“Wah, sengaja nyusul istrinya atau memang mengantar saudara ini, Mas?” canda Mas Luthfi setelah infus terpasang di lengan Marini—pada Restu.“Ngantar warga, Mas. Bukan saudara,” jawab Restu langsung.Aku melirik wajah Marini, sepertinya tidak suka dianggap warga oleh Restu.“Kepala desa yang baik harus mengayomi warga dong, Mas. Semuanya harus diperlakukan sama. Tidak peduli miskin, ya harus dilayani dengan baik.” Aku ikut menyahut. Sengaja kusebutkan kata miskin, agar Marini sadar diri. Meskipun sepertinya, tipe orang-orang seperti dia akan sulit sadarnya.“Haha, iya-iya. Isna beruntung sekali punya suami njenengan (anda), Mas,” sambung Mas Luthfi.“Beruntung gak sih, Mas, aku?” tanyaku pada Restu. Lagi, aku melirik Marini yang meski dalam keadaan sakit, dia masih menatapku dengan sorot kebencian.“Harusnya beruntung,” celetuk Restu tidak tahu malu.“Eh, tapi Mas Restu beruntung juga lho, Mas Luthfi, dapat aku. Aku ini ‘kan bidan yang punya penghasilan sendiri. Jadi, aku tidak akan m
Last Updated : 2022-11-28 Read more