Jika dikatakan bodoh karena terbutakan cinta, aku mungkinlah lelaki yang paling bodoh. Sudah disakiti dengan nyata, masih saja mencoba memaklum dan mengkhawatirkannya.Sungguh budak cinta! Lagi-lagi aku terperangkap dalam kalimat tersebut.Setengah gila aku mengebut di jalanan. Membelah hujan yang semakin deras menerpa tubuh. Dalam hati aku berdoa, semoga Vivi baik-baik saja di sana.Sial! Kenapa juga tadi harus baper karena dibandingkan dengan orang lain. Padahal, kenyataannya dia hanya mencoba membalas rasa cemburu yang menguasainya.“Kalau sampai Nyak Marni tahu anaknya ditinggalkan di jalanan di bawah hujan geledek petir begini, habislah aku kena gampar,” gumamku cemas sekali.Bersamaan dengan itu, ponselku berdering berkali-kali. Siapa pun itu, tak niat aku melihatnya. Namun, terpikir jika mungkin Vivi, walau susah aku berusaha meraih ponsel dalam kantong celana.“Nyak Marni?” gumamku fokus melihat ponsel. Pasti mau ngomel dan nanyain Vivi ke mana.Dirasa bukan telefon yang darur
“Agaaam!”Keluargaku menghambur masuk ke dalam kamar tempat aku dirawat.Saat ini aku sudah dipindah ke kamar pasien biasa. Sebelumnya karena kritis, aku sempat dibawa ke ruang ICU.Kulihat wajah ibu tampak lelah. Ada bapak dan kakak perempuanku. Mereka menangis melihatku terbaring lemah di sini.Kabar baiknya, alhamdulillah aku tak mengalami patah tulang. Ya, walau luka dalam di kepala terdengar lebih menyeramkan.Kata dokter, aku akan berangsur pulih perlahan dengan rutin minum obat serta latihan pergerakan otot. Dengan catatan aku harus menyimpan banyak stok sabar di sini, sebab membutuhkan banyak waktu menuju proses penyembuhan dan pemulihan.“Ya Allah anak ibu ... alhamdulillah masih dikasih kesempatan hidup,” ucap ibu seraya mengelus lembut wajahku. Tangannya lalu turun menggenggam tangan ini.Terasa hangat dan nyaman.Bapak masih diam, tetapi aku lihat ia lebih cemas dibanding siapa pun. Kakak tak bisa berhenti menitikkan air mata, sampai aku terharu begini. Ternyata mereka beg
“Baang!”Inginnya kutangkap tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukan, tetapi sayang tak bisa terhalang luka yang menyakitkan. Yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya berlari ke arahku dengan mata berkaca.“Vivi,” gumamku kembali memanggil namanya.Mataku mendadak panas. Segumpal cairan bening mulai terbendung di pelupuknya, dan aku masih berusaha menahan agar tak jatuh.Jika tak ingat ada mbak-ku, sudah luruh air mata ini.“Abang, masyaallah akhirnya abang sadarkan diri. Maafin Vivi, semua gara-gara Vivi,” sesalnya meraih jemariku. Dia menggenggam cukup erat. Dia menangis di sampingku tanpa peduli dengan keberadaan kakakku. Dasar.“Bukan salah siapa-siapa. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua sudah takdir. Allah yang telah mengatur semua,” Aku berusaha meyakinkannya agar dia tak lagi menyalahkan diri lagi.Coba lihat saja betapa kasihan pacarku ini. Matanya sembab, wajahnya kusam. Pasti dia telah melewati tiga malam dengan tangisan. Pasti kurang istirahat karena aku. Dia pasti mend
Dua hari ke belakang aku sering merasa pusing sekali. Terkadang pandangan berputar layaknya seperti diri ini sedang naik wahana roaler coaster.Terkadang juga timbul rasa mual dibarengi dengan kilasan-kilasan kecelakaan malam itu amat menyiksa.Ketika aku mengadu kepada dokter, katanya wajar. Itu adalah bagian dari trauma yang kualami. Ya Allah, ada saja cobaan. Sudah pusing karena terus-terusan disuruh minum obat setiap hari, bahkan disuntik sesekali. Sekarang ditambah dengan trauma segala.Kuharap semua segera berlalu. Aku ingin kembali pada aktivitas biasaku. Menjalani hari-hari sibuk di kantor, lalu melewati waktu libur bersama Vivi.Dalam insiden itu, motor kesayanganku jadi korban. Dia harus berada di bengkel untuk beberapa waktu agar keadaannya kembali seperti semula.Jangan tanya aku rugi berapa, yang jelas tabunganku terkuras hampir habis untuk mengganti rugi pada pemilik minibus yang kendaraannya rusak gara-gara aku main pindah jalur sembarangan. Tak terbayang andai orang tu
Mentari mulai undur perlahan, tergantikan oleh pekatnya malam yang gersang.Aku duduk di teras depan sembari menikmati segelas susu putih. Kulihat bayangan diri dari cahaya lampu yang menyorot dari atas kepala. Sesekali memainkan kaki agar bayangan yang terlihat nampak lucu.Sudah hampir dua minggu aku terkungkung dalam sakit hasil kecelakaan. Hari ini keadaanku sudah terasa sangat baik, walau memar dan bekas luka goresan masih belum hilang, bahkan beberapa belum mengering.Keluargaku sudah pulang kembali ke kampung setelah benar-benar merepotkan Nyak Marni di sini. Aku merasa tidak enak, tetapi diri ini tak bisa berbuat apa.Ibu, bapak, serta mbak-ku merencanakan pulang kemarin malam dan pergi tadi pagi. Setelah memastikan aku baik-baik saja dan sudah bisa kembali pada aktivitas sehari-hariku, mereka pemitan.Tak ada yang bisa kuberi untuk mereka bawa pulang. Hanya doa setulus hati juga harapan agar keselamatan selalu menyertai.Malam ini aku kembali menghuni kamar kos sendiri. Rasan
Hampir tiga minggu diam di rumah membuat otot terasa dipaksa kerja keras ketika kembali aku memulai aktivitas seperti waktu-waktu yang telah berlalu.Pagi ini aku sudah siap kembali pada dunia sibuk kantor. Malu kalau lama-lama ambil cuti. Merepotkan orang lain saja. Beruntung bos-ku itu baik hati dan ekstra sabar.Selama aku tak bisa bekerja dahulu, ia memberi keringanan berupa cuti panjang. Bahkam diberi tunjangan kecelakaan. Padahal, itu murni kecelakaan di jalan, bukan di perusahaan. Pak Wahyu memang paling the best.Drrt! Drrt!Ponselku bergetar di meja. Saat kulihat pesan dari siapa, ternyata dari pujaan hati. Kuraih ponsel baru ini hati-hati, takut jatuh dan rusak. Kemarin malam setelah kejadian amuk-mengamuk Nyak Marni karena makanan, teman-teman kantor datang menjenguk untuk kedua kali. Tanpa kuduga mereka juga memberiku ponsel baru hasil patungan.Rasa haru malam itu tak dapat kubendung. Tanpa tahu malu menangis di hadapan mereka.Sela juga ikut. Aku menyarankannya untuk men
Dunia terasa berhenti berputar sekarang. Aku bagai terperangkap dalam keterkejutan tak bertepi.Fadlan akan pulang? Percaya tak percaya aku berani memikirkan pertanyaan itu.Ini tidak benar. Harusnya aku senang mendengar kabarnya akan pulang ke tanah air. Tapi apa yang kulakukan? Malah mematung sempurna di hadapan komputer seperti orang bodoh begini.Setelah sekian lama pergi dan kadang memberi kabar kadang tidak, kenapa mendadak ada kabar yang ... jujur saja aku tak ingin tahu.“Ini terlalu kejam, bukan? Aku baru saja memulai kisah cinta bersama Vivi.” Diri ini bergumam egois.Dari sekian hal yang dipikirkan, kenapa masalah hubunganku menjadi beban paling berat sekarang? Apa kaitannya dengan kepulangan Fadlan?Harusnya aku sudah siap ini akan terjadi. Namun, tak pernah sekali pun mengangka waktunya akan secepat ini.Ya Allah, apa yang harus kulakukan ketika dia sudah puang nanti? Apa yang harus kukatakan nanti andai dia menanyakan soal Vivi? Bagaimana caraku memberitahu kalau perempu
Kalian tahu, sejak aku resmi berpacaran dengan anak ibu kosan, sedikit-sedikit ngaca. Sedikit-sedikit poles rambut. Sedikit-sedikit semprot parfum. Yah, pokoknya serba sedikit-sedikit lebay.Aku terdiam sekarang ketika sedang menghadap cermin. Pikiranku jauh melayang pada kenangan masa lalu ketika sebelum Fadlan pergi ke negri tirai bambu.Sisir warna biru masih lekat kupegang. Namun, benda itu hanya menganggur.Terpikir kata-katanya yang menurutku adalah sihir paling pamungkas. Tidak, lebih tepatnya sebuah sumpah yang dia ucapkan dengan nada riang.Saat itu dia sedang sibuk menulis list rencana PDKT. Persis duduk menghadap jendela di sampingku ini. Lalu, aku diam-diam mengintip kelakuan konyolnya dan nyeletuk mengatai Fadlan lebay.Yang paling membuatku ingat adalah tawa renyahnya. Dia sama sekali tak peduli dengan ejekanku, justru dengan bangga menunjukkan isi list itu tanpa ia tahu aku sudah melihatnya lebih dulu.Dengan lantang dia menyumpahiku. Katanya suatu saat aku juga akan me
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend