Home / Romansa / Antara Mantan dan Selingkuhan / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Antara Mantan dan Selingkuhan: Chapter 41 - Chapter 50

51 Chapters

39. Perselisihan Mantan dan Mantan

"Din, ke toilet dulu yuk!"Rafka menoleh ke asal suara yang dikenalnya. Ia melihat sekelompok karyawati yang hendak melintas untuk makan siang.Itu Fara, bersama teman-teman kantornya yang sedang berjalan beriringan di lobi gedung kantornya. Jam makan siang seperti ini biasanya mereka menuju kantin atau warung-warung makan yang berada di sekitar gedung ini."Ikut doong." Laely yang berjalan di belakang mereka kini menyejajari langkahnya dengan Fara dan Dini.Rafka yang sedang berdiri di ujung koridor untuk memasuki toilet di lantai ini, kini berpapasan dengan gerombolan Fara.Rafka dapat melihat Laely yang menyikut Fara sambil melirik ke arahnya, yang sukses membuat Fara kini benar-benar menoleh ke arahnya. Ia tidak mungkin berpura-pura tidak melihat. Saat matanya bertemu pandang dengan Fara, ia tersenyum ramah.Fara tidak tersenyum sama sekali, sorot matanya masi menampakkan kilat amarah begitu jelas. Alih-alih melihat wajahnya, Fara menjatuhkan pandangannya pada sesuatu yang berada
Read more

40. Ciuman Di Tengah Hujan

Setelah menghabiskan tiga loyang piza hanya untuk mereka berdua, Enand kini menerima dua box piza lagi dari pelayan, untuk dibawa pulang.Mone tidak menyangka bahwa masa pertumbuhan remaja bisa menghabiskan makanan sebanyak itu, sementara dirinya hanya menghabiskan satu loyang piza berukuran medium, itu pun dimakan berdua dengan Rafka."Kak Mone, makasih banget loh ini. Tapi, kalo misal lo gak ikhlas karena ini kebanyakan, remburs aja ya, ke Arsen." Enand mengangkat dua box piza di tangannya, menunjukan benda itu pada Mone."Iya, habisin! Kalo gak habis, bagiin ke tetangga kos kamu.""Siap, Kak!"Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua siang. Mereka segera bergegas untuk meninggalkan restoran piza dan kembali pada aktivitas masing-masing. Namun, saat keluar dari restoran tersebut, mereka disambut derasnya hujan yang semula hanya berupa gerimis.Restoran piza yang memiliki lahan sendiri ini, membuat parkirannya terletak di belakang. Sehingga untuk mencapai ke mobil, mereka harus mele
Read more

41. Lipstik Di Acak-Acak

Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang
Read more

42. Menempel Seperti Cicak

Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Read more

43. Mantan Posesif

Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e
Read more

44. Demi Anak

"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Read more

45. Sorai Perpisahan

"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
Read more

46. Hubungan Dewasa

Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
Read more

47. Lamaran Di Tepi Jurang

Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Read more

48. Mengikat Tanpa Cincin

"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status