memuja seperti dulu. Sekarang, hanya ada tatapan kebencian yang ia dapatkan.
"Kau harus mendapatkan hukuman yang setimpal, Ivy," ucap Marius.
"Tidak! Aku tidak bersalah, Marius! Bukan aku yang membunuhnya!" Ivy masih tetap tak ingin mengakuinya.
Marius tak menjawab, ia malah mendekati Ivy yang sudah tengkurap.
"Kau membuatku kecewa, Ivy. Aku tidak percaya jika kau bisa melakukan hal sekeji ini," ucap Marius.
"Kau harus percaya jika aku tak melakukannya, Marius, percayalah." Ivy memohon dengan air mata mengalir di pipinya.
"Bagaimana bisa aku percaya jika melihatmu melakukannya sendiri di depan mataku, katakan, Ivy, katakan bagaimana caranya!" Marius menarik rambut Ivy hingga dia harus mendongak.
"Sa-sakit," rintih Ivy.
"Aku ingin kau jujur dan mengaku, Ivy. Dengan begitu, aku akan mempertimbangkan hukumanmu sekarang." Marius menatap dalam-dalam mata Ivy.
Ivy hanya menggeleng. Dia tidak ingin mengakui kesalahan itu sampai kapan pun.
“Aku tidak bisa mengakui apa pun yang bukan kesalahanku," desis Ivy.
"Maaf, ini semua salahku. Kalau saja aku tak dekat denganmu saat itu - mungkin semua ini tidak akan terjadi." Marius menyentuh pipi wanita yang pernah ada dalam hatinya.
"Hahahaha. Cih. Aku tidak akan pernah mengakuinya, Marius."
Tiba-tiba saja wajah sedih Ivy berubah menjadi menyeramkan. Lebih menyerupai seorang pembunuh. Bahkan dengan beraninya, ia meludahi wajah sang raja.
"Sialan kau, Ivy!" geram Marius, sambil menambah cengkeraman di kepala wanita itu.
Ivy tetap menyeringai, meskipun kepalanya semakin terasa sakit. Bahkan dengan santainya, dia menatap sang raja.
Semua yang menonton merasakan hawa jahat dari sikap Ivy. Tiba-tiba saja, angin besar datang menghampiri tempat itu. Semua orang yang tadinya menonton, kini berlari menuju tempat aman. Mereka takut jika Ivy membalas dendam pada semuanya.
"Aku akan selalu ada di dekatmu sampai kapan pun, Marius. Camkan itu!"
Ivy seperti orang gila. Dia mengamuk ingin melepaskan diri. Tertawa dan menangis tersedu-sedu lalu tertawa kembali. Namun, para prajurit dengan kuat memegang tubuhnya. Sedangkan Marius berbalik arah dan kembali ke tempat semula. Dia menatap wanita itu dengan tatapan tanpa rasa kasihan. Dia merasa telah dihina di depan rakyatnya.
Sementara itu, Ivy mulai menangis dalam diam. Tatapannya sendu dan berharap jika Marius bisa menghentikan hukuman. Namun, itu sia-sia, Marius tetap pada pendiriannya.
"Pancung ia!" perintah Marius dingin dengan tatapan tajam.
Blash. Suara pisau jatuh dari ketinggian tujuh meter berbunyi bersamaan dengan seorang algojo yang melepaskan tali. Tali itu terhubung dengan pisau tajam. Kepala Ivy terlepas begitu saja dari lehernya. Darah mengalir deras di bekas potongan lehernya.
Semua orang terkejut melihat apa yang terjadi sekarang. Bukan karena pemancungan tersebut, melainkan kepala Ivy yang terus menggelinding menuju raja mereka dan berhenti tepat di kaki Marius.
Saat itu juga, angin semakin kencang. Langit menjadi gelap. Tiba-tiba saja mata Ivy terbuka dan wajahnya mengeluarkan senyuman menakutkan. Kepalanya melayang-layang. Dia menatap satu persatu orang-orang di sana. Semua orang merasakan rasa ngeri mendalam.
"Kalian tidak akan bisa membunuhku, hahahaha..." Ivy tertawa menyeramkan.
Suara tawa itu terdengar sampai ke sudut lapangan bersamaan dengan kepala yang memutari tempat tersebut. Siapa saja yang berada di dekat istana akan mendengarnya dan merinding seketika.
"Ingat, aku akan datang kembali padamu!" ancam Ivy sebelum tubuh dan kepalanya berubah menjadi abu.
Marius terdiam dan rakyatnya mulai berbisik-bisik. Ada yang takut jika omongan wanita penyihir tersebut benar, ada juga yang cuek seakan-akan itu hanyalah omong kosong belaka.
Sedangkan wanita yang dibicarakan menghilang begitu saja bersamaan dengan abunya yang tertiup angin. Entah kemana dirinya dibawa. Hingga ia sadar jika sekarang berada di gendongan seseorang. Seorang pria yang tak bisa ia lihat. Wajah pria itu sedikit silau karena membelakangi cahaya matahari.
"Kau siapa?" tanya Ivy lemah.
Namun, bukannya menjawab, pria itu hanya tersenyum lalu kembali melihat ke arah depan. Sedangkan Ivy tak terlalu memperdulikannya.
Satu yang ia tahu. Sekarang mereka sedang berada di sebuah hutan. Dia bisa merasakan aroma akar dan pohon yang mereka lewati. Lambat laun, matanya semakin berat. Tubuhnya terlalu lelah hingga rasanya ingin tertidur di pangkuan pria itu.Terakhir, sebelum ia tertidur lelap, pria yang tak diketahui namanya itu sedang mengelus kepalanya. Pria itu mengatakan sesuatu yang samar-samar terdengar oleh telinga Ivy.
"Aku akan datang dan menjemputmu jika waktunya telah tiba. Selamat tidur dan mimpi indah."
Hanya itu yang tertangkap pendengarannya, selebihnya ia tidak tahu lagi apa yang terjadi. Semuanya ia serahkan pada semesta. Kejadian hari ini membuat dirinya harus benar-benar beristirahat.
Ia juga berjanji akan mencari pria itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya dari kematian.
Ia juga berjanji akan mencari pria itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya dari kematian. Sekarang dia hanya ingin pergi jauh-jauh dari kawasan ini. Tempat yang telah menorehkan luka dalam hatinya. Seseorang yang ia harapkan satu-satunya malah tidak mempercayainya, dan itu tidak akan bisa terlupakan oleh Ivy.
Epligue ( 77 ): It was everything she had ever wanted. Kaitlyn had never known she could be so happy. Kaitlyn breathed in. Her world coming together as she held her chin high.She was dressed to the nines, gliding in time with the music as her mermaid style dress flowed around her. It was white with pink lace, and she still wore the red heart necklace over the open V-Shaped bodice. She felt like a real princess then, the audience gaping at her as her curled red hair spilled from her pink diamond rose clip. Her arm was laced with Joshua, who was prepared to walk her down to the alter. "I'm sorry," he whispered. "I'm sure you wish your father or uncle could've been the one to.." He started, but Kailtyn smiled. Cutting him off. "No, this is perfect. You're exactly who I wanted to be here." Joshua quieted down then. And then, to both of their nerves, the music started. Josh began walking beside her as he tried to hide the flustered crinkle to his eye
Chapter 76:When she finally sat down at home, it was like everything had suddenly caught up to her, snagging her down by her ankles.Tears had fell from her eyes, and she had held onto Jackson, desperately. The harsh images she had seen, the violate relationship brought back unwanted memories.She wondered, if that broken scene she'd witness between Randy and Natalie, had been how Jackson had viewed her and Randy? Was it as heartbreaking to watch?She hadn't asked that though, no matter how much she wanted to. Because as he cuddled her close, and she wrapped herself up in the scent she had come to love, she knew it just didn't matter anymore.And this time? She truly felt that way. It was like the sound of a chapter closing, and all the new pages were just of Jackson. And she couldn't help but be grateful for that.Randy was gone.Natalie was gone.So, too, would Josh. She had no
Chapter 75: "She wasn't happy that I left." "When is she ever happy with you?"Natalie countered with a sigh. They were sitting together in her apartment, her body snuggled close to him. He froze at her words, as if they struck him like a brisk slap. Those delicate fingers twirled around in her hair. "You could give your life for her and she'd still find something to nag you about. It's kind of sad..." Her whispered words were so sweet despite their message. "S-She didn't nag me," Randy defended, trying to understand why Natalie would say something so cruel about his fiance. Randy knew Kaitlyn wasn't like that. She was the most patient woman he knew. She was always putting up with his absences and long work hours without complaint. Her smile always on her face whenever he came through the door. Well... except lately. It felt like every time he came home, there was a fight.
Chapter 74:Lies and truths had melded into one, and he didn't know how to make his way out.He could see the three of them standing there, but it felt blurred and surreal. Like his grip on reality was slipping.Randy had never felt like such a failure before as he stood in nothing but his boxers and t-shirt. It was one Kaitlyn had bought him years ago.He felt dirty and filthy, as he sat beneath their stares. They all knew what he had done.It wasn't supposed to be like this.Natalie was supposed to make him feel better. She was supposed to love him.But right now, he felt so fucking cold.Josh's angry words splattered all over his ears, but he couldn't make sense of any of them. He couldn't make sense of why everyone was so angry, couldn't make sense of why he had gone back to the same woman he swore to never contact again.He glanced at her now, and her blue
Chapter 73:He had seen her cry, so many times.Yet somehow, as she stood in the center of the decaying lawn, looking lonely and tired, watching her eyes swell seemed even more painful. Her red curls were hanging over her shoulders in wild abandon, her lips set in a furious scowl that didn't suit her gentle features.At least, Jackson didn't think they suited her. But then again, Kaitlyn was like his own special brand of sunshine, and she was always smiling with him.So to see her eyes look so cold, it unnerved him. But that coldness faded away when her blue eyes met his.And then, she looked so vulnerable. Standing there with her dirty jeans and cardigan that hung off her shoulder. Her bottom lip had started trembling when she spotted him."Jackson..." She said his name again, and he wasted no time. He hopped the fence, not giving a fuck whose property it was. He crossed the space in no time to pull her i
Chapter 72: Branches scraped her knees, reaching out for her ankles like a warning to stay away. Yet, Kaitlyn didn't listen.She kept walking in the trees that were so large that they blocked out the sun above, her hands coming up to rub her arms. It was eerie, being alone in the woods. But she swallowed up her nerves and pressed forward. Randy's lies were twisting her insides, and she fought hard to hold onto anything that proved her suspicions wrong. She realized that once again that she wanted to believe the best in him. Yet for some reason, those hopes never went far. That hope was dwindling again, when she finally came across an old, worn down house. Kaitlyn faltered as she eyed the odd looking home, feeling out of place as she stepped past the fence. The lawn was torn up, and the abandoned atmosphere made her think twice about entering. Her mind conjured up the worst possibilities. Was Randy in danger? Was th
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments