Home / Lain / Oleh-oleh dari Mertua / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Oleh-oleh dari Mertua: Chapter 11 - Chapter 20

67 Chapters

Bab 11

 Oleh-oleh dari Mertua  Balas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan dirimu lebih baik. Itu kalimat Ali bin Abi Thalib yang selalu kudengungkan dalam diri.  ======== "Enggak! ... Enggak! ...." jerit perempuan itu. Aku menghentikan aktivitasku.  'Ada apa lagi?' pikirku. "Sabar, Nduk. Sabar ...." Suara Ibu menenangkan. "Gak! Kalian semua sama saja!" "Jangan pergi, Nduk ...." Hah? Pergi? Perempuan itu pergi. Ingin tahu, aku segera beranjak.  "Emyr di sini saja, ya. Mama mau ke depan sebentar. Jangan kemana-mana. Jangan keluar," pintaku. Emyr yang seperti biasa, setiap pagi masih posisi enak menghabiskan susunya mengangguk.  Gegas aku keluar. Menuju ruang di mana suara berasal. Ternyata dari ruang tamu. Wanita itu memegang gagang
Read more

Bagian 12

 “Mas ... boleh ... masuk?” tanyanya terbata, terkesan ragu. “Gak kerja?” selidikku. Ia menggeleng, “Gak,” jawabnya. Aku menatapnya sebentar. Berhitung untuk memenuhi permintaannya atau tidak. Namun, bagaimana pun dia masih berhak untuk bicara. Akhirnya kubuka juga pintu lebih lebar. Laki-laki itu melangkah perlahan, memindai seisi kamar dengan netranya. Melihat barang-barang yang sudah kukemas rapi, ia tampak terpaku beberapa lama. Kemudian terdengar ia menghela napas dalam. “Papa ....” Emyr yang sudah rapi dan wangi segera menghambur padanya, mengulurkan kedua tangan sambil menengadah, minta digendong. Mas Harsa segera menyambut tubuh itu, mengangkatnya tinggi sehingga bocah itu tergelak senang. Kemudian tubuh mungil itu ia sejajarkan dengan wajahnya, menciumnya bertubi-tubi, lalu mendekapnya erat
Read more

Bagian 13

“Mbak mau pindah, San,” jawabku tenang. Kutatap raut penuh tanya mereka sambil menguntai senyum. “Pindah?” Ia tersentak. “Iya,” sahutku. “Mbak ... Mbak jangan pergi ...,” mohonnya serak. Kedua tangannya menggelayut di lenganku. “Mbak .... Santi minta maaf, Mbak,” lanjutnya, “Emyr ... Emyr jangan pergi, ya. Emyr sama bulek, yuk.” Ia membujuk sambil mengulurkan kedua tangan, hendak menggendong. Namun, bocah itu menggeleng, mendorong pelan tangannya yang ingin meraihnya. Manalah Emyr mau, selama ini Santi tidak pernah peduli padanya. Bahkan sering memarahi jika Emyr sedikit aktif. Aku mengulum senyum menyaksikan kekalutan calon mantan adik iparku itu. Dia sibuk mondar mandir tidak jelas, panik sendiri. “Jangan pergi, Mbak. Santi minta maaf tela
Read more

Bagian 14

 Dia mengangguk lemah, memberikan kesan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya sama sekali bukan berasal dari hati terdalam. Hanya suatu kepasrahan pada ketidakmampuan. Mungkin karena dia tidak akan merasa diuntungkan atas kepergianku. "Sekarang begini saja, deh, coba Mbak Ninik tanya, apa Mas Harsa masih mau menjadikan Mbak Ninik istrinya?" tantangku, "Bukannya tadi Mbak disuruh pulang?" Perempuan itu terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Aku tahu dia malu, juga sedang menahan geram. "Tanya juga, saat ini apa Ibu dan Bapak mau menjadikan Mbak Ninik menantu mereka? Dan apa Santi mau menjadikan Mbak kakak ipar?" "Aku gak mau, gak asyik," sambar Santi. Gadis itu memandang Ninik sinis. Lagi, aku mengulum senyum. Suka dengan jawaban gercep Santi. "Terima kasih, San," ucapku. Gadis itu cengengesan senang, "Sami-sami, Mbak," jawabnya. Aku mengg
Read more

Bagian 15

"Ra ...." Nur dan Endang menyapa bersamaan ketika melihatku hendak menuju kamar. Kamarku memang terletak berhadapan dengan ruang tengah di mana barang-barang dagangan disimpan. Sehingga jika aku ingin ke sana, pasti akan melewati mereka. Sorot mata mereka iba kepadaku. Kubalas dengan senyuman.Tidak ingin iba mereka berkelanjutan. Bagiku, seseorang boleh bersimpati dan berempati , tetapi jangan sampai kasihan. Simpati dan empati dapat menambah kekuatan, sedangkan kasihan justru melemahkan. "Hai," balasku dengan logat biasa saja. Kini ekspresi mereka bertukar melongo. Sepertinya semakin bingung. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita sedikut pun permasalahan intern rumah tanggaku kepada mereka. Sangat wajar jika mereka merasa heran mengapa tiba-tiba aku diantar ke rumah ini, dan semakin heran karena reaksiku yang seperti tidak ada masalah apa-apa. Bagiku, tidak elok membuka rahasia keluarga kepada orang lain. Rumah t
Read more

Bagian 16

"Ibu?" panggilku masih tak percaya. Wanita yang awalnya berdiri celingak celinguk memeriksa setiap sudut ruang tamu, serta merta menoleh. Beliau menatapku dengan sorot yang sulit kuartikan. Aku melangkah mendekati perempuan itu, "Ada apa, Bu?" tanyaku benar-benar ingin tahu. "Di sini rupanya kamu tinggal?" ucapnya tanpa menjawab tanyaku. Atau mungkin itulah jawabannya. Bahwa tujuan dia kemari untuk menyelidiki tempat tinggalku. Namun, entah mengapa aku merasa ada nada meremehkan dalam kalimatnya. Apalagi ketika matanya terus menilik setiap bagian ruangan itu. "Kupikir rumah yang lebih mewah sehingga rela pindah mendadak, ternyata ...." Beliau mengedikkan bahu sambil membuka kedua tangan. Seolah ingin menunjukkan bahwa tidak tega menyebutkan kata yang pas untuk menggambarkan kondisi rumahku. Aku mengulum senyum, "Ternyata apa, Bu?" tanyaku sabar, "Kecil? Tidak apa kecil, Bu. Yang penting menyejukkan d
Read more

Bagian 17

  “Iya, Pak,” jawab Nur. Sedangkan Endang cuek.   “Sudah lama?”   “Sudah lama banget, Pak. Sejak sekolah.”   “Sudah menikah?”   “Endang sudah, Pak. Saya belum.”   “Sudah punya anak?” Kali ini laki-laki hampir enam puluh tahun itu beralih pada Endang.   “Belum,” jawab Endang malas.   “Sudah lama menikahnya?”   “Dua tahun.”   “Wah, lama juga. Mengapa belum jadi. Kurang genjot kali,” kelakarnya lalu terbawa dibuat seolah sangat geli. Dia sendiri yang tertawa. Kami justru menyorot tajam.   Aku mengamati Bapak mertuaku itu. Mataku sampai menyipit karena terlalu heran. Mengapa gayanya seperti tebar pesona?   Bertanya hal-hal yang tidak penting. Lalu tertawa berlebihan. Sangat tidak etis ditanyakan pada lawan jenis saat pertemuan pertama. Apa ini has
Read more

Bagian 18

  “Ehem.” Satu suara mengagetkan ketika aku fokus mengantar kepulangan Bu Mun dan Haykal. Sontak aku menoleh ke belakang.  “Ibu juga pamit,” ucap pemilik suara. Di belakangnya Bapak juga tampak berdiri tegak. “Oh, iya. Hati-hati, Bu. Sudah segar ‘kan?” tanyaku. Wanita itu mengalihkan pandangan sejenak. Lalu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Aku melongo. Jarang-jarang Ibu mau bersentuhan denganku. Biasa pada moment tertentu, jika aku ingin menyalami, tak jarang Ibu enggan mengulurkan tangan.  Tak urung, kusambut juga uluran tangan beliau. Kucium takzim layaknya seorang anak kepada orangtua. Demikian juga Bapak, kucium takzim pula punggung tangan beliau. “Hati-hati, Pak, Bu, jangan lupa makan,” ucapku mengantar langkah mereka. Aku tertawa agak mengejek. Aduh, mengapa jadi kurang asem begini. Astaghfirullaha
Read more

Bagian 19

“Jalan-jalan, yuk.” Suara Mas Harsa membangunkanku yang tenggelam dalam pikiran sendiri.  “Jalan-jalan?” sambut Emyr antusias. Dalam dua minggu ini, aku tidak pernah membawanya kemana-mana karena aku pun tidak kemana-mana. Aku sengaja mengurangi keluar rumah jika tidak ada hal mendesak.  Sebab menurut Bu Mun, wanita yang menjalani masa idah harus lebih banyak di rumah.  Belanja keperluan sayur dan kebutuhan lain, aku meminta tolong Nur atau Endang. Memang sesekali Emyr diajak oleh mereka. Haykal pun pernah membawa bocah itu jalan-jalan. Namun, pastinya berbeda jika jalan-jalan itu bersama kedua orangtuanya. “Mau?” tanya Mas Harsa, tampak tak kalah antusias. “Mau!” seru Emyr riang. “Emyr mau jalan-jalan ke mana?” tanyanya. "Ke CS," sahut Emyr menyebut salah satu nama mini market.
Read more

Bagian 20

 “Ada apa ini, San?” Kutanya Santi yang masih berdiri angkuh. Mata gadis itu menatap nyalang ke arah Ninik. “Dia itu ternyata ular, Mas. Dan sangat berbisa,” jawab Santi. “Yang jelas jawabnya. Mas gak ngerti!” ucapku kesal. “Ibu ajak kamu ke sini untuk dinikahkan dengan Harsa, Nduk. Menyelamatkan kamu dari omongan orang-orang, menaikkan derajatmu karena Ibu sangat menyayangimu. Mengapa kamu justru menikam Ibu seperti ini. Sakit, Nduk. Sakit ....” Ibu meratap pilu diujung sedannya. Dahiku semakin berkerut, semakin bingung apa yang terjadi? “Menaikkan derajat apa? Justru aku terhinakan di sini. Ibu mengatakan istri Mas Harsa itu bodoh. Tapi dia pelan dan pasti menjatuhkanku dengan sangat dalam. Santi mulai meremehkanku. Dan Mas Harsa mengingkari janjinya,” sahut perempuan itu sinis, “Kehidupan nyaman yan
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status