"Benar apa yang dikatakan Widya, Hendra!" bentak Papa ketika aku baru saja menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Mama tampak tersedu. Ada Mbak Widya disamping Mama.Aku memilin jari jemari, mengusir takut dan malu yang saling tumpang tindih."Jawab!" teriak Papa lantang.Terkaget, mataku mengarah tepat pada mata Papa. Lalu kembali menunduk, menetralkan detak jantung yang sudah tak karuan."Iy-iya, Pa." desisku."Astaghfirullah, Hendra ..." raungan Mama terdengar menyayat hati."Siapa yang mengajak kamu seperti itu, Ha!" lantang suara Papa membahana.Aku menatap Mbak Widya, ragu. Tapi Mbak Widya justru buang muka, seakan jijik melihatku."Dulu waktu Hendra masih duduk dikelas dua SD, Hendra melihat Mama dan Papa, melakukan aktivitas malam." lirihku."Ya Allah ..." Mama makin tergugu.Sedangkan Papa mengusap wajahnya kasar, lalu terduduk lemas di sofa. Memang tak ada yang salah, saat itu kami tak se-berjaya seperti sekarang ini. Hidup di sebuah petakan. Rumah dengan tiga sekat, yang digunaka
Baca selengkapnya