"Evelyn, biar kuperingatkan sekali lagi. Aku adalah adik kandung Henry. Yang kamu pegang adalah barang peninggalan orang tua kami." Suaraku bergetar, mataku merah. Yang ada di benakku adalah penampilan Ibu saat sakit dan menyeka piala itu dengan tangan bergetar."Pertanyaanku cuma satu, mau berlutut atau nggak?" Evelyn menatapku dengan angkuh.Aku menelan ludah, menahan kesedihan dan amarah dalam hati. Demi Ibu, aku akan berlutut.Wanita penyiar itu mengarahkan kamera ponselnya kepadaku lagi. "Semuanya, lihat, pelakor berlutut. Kalau mau melihatnya menggonggong, like dan follow aku dulu ya.""Guk, guk, guk." Aku menahan rasa hina ini. Aku hanya ingin melindungi barang peninggalan ibuku.Semua orang tergelak. Tiba-tiba, terdengar suara barang pecah. Aku sontak merinding."Maaf, tanganku licin." Lantai dipenuhi pecahan kaca. Evelyn menatapku dengan tatapan menghina, seolah-olah tidak takut sedikit pun padaku.Saat ini, aku merasa amarah telah membakar hatiku. Aku berlari ke depan dan men
Baca selengkapnya