Beranda / Pernikahan / Ratu Pinjol / Bab 41 - Bab 50

Semua Bab Ratu Pinjol: Bab 41 - Bab 50

71 Bab

Bab.41: Ujian Belum Berakhir

"Iya, Kak. Mas Dito sudah meninggal dunia ...." jawabku lirih.Kak Disti terlihat sedikit terkejut, tetapi dia kembali terlihat biasa saja. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa iba atau empati atas musibah yang menimpaku."Ya terus, kalau si Dito meninggal dunia kenapa? Memang udah takdirnya kali. Jangan bilang kamu kesini mau minta tolong padaku!" sinis Kak Disti."Iya, aku mau minta bantuan Kak Disti. Tolong izinkan aku dan anak-anak tinggal disini untuk sementara waktu, karena kami sudah tidak mempunyai tempat tinggal. Aku akan mencoba mencari pekerjaan di dekat sini, Mbak!" jawabku lirih.Hatiku berdebar menantikan jawaban dari kak Disti. Apakah dia akan terenyuh dengan nasibku atau kah malah sebaliknya?"Tidak bisa. Mas Rudi pasti tidak akan mengizinkan orang lain tinggal di rumahnya, karena ini rumah Mas Rudi bukan rumahku!" ucap Kak Disti tegas."Aku kan bukan orang lain. Aku adikmu satu-satunya, Kak. Aku yakin Mas Rudi pasti mengizinkan. Kalau perlu, aku yang akan meminta izin l
Baca selengkapnya

Bab.42: Kehilangan Untuk yang Kedua Kalinya

"Perkenalkan, saya Khodijah. Panggil saja Ibu Khodijah," ucap wanita berjilbab itu sembari mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya.Aku membalas uluran tangannya dan juga memperkenalkan diri."Saya Dinar, Bu," ucapku singkat."Kalau boleh tahu, tujuan Mbak Dinar mau kemana? Kok bisa sampai hujan-hujanan begini?" Bu Khodijah bertanya seraya menatap wajahku dengan tatapan yang menyejukan.Entah kenapa, walaupun baru pertama kali bertemu dengannya, aku menemukan sosok ibu di dalam dirinya."Saya tidak punya tujuan Bu, karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal, " jawabku seraya menundukkan wajah."Ya Allah ... pantas saja kalian sampai hujan-hujanan seperti ini. Kamu yang sabar ya Mbak, ini semua ujian dari Allah," ucap Bu Khodijah kembali memberikanku nasihatnya.Aku hanya menggangguk, seraya tidak hentinya memandangi pintu ruang IGD yang tidak kunjung terbuka. Hati rasanya tidak karuan. Aku benar-benar di landa kecemasan tingkat tinggi. Bagaimana kalau sampai Dita tidak bangun lagi?
Baca selengkapnya

Bab.43: Putus Asa

Bu Khodijah memeluk tubuh dari samping dan memapahku menuju kamar pemulasaran. Sementara Dani, menggenggam tangan kiriku dengan erat.Jantungku terasa turun naik seperti roler coaster. Kemarin saat kepergian Mas Dito, aku tidak sempat melihat untuk yang terakhir kalinya karena tidak kuat menerima kenyataan sehingga tidak sadarkan diri hingga kembali ke rumah.Namun untuk saat ini, aku tidak mau melewatkan saat terakhir untuk melihat putri kesayangan yang sudah tutup usia, tepat dihari ulang tahunnya yang kedua.Masih melekat dalam ingatan, ketika kami sekeluarga merayakan hari jadi Dita yang pertama. Bukan memotong cake lezat seperti pada umumnya, tetapi kami merayakannya dengan memotong singkong rebus yang dihiasi sebatang lilin yang aku beli di warung Bu Leli. Dita begitu bahagia merayakan hari jadinya walaupun dengan sangat sederhana.Tingkahnya begitu lucu, ketika dia berjalan dengan tertatih menuruti perintah Dani yang memintanya menyuapkan singkong rebus kepadaku dan juga Mas Di
Baca selengkapnya

Bab.44: Bangkit dari Keterpurukan

Akhirnya aku tiba di ruang dapur Bu Ustadzah yang berukuran cukup luas. Mataku berpendar mencari akses untuk melancarkan aksi. Mataku tertuju pada kusen pintu penyekat antara ruang keluarga dan ruang dapur. Aku berusaha mencari tangga, kursi atau yang lainnya untuk mencapai ventilasi udara di atas kusen pintu yang nantinya akan diikatkan kain panjang untuk menjerat leher.Setelah mencari, akhirnya aku menemukan sebuah kursi plastik yang teronggok di ujung dapur. Tanpa membuang waktu, aku segera menaiki kursi plastik dan mengikatkan kain panjang di ventilasi udara. Walaupun sedikit kesusahan karena letak ventilasi tingginya melebihi tubuhku, tetapi akhirnya bisa mengikatkan kain panjang itu dengan kuat. Kini hanya tinggal selangkah lagi untukku mengakhiri semua penderitaan di dunia. Meninggalkan semua duka dan kesedihan yang menghujam seperti pisau belati yang menembus jantungku.Saat aku ingin mengikat leher dengan kain panjang yang sudah terikat di ventilasi, terdengar sebuah teriaka
Baca selengkapnya

Bab.45: Dibalik Kesulitan ada Kemudahan

Ternyata nominal yang aku terima sangat besar, yaitu sepuluh juta rupiah.Maasya Allah ... Aku berucap syukur kepada Allah yang telah memberikan rezeqi dengan jalan yang tidak disangka-sangka, karena tujuan awal menulis adalah untuk mengisi waktu luang dengan menyalurkan hoby menulis. Aku sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapatkan sambutan yang begitu hangat dari para pembaca dan hingga dari hoby ini bisa menghasilkan uang. Aku menjadi semakin bersemangat untuk terus menulis dan terus belajar di dunia literasi agar bisa menghasilkan karya yang bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi para pembaca.Sebagai wujud syukur atas rezeqi yang telah Allah berikan, aku menginfakkan sebagian gaji pertama kepada orang yang membutuhkan. Aku menitipkan infak gaji kepada Bu Ustadzah."Alhamdulillah, Mbak Dinar adalah calon penulis hebat. Baru belajar menulis saja pendapatannya sudah lumayan. Apalagi kalau Mbak Dinar fokus dan lebih banyak belajar lagi di dunia literasi, saya yakin kelak ak
Baca selengkapnya

Bab.46: Bertemu Sahabat

"Mbak Sherli?" pekikku, kepada wanita yang pernah berjasa dalam hidup.Mbak Sherli menoleh, dia tampak terkejut melihatku."Mbak Dinar!" Mbak Sherli berteriak memanggil namaku. Sontak dia berlari ke arahku."Mbak Dinar apa kabar? Habis ziarah ya? Memang siapa yang meninggal, Mbak?" tanya Mbak Sherli dengan wajah heran."Alhamdulillah, kabar saya baik-baik saja Mbak Sherli. Saya habis ziarah ke makam Mas Dito," jawabku lirih.Mbak Sherli terkejut, dua manik matanya seketika membelalak."Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Ya Allah, kapan Mas Dito meninggal, Mbak? Maaf saya tidak datang untuk melayat, karena tidak tahu," ucap Mbak Sherli dengan raut wajah sedih."Mas Dito berpulang beberapa bulan yang lalu, lalu beberapa minggu kemudian disusul Dita juga. Rencananya setelah berziarah disini, saya akan langsung ke makamnya Dita," timpalku lagi, semakin membuat Mbak Sherli terkejut dan tanpa sadar membuat mulutnya menganga cukup lebar."Astagfirullah. Sebenarnya apa yang terjadi Mbak Dinar?
Baca selengkapnya

Bab.47: Sebuah Keajaiban

Taxi online yang kami naiki berhenti di depan pemakaman Dita. Langkahku sedikit terasa berat. Rasa sedih menyergapku secara tiba-tiba. Dani menatap wajah, dia terlihat heran karena aku menghentikan langkah."Ibu kenapa berhenti? Ibu sakit?" tanya Dani dengan wajah polosnya.Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan berulang-ulang, hingga merasa sedikit tenang. Dani menggenggam tanganku dengan erat dan menatap wajah. Sekarang wajahnya terlihat khawatir."Ibu tidak sakit Nak, cuma sedikit pusing aja tetapi sekarang sudah hilang. Ayo Kita masuk," aku berkata seraya kembali melangkah memasuki area pemakaman.Pusara Dita terletak di pojokan area pemakaman, tepatnya dibawah pohon bambu yang rindang. Kami tiba di pusara Dita yang terlihat sudah ditumbuhi rumput liar. Aku mencabuti bakal rumput yang akan tumbuh besar itu satu persatu. Mengumpulkannya menjadi satu, agar tidak di buang ke sembarang tempat. Dani mengikutiku mencabuti rumput liar yang tumbuh cukup subur.
Baca selengkapnya

Bab.48: Kedatangan Tamu

"Ibu, Dani minggu depan ada acara jalan-jalan ke Taman Safari dari Sekolah, Dani boleh ikut ya Bu?" tanya Dani, di suatu siang sepulangnya dari sekolah.Dani anak yang mandiri, dia tidak mau di antar jemput seperti teman-teman lainnya. Aku hanya mengantar jemputnya selama satu minggu saja, pada saat awal dia masuk sekolah. "Iya boleh. Orangtuanya harus ikut juga gak, Dan?" tanyaku penasaran. Biasanya jika ada acara wisata dari sekolah, orang tua diwajibkan untuk ikut."Wajib ikut, Bu. Ini ada surat pemberitahuannya dari sekolah," jawab Dani seraya menyerahkan selembar kertas dari tangannya.Aku membaca surat pemberitahuan itu, sementara Dani masih berdiri mematung menatap yang sedang serius membaca surat pemberitahuan pemberiannya."Bagaimana Bu? Dani boleh ikut kan?" tanya Dani dengan wajah penuh harap."Iya boleh," jawabku singkat."Hore ... asyik, Dani mau jalan-jalan ke Taman Safari sama Ibu. Terimakasih ya, Bu!!" Dani bersorak kegirangan, dengan spontan dia memelukku dengan era
Baca selengkapnya

Bab.49: Bertemu Security

"Maksud saya bagaimana sikap Saiful, apakah dia sopan atau jelalatan seperti kebanyakan lelaki," Bu Ustadzah menjelaskan maksud dari pertanyaannya seraya tersenyum kepadaku.Aku sebenarnya kurang paham kenapa Bu Ustadzah bertanya seperti itu. Apa beliau takut keponakannya bersikap tidak baik kepadaku?"Sikap Mas Saiful biasa saja Bu Ustadzah. Dia hanya menanyakan Bu Ustadzah dan bertanya siapa saya, setelah itu dia pergi," jawabku polos.Bu Ustadzah tiba-tiba terkekeh sendiri."Sudah, itu saja? Tidak ada yang lain?" tanya Bu Ustadzah lagi."Tidak ada," jawabku singkat."Ehhmm .. kalau menurut Mbak Dinar, wajah Syaiful bagaimana? Tampan kan?" Bu Ustadzah memberikan pertanyaan yang membuatku malu sendiri.Aku tidak melihat wajah Mas Syaiful dengan jelas, karena selama pembicaraan menunduk. Namun aku tidak memungkiri kala pertama kali melihatnya saat membukakan pintu untuknya. Aku sempat melihat wajahnya yang tampan."Emmh ... anu Bu Ustadzah saya tidak begitu memperhatikan. Selama pembi
Baca selengkapnya

Bab.50: Hukum Tabur Tuai

Aku segera menepikan motor dan berusaha mencegat security itu. Dia menghentikan langkah dan menatapku. Mungkin dia mencoba mengingat siapa aku, tetapi sepertinya dia lupa."Maaf, Bapak bukannya security yang bekerja di rumah Kak Disti?" tanyaku ragu-ragu.Dalam hati sebenarnya aku takut salah orang, karena kalau sampai salah pastinya akan membuat malu setengah mati."I-iya. Saya mantan securitynya Bu Disti. Maaf, Mbak siapa ya?" tanya security itu menatapku bingung.Sepertinya dia memang lupa denganku. Terbukti dia memanggilku dengan sebutan Mbak, tidak seperti sebelumnya ketika berkunjung ke rumah jak Disti dia memanggil dengan sebutan Ibu."Pak, saya Dinar Adiknya Kak Disti. Memang Bapak sudah tidak bekerja lagi sama Kak Disti?" tanyaku penasaran. "Ooh, Mbak Adiknya Bu Disti yang pernah datang bersama anak Mbak, lalu turun hujan besar?" security itu mulai mengingatku.Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat tidak nyaman."Mbak terlihat berbeda sekali. Lebih cant
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status