Semua Bab Bara Dendam di Perbatasan: Bab 171 - Bab 180

195 Bab

Bab 171

Malam semakin merangkak, tetapi suasana di balairung istana Jenggala masih hangat dengan perbincangan penting. Sri Prabu Girindra, duduk di singgasana dengan sikap penuh wibawa, menatap Seta yang berdiri di hadapannya.Ki Sajiwa dan Ki Baswara berdiri sedikit di belakang Seta, sementara Dyah Daru berdiri di sisi lain ruangan dengan wajah penuh kewaspadaan.Sri Prabu menghela napas sebelum mulai berbicara. “Seta, seperti aku katakan tadi, ada satu tugas yang sangat penting untukmu. Tugas ini bukan hanya demi kerajaan Jenggala, tetapi juga demi darah dagingku sendiri yang berada di Panjalu.”Seta menundukkan kepala penuh hormat. “Hamba siap, Gusti Prabu. Apapun tugas yang Paduka perintahkan, hamba akan melaksanakannya sebaik mungkin.”Sri Prabu tersenyum tipis, lalu melanjutkan. “Engkau akan pergi ke Panjalu sebagai pengawal pribadi Sasi Kirana, puteriku, dan anaknya—yang juga cucuku, darah dagingku dari Prabu Kamesywara
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

Bab 172

Langkah Dyah Wisesa bergema di koridor purinya, cepat dan berat. Wajahnya penuh ketegangan, pandangannya tajam menyapu setiap sudut ruangan.Begitu sampai di kamar utama, Dyah Wisesa langsung membuka pintu tanpa mengetuk, membuat istrinya, Sasi Murti, tersentak dari duduknya. Perempuan itu tengah menyisir rambut, tetapi gerakannya terhenti melihat sang suami yang tampak sangat gelisah.“Kakang, ada apa?” tanya Sasi Murti dengan nada khawatir.Dyah Wisesa tak menjawab langsung. Ia berjalan mendekati lemari kayu besar di sudut kamar, membuka pintunya, dan mulai mengeluarkan beberapa pakaian. Ia melemparkannya ke atas dipan, lalu berkata tanpa menoleh, “Malam ini juga, kau harus pergi ke Kepanjian.”Sasi Murti berdiri, mendekat ke arah suaminya dengan raut wajah bingung. “Pergi ke Kepanjian? Kenapa? Apa yang sedang terjadi?”“Kau tidak perlu tahu,” jawab Dyah Wisesa dengan nada tegas, hampir memerintah.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

Bab 173

Ki Sajiwa, Ki Baswara, dan Seta mengikuti seorang abdi dalem yang membimbing mereka melewati lorong-lorong istana hingga tiba di sebuah puri megah. Bangunan itu berdiri anggun dengan atap berlapis emas yang berkilauan diterpa cahaya bulan.Lampu-lampu minyak menghias sepanjang beranda, memancarkan suasana keagungan yang tak terbantahkan. Seta memandang sekeliling dengan takjub, sesekali melirik ke arah Ki Sajiwa yang tampak lebih tertarik memeriksa detail ukiran di dinding-dinding puri.“Lihat ini, Seta,” ujar Ki Sajiwa sambil menunjuk relief pada dinding beranda. “Ukiran ini pasti dibuat oleh para empu terbaik Jenggala. Setiap goresannya penuh makna. Ketelitian setiap lekukannya sangat mengagumkan.”Seta mengangguk setuju, meski matanya lebih terpaku pada taman luas di depan puri yang dihiasi kolam teratai dan air mancur.“Tempat ini sungguh indah, Guru. Tak kusangka Sri Prabu memiliki puri seperti ini untuk menjamu tamu.&rd
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

Bab 174

Menjelang dini hari, suasana di jalan menuju timur Kotaraja diselimuti kabut tipis yang melayang rendah, menyelimuti pepohonan di sekitarnya.Rombongan kecil yang terdiri atas seorang utusan Dyah Wisesa dan dua pengawal berkuda bergerak dengan hati-hati. Mereka membawa pesan penting untuk Arya Jatikusuma, yang kabarnya berada di sebuah desa kecil bernama Lulumbang.“Jalan ini terlalu sepi,” gumam salah satu pengawal, matanya terus waspada mengamati sekitar.“Kita harus tetap waspada,” sahut utusan itu. “Surat ini tak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau tahu betapa pentingnya pesan ini bagi Gusti Dyah Wisesa.”Keduanya mengangguk, tapi sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan lebih jauh, bayangan seseorang muncul dari balik kabut. Seorang perempuan tua berpakaian lusuh berdiri di tengah jalan, menghalangi jalan kuda mereka. Langkahnya terhenti.Utusan Dyah Wisesa memberi isyarat untuk berhenti. Ia maj
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-08
Baca selengkapnya

Bab 175

Fajar belum sepenuhnya menyingsing, dan kabut tipis masih menyelimuti perkemahan yang terletak di lembah kecil. Api unggun di tengah perkemahan menyala redup, memancarkan kehangatan yang menjadi pusat berkumpul beberapa prajurit.Sebagian prajurit duduk bersandar dengan mata setengah terpejam, sementara yang lain terlelap di tenda-tenda yang berbaris rapi. Suasana hening hanya dipecahkan oleh sesekali bunyi kayu yang patah terbakar di dalam api unggun.Tiba-tiba, suara derap kuda memecah kesunyian. Seekor kuda berpacu mendekat dari arah barat, menimbulkan debu tipis yang beterbangan di udara.Para prajurit jaga yang sedang terkantuk-kantuk sontak kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka membelalak waspada saat seorang penunggang kuda menerobos masuk ke area perkemahan.“Berhenti! Siapa kau?!” teriak salah satu prajurit, mengangkat tombaknya dengan waspada.Penerobos itu tidak berhenti, melainkan terus maju hingga hampir ke pusat perkemaha
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-08
Baca selengkapnya

Bab 176

Larut malam semakin menipis seiring rona jingga yang merangkak naik di kaki langit timur. Namun pergerakan pasukan Dyah Wisesa tak menunjukkan tanda-tanda akan melambat. Suara derap kaki kuda dan gemerincing pelana memenuhi kesunyian hutan yang gelap, seiring kuda-kuda yang dipacu cepat menuju perbatasan Panjalu.Di bawah langit yang hanya diterangi oleh sinar rembulan tipis, Dyah Wisesa tampak gelisah, matanya sesekali melirik ke belakang seakan khawatir ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan.Di sampingnya, Ki Bekel Samparan, salah seorang perwira menengah yang mendampinginya, memperhatikan setiap gerak-gerik junjungannya. Setelah beberapa saat diam, bekel itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Gusti, sepertinya kita melaju terlalu cepat. Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh perhatian.Dyah Wisesa menghela napas panjang dan mengerutkan keningnya."Keadaan kini sudah tidak memihak kita, Samparan. Aku merasa ada yang me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-08
Baca selengkapnya

Bab 177

Bab: Amarah yang Membakar SenjaDi tengah heningnya malam menjelang fajar, dua pasukan berhadapan di perbatasan Panjalu. Api obor yang berkobar di sepanjang barisan menari-nari seolah menghidupkan bayangan para prajurit yang bersiaga penuh.Di tengah ketegangan itu, dua sosok berpakaian kebangsawanan berdiri berhadapan di antara barisan masing-masing. Dyah Wisesa, dengan sorot mata tajam penuh amarah, menatap Dyah Daru yang berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada.“Daru,” suara Dyah Wisesa menggema, dingin dan tajam. “Kau agaknya sudah melupakan tata krama terhadap kerabat dan juga kedudukan kita di bawah panji Jenggala?”Dyah Daru tersenyum tipis, seolah ejekan tersirat di balik sikapnya yang santai.“Kakanda Wisesa,” katanya lembut tetapi penuh tekanan, “bukan aku yang melupakan tata krama dan sopan santun, tetapi Kakanda sendiri yang telah mencoreng kehormatan Jenggala dengan perbua
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-09
Baca selengkapnya

Bab 178

Jeritan Ki Bekel Samparan menggema di medan pertempuran. Membuat prajurit-prajurit di sekitarnya menoleh, termasuk Dyah Wisesa yang berdiri tidak jauh di belakang.Wajah pangeran Jenggala itu memucat manakala melihat bekel kepercayaannya jatuh terluka. Ia mengepalkan tinju dan menoleh ke arah sekitarnya, seolah berharap melihat seseorang.“Jatikusuma...” gumamnya dengan nada penuh harap. “Di mana kau? Kenapa kau belum sampai juga di sini?”Namun, tentu saja Arya Jatikusuma tidak akan pernah muncul di sana. Dan Dyah Wisesa tahu bahwa sekalipun tangan kanannya itu datang, keadaan mungkin sudah sangat tidak menguntungkan baginya.Dyah Wisesa menghela napas berat. Ia merasakan dinginnya kenyataan bahwa pasukannya tidak akan mampu bertahan lama melawan tekanan pasukan Dyah Daru yang terus maju menyerang dan menekan.Medan pertempuran itu menjadi saksi ketegangan yang semakin memuncak, sementara fajar merekah dengan langit yang pe
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-09
Baca selengkapnya

Bab 179

Mentari pagi mulai menembus celah pepohonan di dekat perbatasan Kotaraja. Arya Jatikusuma, dengan mata yang tajam memandang ke depan, merasa ada sesuatu yang tak beres. Bersama pasukannya yang berjumlah sekitar seratus orang, ia melintasi jalan utama menuju gerbang Kotaraja."Ki Senopati," seorang bekel di sisinya berbisik pelan, "kenapa hamba merasakan suasana di sini terlalu sepi? Biasanya perbatasan Kotaraja ramai oleh para pedagang atau pengelana. Kini yang terdengar hanya kicauan burung dan suara angin."Arya Jatikusuma mengangguk. "Aku juga merasakannya, Ki Bekel. Tetap siaga. Jangan lengah."Ketika mereka mendekati dataran terbuka menjelang gerbang, Arya Jatikusuma menghentikan kudanya secara tiba-tiba. Di kejauhan, ia melihat bayangan sepasukan besar tengah berbaris rapi mengadang tepat di depan gerbang tapal batas Kotaraja."Siapa mereka?" desis bekel tadi yang ikut memerhatikan kejauhan dengan seksama.Arya Jatikusuma tak menanggapi. Namu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-09
Baca selengkapnya

Bab 180

Suara pedang beradu terus menggema di udara. Pasukan Arya Jatikusuma, yang sudah terdesak sejak awal, bertahan mati-matian meskipun jumlah mereka semakin berkurang.Terlihat prajurit-prajurit Arya Jatikusuma yang tersisa berusaha menjaga posisi mereka di jalur sempit yang memanjang di tepian jurang. Pasukan Rakryan Rangga, yang lebih besar dan terorganisir, semakin menekan mereka dengan formasi yang rapi.Teriakan dan denting senjata bercampur menjadi satu, menandai pertarungan yang tak berimbang. Rakryan Rangga, yang memimpin langsung di garis depan, tampak gagah dengan tombak panjangnya yang berkelebat cepat, menjatuhkan prajurit lawan satu demi satu.“Serahkan diri kalian!” seru Rakryan Rangga dengan suara lantang. “Sri Prabu Girindra telah memberi titah untuk mengampuni siapa saja yang menyerah dan meletakkan senjata! Jangan terus melawan atau kematian akan menjadi takdir kalian!”Arya Jatikusuma mendengar seruan itu dari kejau
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-10
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status