Aku duduk memandang ketiga orang itu saling melepas rindu. Kedatangan Fadlan sungguh jadi kejutan yang lebih dari aku bayangkan.Lihatlah sekarang, betapa bahagianya mereka kembali bertatap muka, sampai aku seolah tak nampak di mata mereka. Aku tersisih, sendiri menatap agak kesal.“Ya Allah, Fadlan. Elu cakep banget pulang dari Cina. Lu operasi plastik, ya?” celetuk Nyak Marni sembarangan. Kedua tangannya meraba-raba wajah Fadlan, terkadang mencubit gemas.“Iya, ih. Bang Fadlan tambah putih kayak personil boyband.”Hah? Bahkan Vivi juga memuji? Asem bener, dia sama sekali tak memandangku di sini. Menyebalkan.“Ha ha ha. Bisa aja. Ya, enggaklah Nyak. Mana berani operasi segala. Ini, nih udah ganteng dari sananya.”Aih, kuyakin hidung si Fadlan melayang sekarang. Lihat saja betapa dia salah tingkah. Pakai acara menunduk malu-malu gajah. Garuk-garuk tengkuk.Jika boleh jujur, aku memang terbakar api cemburu. Terlebih Vivi bersentuhan fisik secara langsung. Haduh, inginnya menarik tangan
Angin sepoi mendesir mengitari tengkuk leher sehingga hampir semua bulu kuduk berdiri. Separah inilah efek dari pengakuan cemburuku itu. Sungguh menggelikan.Aku menunduk malu. Namun, rasa takut kepergok Fadlan lebih besar sekarang. “Gemes banget, sih ... jadi pengen makan Abang. Jangan cemburu,” ujarnya konyol. Vivi mencubit kedua pipi, aku segera menyingkirkan tangan itu walau akhirnya dia agak tak terima.“Ih, pelit.” Desisan itu sangat sering kudengar akhir-akhir ini. Sampai aku hafal.“Belum sah.” Lagi-lagi ini menjadi alasan. Namun, sedikit banyak gadis muda di hadapanku paham. “Udah mau azan, Sayang. Balik, gih,” sambungku dengan suara paling pelan. Tentunya dengan debaran jantung yang amat hebat. Takut ada yang dengar.Bahkan mata ini masih memindai jalan satu-satunya menuju ke mari. Takut andai Fadlan datang dadakan, nanti kalau tak ketahuan, alamat gawat!“Kalau gitu, ayo jadiin Vivi istri sah. Biar apa-apa boleh. Ya, Sayang,” rengeknya manja.Duh, dia malah salah tanggap.
Pacar kamu. Pacar kamu. Pacar kamu.Kata itu terngiang di telinga. Makanan yang menggantung sejajar dengan perut hampir terjatuh tatkala tangan yang memegangi plastiknya melemas.Sungguh, aku sangat kesulitan bernapas. Jangankan untuk berlari merebut ponsel, rasanya kakiku bagai sedang dirantai. Sulit digerakan.Apa-apaan ini? Bukannya tadi dia tidur? Kenapa sekarang malah ....“Gam!”Seruan itu mengaburkan seluruh pikiran gelisahku. Sedikit tersadar, ternyata Fadlan kini telah berdiri tepat di depan mata.Kupindai tangannya teliti. Itu dia. Memang ponselku.“Tegang banget,” ucap Fadlan sembari menepuk bahuku. Ponselnya! Barikan ponselnya!“Aku tidak seberengsek itu, yang main buka-buka chat orang. Ini, cuma tadi lihat kelip-kelip di meja, jadi aku lihat. Eh, malah nemu nama ‘Pacar’ di notifikasi layar.”Fadlan tertawa kencang. Sementara aku masih loading. Maksudnya? Jadi, dia belum tahu soal hubunganku dengan Vivi?“Ya, ampun. Seorang Agam punya pacar. Ha ha ha. Kukira akan menjomlo
Aku telah terluka, tapi tak ada obat bagi sakitku ini.Kaus dengan sablon bertuliskan ‘Friend Forever’ yang sedang dipegang ini jatuh dari tangan. Pikiranku kosong seakan hanyut dalam keterkejutan yang teramat besar.“Hah? Nem—” Ucapan ini bahkan terlalu menyekitkan untuk sekadar kuucap.Fadlan, dia sungguh-sungguhkah?“Heh, ngelamun!”Aku segera menyadari sikap bodohku ini, lantas langsung memasang senyum palsu seolah-olah aku senang mendengar keputusan itu.“Bantu aku, ya Gam. Kamu tahu, selama tinggal di negeri orang, setiap malam aku menyesal karena tidak mengungkapkan dulu perasaanku terhadapnya sebelum pergi. Dan aku tidak mau sesal itu terus mengikuti. Aku akan mengungkapkan rasa cintaku kepada Vivi. Kamu mau bantu, kan?” Speechless. Ternyata Fadlan bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu. Ya Allah ....“Jangan, Lan.” Mulutku berkata refleks. Aduh, mati aku!Dia mengerutkan kening hingga garis halus itu sedikit nampak. Namun, dasarnya tampan, jadi garis kecil begitu pasti t
Takut-takut kami berbalik. Ketika ini berlangsung, pegangan tangan sudah terlepas.Panggilan Nyak Marni sungguh mengagetkan luar biasa.Kulihat Fadlan masih berdiri di atas kursi dengan tangan yang masih menggantung di lampu LED yang kini menyala. Tatapannya lurus, dan jarang sekali mengedip. Bahkam aku hampir tak melihatnya.“I-iya. Ke-napa, Nyak?” tanyaku tergugup.“Elu mau ke mana, sih? Ini tolong, dong ambilin. Panas!” titahnya dengan nada suara agak tinggi.Hah? Lagi? Aku kembali mengalami ini lagi? Rasa gelisah karena merasa hubunganku dengan Vivi ketahuan. Ternyata untuk kedua kalinya selamat.“O-oh, bisa Nyak.” Gegas aku berlari ke arahnya dengan senyum agak terpaksa yang bercampur keringat.Vivi mematri senyum dan duduk di kursi meja makan tak jauh dari sana. Gadis itu juga nampak agak salah tingkah.“Awas panas. Pake ini aja serbet. Anggap aja pengganti sarung anti panas itu. Apalah namanya lupa,” ujar Nyak Marni menyetahkan kain serbet kotak-kotak garis kuning.Kuterima dan
Malam ini terasa hening meski Fadlan sudah kembali pada kehidupanku. Rasanya beda. Biasanya dia selalu rusuh kapanpun dan di manapun. Entah karena dia baru saja kembali ke sini, hingga belum membiasakan diri lagi agar seperti dulu? Ataukah dia terlalu lelah meski hanya sekadar untuk mengobrol?Dari tadi dia terus diam. Dan dalam kesempatan ketika aku mencuri pandang, Fadlan selalu sedang menatapku tajam. Namun, dia pasti segera membuang muka ke lain arah.Hm, semua pikiran-pikiran ini membuat aku gila sampai sulit untuk tidur walau sedari tadi sudah memejamkan mata rapat-rapat.“Gam, udah tidur?”Mata ini refleks terbuka, kepala menoleh ke kanan. Di bawah cahaya tamaram yang terpancar dari lampu tidur berwarna kekuningan aku melihat Fadlan menatapku sembari terbaring.Wajahnya tampak lelah. Lihatlah mata yang merah itu. Maksudku, kenapa dia tidak istirahat?“Mau tidur, tapi susah.” Aku tak bisa berbuat apa-apa selain jujur. Karena sejatinya aku memang kesulitan tidur. “Kamu sendiri k
Suasana pagi ini sudah terasa gersang, tambah gersang lagi ketika kemarahan Fadlan mulai meledak.“Kamu kira aku segila itu? Bunuh diri karena dikhianati? Rugi sekali hidupku.”Aku bisa bernapas lega, ternyata dia tak berniat untuk bunuh diri.Namun, di sini, di tepi jembatan layang dia memandangku jijik.Aku tahu kemarahannya mungkin tak bisa terbendung lagi. Tak terbayang betapa menderitanya semalaman menahan sakit karena ulahku.Lalu, dengan bodoh diri ini terus menunda-nunda untuk bicara tentang hubungan yang kami jalani itu.Akan tetapi, semua terlambat. Aku lebih buruk dari apa pun. Kini yang kuharapkan hanya satu, yaitu semoga Fadlan memaafkanku. Dan aku siap menerima konsekuensi dari semua perbuatanku ini.Entahlah. Sekarang pikiranku kosong.“Maaf, Lan. Maaf.”Aku masih mencoba membujuknya. Namun, sayang semua itu terasa percuma. Dia sama sekali tak menampakkan wajah iba atau ikhlas, malah kilatan marah itu tampak nyata kulihat.Dia mendekatiku, menarik kerah baju ini kuat-ku
Pagi-pagi sekali aku sudah dibuat pusing oleh permasalahan yang kuhadapi. Fadlan telah pergi membawa benci bersamanya dan menaruh luka di hati ini.Ketika bayangan wajahnya mengitari pikiran, jantungku nyeri tidak terkira.Sungguh, aku tak menduga akan sebesar ini dampak buruknya. Lebih dari apa yang aku bayangkan di mana dulu pernah berpikir bahwa Fadlan akan berbesar hati memaafkan dan menerima hubungan kami.Namun, semua berubah menjadi lebih menyeramkan karena aku yang tak jujur dari awal kepadanya. Padahal, kutahu dia begitu mencintai Vivi, bahkan sudah berniat untuk menyatakan cinta pada gadis itu.Lalu, dengan bodoh aku mematahkan rencananya. Menghancurkan setengah dari hidupnya. Membuat dia terluka dengan dalam.Aku bersandar lemas di sandaran kursi teras. Memijat dahi yang terasa pening dan berat. Tak lama setelahnya Vivi muncul terlihat di kejauhan sana, berjalan menuju ke sini.Ini bukan saatnya, kenapa dia harus ke mari?“Bang, Abang berantem sama bang Fadlan? Dia pergi, k
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend