Hanya satu hari Dina di rawat di rumah sakit, karena fisiknya memang telah pulih. Namun, keluarga sepakat ingin adik iparku itu menemui psikolog, supaya kondisi psikisnya kembali seperti sedia kala. Minimal tak lagi mengalami mimpi-mimpi buruk.
Masalah hukum dengan mantan pacar Dina masih berjalan. Menurut Farhan, beberapa hari lagi akan dilangsungkan persidangan. Meskipun ada itikad damai dari orang tua mantan pacar Dina, tapi tentu saja ditolak mentah-mentah oleh papa dan Farhan. Enak saja penjahat itu melenggang bebas, sementara adik iparku hari-harinya masih diselimuti trauma.
Dina pun takut ke mana-mana seorang diri, sehingga aku menawarkan diri untuk menemani. Bukan ingin cari muka, tapi Dina pun lebih nyaman bersama denganku jika tidak dengan mama.
“Seandainya Mbak Za yang sejak awal jadi istrinya Mas Farhan,” ujar Dina saat kuantar pulang setelah menemui psikolog sepulang kerja tadi.
Kami menggunakan mobil pribadi Dina, tetapi ak
“Terima kasih ya, Za, sudah mau repot-repot antar jemput Dina, padahal Kamu lagi hamil,” ujar mama saat aku dan Dina sampai di rumah.“Gak repot kok, Ma,” balasku.“Tahu tuh, gak kasihan kali sama Kamu! Ditawarin sopir gak mau, malah lebih milih pergi-pergi sama Kamu, Za,” adu mama membuatku tersenyum kecil.“Mama, ih! Enakan berdua sama Mbak Za kali, Ma, dari pada sama sopir. Lebih asik,” sanggah Dina merengek.Walau mama tidak menyukai poligami yang anaknya lakukan, tapi syukurlah beliau tak pernah berlaku buruk padaku. Mungkin juga karena sejak lama kami sudah saling mengenal dekat.“Aku juga suka kok, Ma, bisa bareng-bareng sama Dina. Hemat ongkos transport,” selorohku membuat kami terkekeh bersama.“Oh ya, Papa tadi bawa daging sapi dari rumah potong, nih Kamu bawa pulang, Za!” Mama mengulurkan kantong belanja yang sudah berisi tumpukan boks plastik berisi daging. &
“Wah, gitu, ya? Tadi dimasakin makanan favorit bilangnya gak selera, tapi diem-diemdinner sama istri kedua.”Suara sindiran sinis itu menghentikan sendok yang kupegang di udara. Nayla muncul dengan piyama sutranya yang tipis dan minim. Setahuku, piyama seperti itu memiliki set kimono yang bisa lebih menutupi tubuh pemakainya. Namun, mungkin Nayla merasa tidak perlu memakainya, karena hanya ada kami di rumah. Sayangnya, bayi ini kembali membuatku tidak suka menyaksikan pemandangan tersebut.Lagi-lagi bayi tak berdosa ini yang kujadikan alibi. Maafkan Bunda, Sayang.“Makan, yuk, Nay! Tadi dibawakan sop iga sama mama,” ajakku tak ingin memicu masalah.“Oh, mama.” Wanita itu mencebik seraya meraih gelas dan mengalirkan air mineral dari dispenser. “Bagus juga taktikmu, Mbak, pakai alasan mama segala. Setelah berhasil mengambil hati adik ipar, sekarang mama. Gak heran kalau Mas Farhan gak mau ceraiin Mbak
Di akhir pekan ini, Farhan mengajak kami berbelanja untuk persiapan kelahiran. Sudah terbayang bagaimana lelahnya betisku nanti jika harus berkeliling mal dengan perut buncit ini. Meski begitu, bukan hanya Farhan yang antusias menyambut anak pertamanya, aku pun merasa demikian.‘Kuharap dia memiliki kemiripan denganku sebagai apresiasi karena telah mengandungnya berbulan-bulan,’ batinku penuh harap tanpa mengungkapkan pada siapa pun. Semoga anak ini mendengarnya.Lain lagi dengan Nayla. Sebagai orang yang menginisiasi program kehamilan ini, jarang sekali kulihat antusiasmenya dalam menyambut anak yang sudah lama ia nantikan ini.Ia memang rutin mengontrol pola makan dan hidupku supaya asupan gizi dan kesehatan anaknya terpenuhi, meskipun tetap setengah hati saat melakukannya. Nayla juga tak pernah absen mengantarku kontrol, tapi hanya sekedar menatap saat kuberitahu anaknya sedang bergerak di perutku, tanpa berusaha mendekat. Tersenyum pun tidak.
Apa maksudnya menggunakan tanggal jadian kami bertahun-tahun lalu sebagai pin kartu debit?Belum sempat mendapat jawaban, kasir sudah lebih dulu mengembalikan kesadaranku. Segera kuulurkan kartu debit tersebut lalu menekan pin yang sangat tepat tersebut. Transaksi telah usai, tapi Farhan belum juga kembali.Aku pun menunggu sesuai instruksinya tadi. Sayangnya, hingga hampir sepuluh menit batang hidungnya belum juga terlihat. Kakiku sudah terlalu lelah untuk berdiri dan butuh istirahat.“Mbak, ingat wajah suami saya tadi?” tanyaku pada pramuniaga yang tadi melayani kami.“Ingat, Bu,” jawabnya. “Ada apa, ya?”“Nanti kalau dia ke sini dan cari saya, tolong beritahu dia kalau saya menunggu di restoran All You Can Eat di depan sana, ya!” pesanku.“Oh, iya, Bu, nanti saya sampaikan.”Aku sudah mencoba menghubungi Farhan, tetapi tak ada jawaban. Mungkin ia tidak mendengar dering pon
Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh petang, segera aku masuk ke kamar setelah menutup gerbang dan mengunci pintu depan. Saat baru selesai menyucikan diri, ponselku berdenting. Sebuah pesan masuk dari adik iparku.Dina: Mbak aku main ke rumah, ya?Kuiyakan begitu saja lalu meraih mukena yang segera terjulur membalut tubuh ini.Ibadahku masih belum baik, bahkan setelah berusaha memperbaiki pun aku masih merasa ada banyak kekurangan.Namun, setiap momen untuk menghadapNYA selalu kuusahakan seintim mungkin. Dialah satu-satunya tempat untukku mampu mencurahkan segala isi hati dan kegundahan yang tak mampu kuungkapkan pada orang lain.Tepat setelah dzikir singkatku berakhir, bel pintu depan berdenting. Mungkin Dina sudah sampai. Tanpa melepas mukena, aku turun ke bawah.Salah, ternyata Nayla yang ada di balik pintu kayu tersebut. Wajahnya tampak lelah, tangannya membawa beberapa kantong belanja. Sepertinya ia tidak hanya bertemu teman-teman
“Semoga Mbak Za bisa jadi satu-satunya istri mas Farhan.”Senyum cerah mengembang di wajah gadis berusia dua puluh empat tahun tersebut. Kurang ajarnya, hatiku mengamini kalimat tersebut meski otak dan logika menentang dengan keras. Bagaimana bisa aku menjadi satu-satunya?“Jangan begitu, Din! Jaga perasaan mbak Nayla,” tegurku mengingatkan.“Namanya harapan sah-sah saja ‘kan, Mbak? Aku juga gak pernah ngomong begini sama siapa pun, cuma Mbak Za saja yang tahu harapan ini,” sanggah Dina tak merasa bersalah.Aku hanya menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan perasaan menggelitik akibat harapan Dina yang terlantun dalam doa tersebut. Tak mungkin aku menjadi jahat, mendoakan apalagi berusaha memisahkan Farhan dan Nayla. Dosa besar jika sampai merusak rumah tangga orang lain.Tidak mungkin juga aku mendoakan Nayla berusia pendek hanya supaya menjadi satu-satunya istri Farhan. Itu sangat tidak beradab. Dosaku
“Kamu pikir hanya Kamu yang bisa membuat rencana dan skenario sempurna di belakangku? Salah, Nay, aku pun bisa melakukan penyelidikan tanpa ada yang menyadarinya!”Farhan murka, bahkan ia sudah tak lagi menggunakan panggilan sayang dan langsung memanggil nama pada Nayla.“Aku gak tahu apa maksudmu, Mas! Datang-datang langsung marah, ngamuk, bahkan langsung di depan perempuan ini?” protes Nayla yang kini menatap dan menudingku tajam. “Mbak ‘kan yang mempengaruhi Mas Farhan supaya bertengkar denganku? Ngaku, Mbak! Sengaja mau benar-benar merusak pernikahan kami ‘kan?”Tanpa kuduga, Nayla beringsut mendekat lalu mendorongku sekuat tenaga. Aku yang masih limbung dan terkejut kembali terhuyung. Jika saja tidak sedang berpegangan pada Farhan, mungkin aku sudah jatuh tersungkur dan membahayakan bayi dalam kandungan. Farhan pun gegas meraih tubuhku, melindungi dari serangan Nayla yang membabi-buta sambil meraung tidak teri
“Karena dia satu-satunya jalan untuk bisa membalas sakit hatiku padamu, Mas!” Nayla beralasan.Namun, itu sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana ia bisa memperalat orang asing yang tak pernah dikenalnya hanya untuk membalaskan sakit hati yang sebenarnya bisa dicegah?“Tapi bukan berarti Kamu bisa menghancurkan hidup Ira, menghancurkan masa depan anak kami!” Farhan menggeram. Ternyata ia juga memiliki pemikiran yang sama denganku.“Memangnya apa peduliku?” tanya Nayla sinis. “Jadi, bagaimana rasanya sudah menghancurkan kehormatan perempuan yang Kamu cintai? Bagaimana rasanya menikahi cinta sejatimu, tapi tidak bisa menyentuhnya? Sayang sekali semua sudah terbongkar. Harusnya Kamu juga bisa melihat bagaimana aku mengabaikan anak kalian nanti setelah dia lahir, lalu terpisah dan tak pernah mengenal ibunya.”“Dan jika Kamu tidak berhasil membuatku melepas Ira, Kamu dan dokter gadungan itu berencana membua
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm