Kedua kakak beradik itu melenggang pergi, semakin menjauh. Sesekali berbalik menatapku yang juga masih menatap kepergian keduanya. Lambaian tangan pun menjadi tanda perpisahan, begitu pula seutas senyum yang mengiasi bibir.
“Sana kalau mau ikut!”
Seruan Farhan mengalihkan perhatianku. Terdengar datar dan ketus, bahkan saat kami kembali bertatapan, ia memberikan sorot tajam dari mata yang sekelam malam tersebut. Moodnya tiba-tiba memburuk.
“Boleh?” tanyaku bernada menggoda.
“Ira!” sergah pria itu menggeram.
Tatapannya semakin tajam, tapi malah membuat senyumku makin lebar. Ada rasa tak mampu terdeskripsikan dalam dada saat melihat kilat tidak suka dari mata Farhan. Aku berharap dia cemburu.
“Seneng Kamu disamperin mantan sama adiknya?” tanya Farhan mengunci mataku.
“Biasa saja,” jawabku tak acuh sembari mengedikkan bahu.
Pria itu mendengkus seraya menyesap m
“Maaf kalau menyinggung, tiba-tiba aku ingat sesuatu. Dulu Dina sering curhat sama aku kalau dia gak akur sama Nayla. Kok bisa?”“Sampai sekarang pun mereka masih seperti orang asing, karena prinsipmu beda sama Nayla.” Farhan menganggukkan kepala lemah.“Prinsip apa?” tanyaku.“Tadi yang Kamu bilang, pernikahan itu adalah bersatunya dua keluarga, sementara untuk Nayla, dia gak peduli meskipun ada anggota keluarga yang gak suka, karena nantinya kamilah yang menjalani kehidupan rumah tangga,” ungkapnya seraya menghela napas panjang. “Bahkan dia juga gak berusaha mengenalkanku pada papanya, kecuali saat menikah dulu. Papa dan ibun sudah pisah sejak Nayla kecil dan dia gak pernah mau membahas tentang papanya setiap kali kutanyai. Katanya ‘yang penting kita sudah direstui’ begitu.”Kukatupkan bibir rapat-rapat tanpa menimpali kalimat panjang Farhan. Takut menyinggung. Memang banyak orang y
Seiring hari semakin berlalu, Farhan semakin menunjukan keinginannya mempertahankan poligami ini. Jika dulunya setiap larangan Nayla untuk mendekatiku selalu dituruti, kini tidak lagi. Meski diiringi adu mulut dan kericuhan, tetapi jelas terlihat usahanya untuk membuat dua wanita dalam satu rumah ini menerima kehadiran satu sama lain.Bagai memiliki anak kembar, segala sesuatu yang Farhan berikan selalu sama. Mulai dari nafkah, perhatian, hingga waktu. Pembagian hari untuk kami pun diterapkan berselang seling. Bukan tiga hari dengan Nayla, tiga hari denganku, lalu kosong satu hari seperti lirik sebuah lagu Jawa. Penerapan selang-seling juga supaya tidak ada celah kekosongan tersebut.“Jadi, begini rasanya digilir?” selorohku di suatu malam saat tiba giliran Farhan menghabiskan waktu denganku.Pria yang tengah duduk di atas ranjang sempitku itu mendengkus. “Digilir. Udah kayak berita-berita kriminal aja.”“Nayla belum pulang?&
“Astaga!”Sejenak Farhan terperanjat, tapi tak butuh waktu lama hingga ia kembali meletakkan telapak tangannya di atas perutku. Meski terhalang oleh baju tidur, tetap saja gerakan bayi ini mampu ia rasakan.Ini adalah pertama kalinya pria itu merasakan pergerakan janin di dalam perutku. Biasanya pergerakan itu terjadi saat Farhan jauh dariku, sehingga aku tidak sempat memanggilnya untuk ikut merasakan. Nayla pun belum pernah menyaksikan momen ini. Aku bagaikan pencuri yang jauh lebih dulu merasakan keberadaan anak mereka, bahkan menikmatinya.Sayang, momen-momen seperti ini justru membuatku seperti merasa menumbuhkan ikatan batin dengan anak ini.“Dia gerak,” ujar Farhan dengan kedua sudut bibir yang terkembang.Mata pria itu berbinar, menunjukkan antusiasmenya yang tak mampu dibendung. Ia bahkan menempelkan pipinya pada perutku yang tertutup piyama satin sembari mengusapnya lembut. Ada rasa agak geli, tapi kubiarkan saja di
“Han,” panggilku di ambang pintu kamar mereka tanpa berusaha untuk masuk, karena sebelumnya memang belum pernah menginjakkan kaki di kamar itu.Sebelah tangan membawa ember berisi air es serta handuk bersih. Sebelah tangan lain membawa bungkusan obat serta segelas teh hangat. Niatnya supaya sekali jalan, tapi ternyata ribet juga.Farhan buru-buru mendekat dan mengambil alih barang bawaanku. Diletakkannya ember berisi es di sisi ranjang lalu mencelupkan handuk kering itu hingga basah lalu memerasnya. Aku tetap berdiri di ambang pintu sembari menyaksikan Farhan mengompres pergelangan kaki Nayla.“Masuk saja, Mbak!” perintah Nayla.Namun, aku menggeleng. “Kalian segera istirahat, aku juga mau ke kamar. Kalau butuh apa-apa, aku siap bantu.”“Makasih, Mbak.”Aku mengangguk seraya meninggalkan kamar mereka. Sebelum tangan ini membuka pintu kamarku, ternyata Farhan sudah lebih menahannya.&ldqu
“Apa Nyonya masih mengalamimorning sicknesshingga nafsu makan belum kembali normal?” tanya dokter Dion saat aku datang untuk melakukancheck up.Tentu saja tidak sendirian, ada Farhan dan Nayla yang mendampingi. Bagaimanapun, janin dalam kadunganku adalah milik mereka. Meski jujur, perasaanku juga mulai tumbuh untuknya setelah melalui setiap tahap kehamilan bersamanya. Bagaimana bisa aku tidak menyayanginya, jika setiap detik hanya dialah yang selalu menemaniku?“Sudah tidak, Dok,” jawabku jujur.“Tapi berat Anda masih kurang,” komentar dokter Dion sembari memperhatikan grafik rekam medisku. “Tekanan darah juga lebih tinggi dari sebelumnya.”Kedua belah bibirku terkatup, tak tahu bagaimana harus menimpali. Dokter Dion terus melanjutkan pemeriksaannya, sementara tangan kiriku digenggam oleh Farhan diam-diam, tanpa terlihat oleh Nayla. Mana berani dia menunjukkannya secara je
“Bagaimana kalau Kamu kurangi beban kerja saja?” usul Farhan dengan tatapannya yang lekat padaku.“Aku yakin anak ini akan tetap sehat dan tumbuh dengan baik,” bantahku.“Ira,” tegur Farhan tanpa menggunakan nada tinggi.Begitulah dia, hampir tak pernah meninggikan suara ketika marah. Mungkin hanya menggeram sambil berusaha mengontrol diri, seperti saat ini.“Akan kuatur ulang jadwal makan dan menu yang perlu dikonsumsi,” janjiku meyakinkan.Pria itu mendangkus seraya kembali menatap ke depan dari posisinya yang berada di balik kemudi. Bahunya tampak naik turun dengan berat. Aku tahu dia khawatir pada anaknya, tapi permintaan untuk mengurangi pekerjaan masih sulit untuk kupenuhi.“Kamu dan Nayla bisa lebih sering mengawasi dan mengingatkan,” bujukku.“Tanpa perlu Kamu minta pun aku pasti akan mengawasi dan mengingatkan,” timpal Farhan berat. “Habis ini
Aku bukanlah seseorang yang percaya pada karma, tapi yakin jika setiap perbuatan baik ataupun buruk akan kembali pada pelakunya. Terdengar mirip, tapi berbeda. Karena pada dasarnya konsep karma adalah sebuah siklus yang terjadi pada orang yang mempercayai reinkarnasi. Namun, keyakinanku tidak mengajarkan hal yang demikian.Hanya saja, konsep tentang utang zina ternyata memang diyakini ada. Aku tidak ingin menyalahkan konsepnya, hanya saja, kenapa bukan kami sebagai pelaku saja yang harus membayarnya? Mengapa harus orang lain yang tak pernah terlibat yang menerima akibatnya?Meski pada akhirnya Niken mengatakan bahwa kejahatan pacar Dina bisa digagalkan berkat teriakan dan perlawanan adik iparku tersebut, tetap saja trauma psikologis akan meninggalkan bekas. Sama seperti yang terjadi padaku.Petugas keamanan mal yang mendengar teriakan dan perlawanan Dina membantu mengamankan pacar adik iparku. Saat ini ia sudah menjalani penyidikan di kantor polisi dan Farhan ju
“Apa kecelakaan yang menimpa kita waktu itu pernah Kamu sesali?” tanyaku yang tak segera dijawab olehnya.“Aku sudah tahu Kamu menyesal, Ra,” timpal Farhan tanpa menjawab pertanyaanku.“Bagaimana denganmu?” kejarku.Farhan mengalihkan pandangan, menatap langit malam melalui jendela yang dibatasi kaca serta gorden transparan.“Semua adalah bagian dari takdir,” ungkapnya.Ternyata benar dugaanku. Farhan tak terlalu memikirkan dan tak menunjukkan jejak penyesalan dalam dirinya. Bagaimana ia bisa melangkah dengan ringan setelah melakukan dosa sebesar itu?“Sudah beberapa waktu terakhir aku mulai melakukan salat taubat, berusaha memperbaiki kesalahan kita, tapi masih ada rasa yang mengganjal,” paparku kembali menarik perhatian Farhan. “Kamu gak mau salat taubat juga?”Pria itu bergeming, tetapi tatapannya begitu lekat mengunci mataku yang setengah memohon.&ldqu
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm