Semua Bab Kubuat Mantan Suamiku Menyesal: Bab 41 - Bab 50

239 Bab

Undangan Pernikahan Fattan

“Tolong jangan berlebihan. Kita masing-masing punya batasan yang harus dihormati. Selamat tinggal, Rasyid. Terima kasih!” ujarku menutup pembicaraan. Lalu aku pun bergegas menjauh. Langkahku cepat dan panjang semabri menarik dua tas troli besar yang tidak terlalu berat. Aku meninggalkan Rasyid yang tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Pria itu terlihat obsesif dan ambisius. Sikap yang mambuatku merasa ingin segera menghindar. Tidak sekali pun aku menoleh ke belakang. Aku tahu sepasang mata hazel Rasyid masih mengikuti langkahku sampai menghilang di belakang gate keberangkatan. Setelah pesawat lepas landas, aku bahkan mulai melupakan Rasyid. Selain ketampanannya, tidak ada hal yang aku sukai dari pria muda itu. Dia bahkan membuatku sesekali merasa terintimidasi. Pikiranku melayang ke Indonesia untuk bisa segera menemui Anaya. Gadis kecilku itu tidak pernah terlihat sedih saat kami melakukan video call. Marissa dan Mbak Pia menjaganya dengan sangat baik. Dia adalah gadis yang ta
Baca selengkapnya

Menerima Surat Cerai

“Waktunya untuk berhenti berlari, Adina. Cukuplah sudah lelahmu karena bertahan dalam kondisi yang tidak selayaknya kau dapatkan.” “Tapi, Aslan. Aku tidak tahu apakah aku sekuat itu untuk menghadapi merek berdua di pelaminan. Ini terlalu cepat.” Aslan menghentikan mobilnya di tempat parkir yang berbentuk sebuah lift di basement bangunan apartment. Lift itu membawa kami dan mobil yang kami kendarai langsung menuju ke lantai delapan puluh. Sehingga Aslan tidak perlu mengemudikan mobilnya dengan susah payah dan aku juga tidak perlu keluar dari mobil. Sebuah fasilitas luar biasa dari apartement yang sangat mewah. Lagi pula sebagai penghuni penthouse, Aslan pasti mendapatkan fasilitas VVIP. Lift berhenti dan pintu terbuka. Kami ternyata sudah berada di dalam ruangan penthouse yang mewah. Saat aku melangkah keluar pintu mobil. Hanya sebuah pintu kaca yang membatasi tempat parkir itu dan ruang tamu. Design penthouse yang sangat bagus dan mewah. Dindingnya berwarna putih, interiornya didom
Baca selengkapnya

Menuju Balas Dendam

“Tetaplah di sampingku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu.” Aslan mengatakan sebaris kalimat yang terdengar bagai mantra sakti di kepalaku. “Kita tidak punya hubungan apa pun. Kau tidak punya kewajiban untuk menjagaku.” “Itu adalah janji hatiku, Adina. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Janji yang tidak pernah berhasil aku wujudkan. Sekarang mungkin Sang Pencipta berbaik hati memberikan aku kesempatan lagi.” Kata-kata Aslan terus terngiang di telingaku. Itu seperti perisai yang membuatku yakin untuk menghadapi apa pun. Aku tahu, dalam kondisiku yang sedag terpuruk saat ini, seseorang selalu siap menangkap kapan pun aku jatuh. Tidak banyak orang yang mau berada di dekat seseorang ketika dia dalam kondisi sulit. Bahkan dengan alasan cinta sekali pun. Tiga hari kemudian, aku dan Aslan benar-benar menghadiri undangan pesta pernikahan Fattan dan Kalila. Pesta itu diselenggarakan di sebuah hotel yang sangat mewah di selatan kota Jakarta. Hotel bintang lima dan dih
Baca selengkapnya

Kejutan Untuk Hisyam

“Tuan Aslan Abadurrahman! Apakah wanita ini kekasih baru anda?” “Kenapa anda datang bersamaan?” “Apakah kalian sedang berkencan?” “Kalian berencana untuk menikah?” Rentetan pertanyaan wartawan segera muncul ketika aku dan Aslan menginjak karpet biru yang menjadi jalan utama menuju ke ruang pesta. Mereka bisa berteriak dari jarak kurang lebih empat meter di sisi kanan dan kiri karpet. Tempat wartawan itu berdiri dan jalan menuju ruang pesta dibatasi oleh sebuah rantai besi dan penjagaan ketat pasukan keamanan gedung. Pesta itu rupanya sudah dirancang untuk show case para pejabat, artis dan pengusaha kondang. Wartawan yang berbaris di sisi karpet bisa melihat dan mengambil gambar, tapi mereka tidak bisa mendekat. Sehingga setiap tamu yang hadir bisa merasa nyaman sambil tetap menebarkan pesona mereka tentunya. Itu juga yang terjadi padaku dan Aslan. Ketika pertanyaan wartawan itu memberondong, Aslan tetap tenang. Dia justru menoleh padaku dan memastikan aku baik-baik saja. Bagiku y
Baca selengkapnya

Kepanikan Hisyam

“Tentu Aslan, itu yang paling utama. Memberikan ucapan selamat pada kedua pasangan yang berbahagia,” jawabku sambil tersenyum sadis melihat ke arah panggung. Kami berjalan meninggalkan Hisyam yang ternganga. Dia pasti tidak menduga bahwa aku memiliki kedekatan dengan Aslan. Bahkan aku hanya memanggil namanya saja saat berbicara. Sementara aku meminta Hisyam memanggilku dengan gelar kehormatan. Dia tampak panik karena tidak bisa memberitahu semua orang yang berada di pelaminan untuk bersiap denga kedatangan kami. Seorang kolega lain keburu datang mengajak Hisyam berbincang. Dia menanggapi kolega itu seadanya sementara tatapannya terus mengikuti aku dan Aslan. “Kenapa Fattan meninggalkan wanita itu? Dia sangat cantik.” “Jadi itu pemilik El Khairi Company yang sebenarnya. Lalu Fattan hanya pekerja?” “Sungguh tidak sebanding istrinya yang sekarang kudengar hanyalah seorang pramugari.” “Wanita yang sangat berkelas dan terihat cerdas.” “Dia lebih cocok dengan Aslan Abdurrahman.” Berb
Baca selengkapnya

Kebodohan Zahra

“Berhenti!” Aslan menggertak Kak Zahra. Telapak tangan yang nyaris mengenai pipiku itu pun mendadak berhenti. Dengan mata bulat khas wanita arab, Kak Zahra melotot ke arah Aslan. Wajahnya memerah karena menahan marah. Suara Aslan terdengar mengejutkan semua orang. Fattan dan Kalila yang sejak tadi tersenyum bahagia menatap ke area pesta pun seketika menoleh. Keduanya tidak kalah terkejut dari Kak Zahra ketika menyadari bahwa aku sudah berdiri di dekat mereka. Keduanya bertukar pandang. Keduanya pasti tidak menyadari kehadiranku. Mereka terlalu sibuk menikmati kebahagiaan. Kalila terlihat kesal dan marah. Dia meremas bucket bunga yang ada di dalam genggamannya. Sementara Fattan terlihat sangat khawatir. Semua tamu undangan melihat ke arah kami. Pemain musik pun menghentikan semua suara. Suasana mendadak hening. Seolah mereka menunggu apa yang akan terjadi. Aku tetap berdiri tenang di depan Kak Zahra. Aslan menggeser berdirinya dan mengambil tempat untuk berada di sebelahku. Kami berh
Baca selengkapnya

Bukan Saudara Kandung

“Omong kosong apa ini?!” Hisyam berteriak dari area pesta yang berada di depan panggung pelaminan. Mata Aslan mengerling tajam pada Hisyam. Sementara ayah Kalila itu berjalan cepat menuju atas pelaminan. Dia menghampiri Aslan yang masih berdiri tenang sambil memegang mic di tangannya. Hisyam tiba di depan Aslan dengan wajah kacau. Kulitnya merah karena menahan marah. Nafasnya tersenggal karena berjalan cepat dan menaiki panggung pelaminan. Dia juga pucat karena cemas mendengar apa yang Aslan katakan. Aku pun tidak kalah terkejut. Walau sejak awal aku tahu, Aslan akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi, apa yang dia katakan sama sekali tidak pernah aku pikirkan. Aku harap ini hanyalah bagian skenario yang Aslan lakukan untuk memulai rencana berikutnya. Melibatkan hubungan persaudaraan untuk kepentingan balas dendam, bukan sebuah ide bagus yang bisa kusetujui. “Aslan….” Aku bergumam sambil menggelengkan kepala perlahan. Bagaimana pun sikapnya terlihat berlebihan. Dia membawa keboh
Baca selengkapnya

Pukulan Balik Yang Gagal

“Manusia-manusia menyedihkan. Harta telah membuat kalian mengorbankan hati nurani kalian sendiri.” Suaraku bergetar, tapi aku tidak ingin menangis. Tidak sekarang! Aku tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Melihat keberanian Aslan membelaku, aku tidak akan membiarkan itu sia-sia. Aku akan memberikan keberanian yang sama untuk membuat wajah kami berdua tetap tegak menghadap ke depan. Mendengar perkataanku, Fattan yang sejak tadi memilih diam akhirnya angkat bicara. Dia melepaskan gandengan Kalila di lengannya dan melangkah mendekati aku juga Aslan. Tamu undangan semua melihat kami di atas pelaminan. Ini seperti menyaksikan sebuah pertunjukan panggung boneka. Mereka diam untuk menunggu adegan selanjutnya. “Adina, kau mengatakan hal buruk tentang kami. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau lupa, bahwa kau juga sama menyedihkannya?” tanya Fattan. “Apa maksudmu?” “Kau bahkan sudah tinggal di rumah Aslan sebelum kita resmi bercerai. Aku tidak heran kenapa kau begitu berani memutuskan b
Baca selengkapnya

Menunggu Pemindahan Kekuasaan

“Aslan Abdurrahman!” Fattan berteriak hendak menyerang Aslan. Teriakan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Aslan. Dia menggandeng tanganku untuk menuruni panggung pelaminan. Kami sama sekali tidak menoleh ke belakang. Walau tanpa melihat, aku yakin wajah-wajah yang ada di belakang kami adalah wajah penuh kemarahan dan kemalangan. Hisyam segera menahan menantunya itu. Aku dengar Hisyam mengatakan sesuatu pada Fattan. “Biarkan dia pergi. Kita akan mengurus semuanya besok. Kita selesaikan dulu pesta kita malam ini.” Aslan menggenggam erat tanganku. Kami berjalan menuju ke lobby. Ratusan pasang mata memandang kagum dan takjub pada kami. Pasangan ideal yang baru saja memenangkan pertarungan. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Aku merasa puas karena telah memukul telak mereka yang bertahun-tahun menjadikanku sebagai bahan mainan. Aku harus berterima kasih pada pria yang sedang menggandengku ini. Dia sungguh seperti malaikan penyelamat. Saat kami tiba di depan lobby, kamera wartawan
Baca selengkapnya

Fattan Mengkonfrontasi

“Baik, Tuan.” “Tunggu! Setelah Fattan masuk ke ruangan ini, tidak boleh ada gangguan. Jangan ada tamu atau telepon.” Suara Aslan begitu dominan dan tidak memberikan kesempatan siapa pun untuk menolak perintahnya. “Tentu, Tuan. Permisi.” Gadis sekretaris itu pun keluar dari ruangan. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Fattan. Ketika Fattan melihat aku di dalam ruangan Aslan, dia terlihat terkejut. Keningnya seketika berkerut dan dia berusaha mengalihkan pandangan. Dia berpikir kenapa aku ada di ruangan itu. Pemandangan yang membuat Fattan berpikir aku dan Aslan adalah pasangan yang tidak bisa terpisahkan. Tentu saja itu membuat emosinya seketika bergejolak. Aku melihat jelas bagaimana Fattan berusaha menahan diri dan mengalihkan pandangan dariku. “Selamat Pagi, Tuan Aslan,” ucapnya. “Silahkan duduk, Fattan,” ucap Aslan dingin. Dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Tatapannya begitu mengintimidasi pada Fattan. Sementara Fattan mulai duduk di kursi hitam yang ada di
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
24
DMCA.com Protection Status