Lula menoleh kearah Jaka dan menatapnya. Namun, ia sama sekali tak berani menatap Lula. Ia memegang tangan Lula erat namun tak disangka ayahnya berteriak dan melarangnya.
"Lepaskan! Siapa yang mengijinkan kalian pegangan tangan?" Jaka seketika melepaskan tangan Lula kemudian berlalu pergi ke toilet. Ia meninggalkan Lula sendirian dihadapan orang tuanya."Siapa namamu?""Lula pak.""Sudah berapa lama kamu kenal Jaka?""Sekitar 4 bulanan.""Kenal 4 bulan lalu menikah? Begitu?""Iya pak.""Dari mana asalmu? Apa pekerjaan ayah dan ibumu?" Awalnya Lula masih menjawab pertanyaan ayahnya dengan baik. Namun, setelah mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan orang tuanya, disitu Lula merasa seperti ia akan menyentuh harga diri keluarganya."Kamu tahu tidak siapa Jaka? Dia itu seorang polisi yang dihormati di desanya, semua orang di desanya membanggakan dia!" Dan ternyata dugaan Lula benar. Seteng"Kemaren sok sok an berani deketin kamu. Sok sok an berani bilang sama orang tuamu. Tapi tadi apa? Malu kalik sama profesi."Jaka terus terusan menghubungi ponsel Lula. Namun, tak ia hiraukan sama sekali. Lula yang perasaannya tidak karuan masih betah berada di resto bersama Bi dan Fafa saat ini. Hingga akhirnya Jaka kembali lagi menyusulnya ke resto dan memohon padanya untuk kembali pulang bersamanya. Karena tidak enak hati pada Bi dan Fafa akhirnya Lula iyakan ajakannya. Sesampainya di kos, Jaka mengusap air mata Lula."La, apapun yang terjadi kamu jangan pernah ninggalin aku ya? kita hadapi ini sama - sama ya!""Apa kamu bilang? sama - sama? membiarkanku menghadapi orang tuamu sendirian, itu yang kamu sebut sama - sama?""Maafin aku La, sebenarnya aku bisa jadi polisi seperti ini juga berkat orang tuaku yang membiyayai ku. Lina calon istriku dan keluarganya juga memiliki andil banyak dalam keberhasilanku.""Kenapa kamu harus
"Gak ngrepotin kok, biar kalian betah disini hehe." Ibu Fafa terlihat bersemangat menyajikan masakannya."Kamu kenapa nduk?" Setelah ibunya pergi, Fafa berani bertanya pada Lula. Lula menceritakan semua kejadian yang ia alami padanya."Dia punya pikiran gak sih? Orang lagi hamil kok di kasarin. Tega banget mau nyelakain darah dagingnya sendiri." Fafa sangat geram mengetahui kelakuan Jaka."Banci tuh dia! beraninya kasar sama perempuan. Mana lagi hamil anaknya sendiri lagi." Bi yang sangat geram ikut menimpali."Kemarin aja sok sok an di depan Lula, eeeh taunya di depan keluarganya mlempem kayak krupuk di rendem minyak. Perjuangin darah dagingnya sendiri aja gak berani. Dihh apaan laki banci begitu.""Apa kabar tuh kalau temen - temennya tau mentalnya kayak tempe begitu. Malu - maluin kepolisian aja.""Mending kamu visum deh La buat jaga - jaga kalau Jaka berani nyelakain kamu lagi.""Nanti kalau mereka mojo
Drrrt Drrrrt DrrrrtLula terbangun dari tidurnya lantaran mendengar suara bising yang berasal dari ponselnya. Ia segera meraih ponselnya dengan sedikit menyipitkan mata karena terkena pantulan cahaya yang sangat silau dari layar ponsel. Terlihat angka 06.00 saat ia mengusap layar pada ponselnya."Siapa pagi-pagi begini?" karena masih sangat ngantuk, mulutnya otomatis bergumam. Ia mendapati pesan dengan nomor baru di notifikasi ponselnya."Hallo Lula, ini aku Lina. Kita harus ketemu, sekarang aku ada di dekat rumahmu." ~LinaLula segera menemui Lina setelah ia memberitahukan lokasinya. Ia berada di taman yang tak jauh dari rumah Lula. Saat Lula perhatikan, ia terlihat duduk di kursi taman seorang diri."Ada perlu apa?" Lula langsung melemparkan pertanyaan tanpa basa-basi."Kamu sehat kan La?" Lina yang sebelumnya duduk seketika berdiri setelah melihat kedatangan Lula."Iya.""La, aku paham posisi
Hari ini Lula tertidur hingga sore, mungkin karena terlalu lelah menangis. Atau karena lelah memikirkan semua masalah yang sedang ia hadapi, apalagi hari sebelumnya banyak kejadian yang mengganggu pikirannya."La bangun La!""Iya ada apa buk?""Jaka dateng tuh.""Hah? sama siapa?""Gak tahu, belum turun dari mobil. Coba kamu liat deh!"Lula segera keluar dari kamarnya menuju ruang tamu dan melihat keluar jendela. Jaka terlihat keluar dari dalam mobilnya seorang diri. Ia berjalan mendekat ke pintu rumah Lula. Lula segera membukakan pintu sebelum ia mengetuk. Lula masih menyambutnya dengan baik dan mencium punggung tangannya selayaknya seorang istri."Ini bawa masuk!" Jaka memberikan tasnya kepada Lula yang kemudian ia masukkan kedalam kamar.Lula kembali menemaninya duduk diruang tamu setelah kedua orang tua Lula selesai menyapanya dan kembali lagi kedalam meninggalkan mereka berdua."K
"Kami mau memberi penawaran untuk Lula, kamu mau tetap tinggal dikos kami rawat dan biayai selama hamil setelah anaknya lahir serahkan pada kami, atau kalau tidak mau menyerahkan anak ini yasudah kami lepas tangan tidak akan membantu apapun dan tidak mau tahu menahu lagi dengan kehidupan kalian." Bagi Lula, Ayah Jaka memberi penawaran yang tidak manusiawi."Saya memilih untuk merawat anak ini sendiri tanpa gangguan kalian sama sekali!""Sebentar mba, apa mba Lula sudah yakin? coba pikirkan lagi gimana kedepannya. Apa mba Lula benar - benar sanggup merawatnya sendiri?" Bima memastikan lagi jawabannya."Emang kamu gak malu apa kalau nanti tetangga taunya kamu hamil gak ada suaminya?" Tari melemparkan pertanyaan lagi."Enggak! Kenapa harus malu? Saya tanggung jawab merawat anak ini. Untuk apa saya mempertahankan lelaki kasar kayak Jaka yang bermental pengecut dan gak bertanggung jawab?""Kasar gimana maksud mba Lula?" Bima bertanya
Setelah ayah Jaka keluar, bapak Lula segera menutup pintu dengan keras. Sedangkan mereka masih ada di teras rumah, bapak tidak peduli tanpa menunggu kepergian mereka semua. Lula segera masuk kedalam kamar dan menangis sejadinya."Udah gak usah di tangisin!" bapak terlihat geram. Ibu memeluk dan menenangkan Lula.Lula menangis bukan karena patah hati pada Jaka, tapi ia sedih karena mengingat anaknya yang kini ada didalam rahimnya. Anak yang tak berdosa dan terjadi atas dasar cinta, harus ditolak oleh ayah kandungnya nya sendiri. Bahkan, diusianya yang masih 4 bulan dan masih didalam perut dia sudah tidak diterima oleh ayahnya dan keluarga ayahnya. Betapa malangnya anak ini.Bahkan, Lula lebih beruntung waktu seusianya dulu. Tapi kenapa ia membuat anaknya tidak beruntung seperti dirinya? Lula mengutuki dirinya sendiri merasa bersalah pada anaknya.Bagaimana bisa ada manusia yang tega menolak darah dagingnya sendiri dan sangat egois hanya mem
Beberapa bulan berlalu hanya Lula habiskan di rumah. Perutnya yang semakin hari kian membesar membuat gerak geriknya sangat terbatas karena tak mau mengundang perhatian tetangga. Jika hanya Lula yang dapat makian dari tetangga, tak masalah. Namun, jika orang tuanya yang harus mendengar ocehan pedas tetangga, Lula tak bisa membiarkannya.Sudah berhari-hari Lula memikirkan untuk tinggal ditempat lain agar orang tuanya tak harus menanggung malu, setidaknya hanya untuk saat ini. Lula merasa ingin pergi sejauh mungkin dari orang-orang yang berhubungan dengan Jaka. Ingin melupakan semuanya dan mulai kehidupan baru yang bahagia bersama anaknya tanpa ada gangguan."Pak, bu, kalau misal untuk sementara Lula tinggal diluar kota dulu gimana?" Akhirnya Lula memberanikan diri meminta pendapat kepada kedua orang tuanya saat makan malam bersama setelah semalaman tak bisa tidur memikirkannya."Kenapa? perut besar begitu memangnya mau pergi kemana La?" raut wajah ibu
"Hallo La?""Hallo kak Ayya, kenapa?""Kamu udah di Jawa Timur sekarang?""Iya nih kak.""Kebetulan banget, aku juga ditugaskan dikantor cabang Jatim nih.""Eh beneran kak? Serius?""Iya, kirim alamat kamu deh! nanti aku kesitu.""Oke kak, wa ya.""Sip bye, see ya."Lula merasa sangat senang karena tanpa diduga akhirnya ada juga teman di kota rantau ini. Rasanya lebih tenang, jika ada sesuatu bisa saling berbagi tak ia pendam sendiri lagi.***Lula sedang sibuk mencari informasi alamat bidan praktik terdekat melalui mesin pencarian yang ada di ponselnya. Selain dari itu, ia juga sempat bertanya pada beberapa tetangga yang lebih tahu daerah yang ia tempati saat ini. Karena sudah waktunya untuk Lula periksa kondisi kehamilannya.Setelah mendapatkan beberapa informasi, Lula berencana untuk segera pergi ke bidan praktik tersebut.Tok tok tok.
Lula menjalani hidup selama 4 tahun terakhir ini seorang diri tanpa Ben. Ia membesarkan Raden dengan tangannya sendiri. 4 tahun sudah ia melewati semuanya. Ini adalah waktunya Raden masuk ke sekolah."Om? ada berapa uangku sekarang?" Waktunya untuk Lula menarik seluruh investasinya."Sekitar 20 milyar La." ya, investasi yang telah ia diamkan selama 4 tahun itu kini sudah terkumpul sebanyak itu.Hari ini dia datang kekantor tempat Om Dul bekerja untuk mencairkan uangnya. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Detik ini juga ia berubah menjadi seorang milyarder.Lula sangat senang karena akhirnya ia siap memasukkan Raden disekolah International terbaik di kotanya. Cita-cita yang selama ini ia impikan, akhirnya berhasil ia wujudkan.Perhitungannya sangat tepat, tanpa meleset sedikitpun. Meskipun selama 4 tahun ini ia hidup dalam kesederhanaan. Selalu menerima hinaan dari keluarga Jaka, tapi kini akhirnya ia bisa terlepas dari sem
Raden tertidur dalam pangkuan Ben dengan sangat nyenyak. Ia mungkin lelah hingga membuatnya tertidur di pangkuannya."Gua balik dulu ya?" Ben pamit pada Lula setelah meletakkan Raden ditempat tidurnya."Iya. Makasih ya Ben." Ben mengusap ujung kepala Lula dengan lembut, ia kemudian berjalan keluar dari kamar Lula."Langsung balik ke kota? gak tidur dirumah?" Ibu berjalan menghampirinya."Iya Buk. Besok pagi saya harus terbang ke Jakarta." Ben mencium tangan Ibu kemudian berjalan keluar dari rumah Lula. Lula pun berjalan mengikutinya dari belakang."Oh gitu? ya udah hati-hati. Makasih banyak ya Le." Ibu menepuk pundak Ben dua kali, mengungkapkan rasa terima kasihnya secara tidak langsung."Berapa lama di Tambun?" Lula memasukkan kepalanya ke pintu mobil Ben yang kacanya masih terbuka."Kenapa? gak mau lama-lama pisah ama gua ya? hahaha." Lula mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Ben. Ben pun mengusap waja
Lula mengerjapkan matanya perlahan, masih menyipitkan matanya menyesuaikan biasnya pantulan sinar matahari yang masuk kedalam kamar Ben. Ia tersenyum saat melihat Ben sedang memperhatikan wajahnya dari dekat."Bangun yuk! sarapan." Ben mengusap wajah Lula pelan. Membuat Lula menyunggingkan senyuman dan segera beranjak dari tempatnya."Gua pengen makan gudeg!" Lula berjalan menjauh dari tempat tidur dan masuk kedalam kamar mandi meninggalkan Ben begitu saja.Sesaat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan segera berjalan ke dapur karena sudah tak melihat keberadaan Ben dikamarnya."Nih diminum!" Ben memberikan segelas susu untuk Lula. Ia kemudian duduk didepan Ben.Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu rumah berbunyi."Bentar gua ambilin makannya dulu." Ben bergegas berjalan ke pintu untuk menerima kiriman makanan yang ia pesan.Sedangkan Lula sudah menyiapkan piring untuk tempat mereka makan. Ben mel
"Ayo sekarang makan!" Ben menarik nafasnya panjang, mencoba menahan emosi dan perasaannya yang sedang campur aduk. Ia juga tak sanggup melihat wajah Lula yang terlihat pucat. Sedangkan Lula terus menangis dan menggelengkan kepalanya, menolak ajakannya.Ben beranjak dari duduknya, ia berdiri dan hendak melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar meninggalkan Lula. Namun Lula segera memegang tangannya erat."Jangan seperti itu." Lula kemudian berdiri dibelakang tubuh Ben dan semakin mengeratkan tangannya. Ben hanya terdiam tak bergeming dari tempatnya."Gua ngandelin lu banget. Gua jadi makin kuat karna lu. Gua gak takut apapun saat memikirkan ada lu dibelakang gua. Gua salah, gua gak akan kayak gitu lagi. Jadi, jangan pernah pergi tanpa bilang apapun sama gua. Sejak Raden hadir, ditinggalkan adalah hal yang paling menakutkan buat gua." Tangis Lula makin pecah, ia membenamkan wajahnya di punggung Ben."Kalau gitu, lu mau makan sekarang?" Be
Lula mengeluarkan SIM dan STNK nya dari dalam dompetnya. Ia kemudian menyerahkannya pada polisi yang menilangnya."Mba tahu apa kesalahannya?" polisi itu menyimpan surat-surat kendaraan Lula."Tau Pak." Lula menganggukkan kepalanya."Mau bayar denda sekarang apa sidang?" polisi itu bertanya tanpa basa basi lagi."Sidang aja Pak." Lula yang saat ini keadaannya sudah kacau, memutuskan untuk menyerah. Ia pasrah, mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan Ben pikirnya."Ya udah kalau gitu ikut saya kekantor sekarang!" Lula terpaksa mengikuti polisi itu dari belakang karena surat surat kendaraannya sudah ditahan.Lula memasuki kantor kepolisian dengan motor bututnya. Ia kemudian memarkirkannya disebelah motor polisi yang tadi membawanya. Ia melepas jas hujannya yang sama sekali tak melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Seluruh badannya basah kuyup, ia kedinginan. Sebagian rambutnya juga basah, hanya bag
Setelah kepulangan Tante Nda sekeluarga, Lula terlihat bersantai di sofa empuk yang ada didepan tv dengan sangat nyaman. Ditambah malam itu Raden sudah tidur, mungkin karena lelah seharian bermain bersama yang lain."La! anterin makan buat Ben sana!" Ibu menghampirinya, ia memberikan 1 kotak makan berukiran besar padanya."Aaah malas Bu!" Lula membalikkan badannya, ia menyembunyikan wajahnya."Cepetan sana! kasian dari tadi dia belum makan." Lula seketika beranjak, ia tiba-tiba ingat seharian Ben belum makan. Ia meraih makanan itu dari tangan Ibu dan berjalan keluar dari rumahnya.Lula masih berdiri didepan pintu, ia terlihat ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumah Ben.Tok! Tok! Tok!Tak ada sahutan sama sekali, Lula kemudian mencoba untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia hanya memasukkan kepalanya saja dan kemudian mengedarkan pandangannya kedalam rumah Ben yang masih tampak gelap itu.Brak!
"Gua tau duit lu banyak! tapi gak usah bayarin semua belanjaan gua juga kali. Sia-sia gua lari-larian nyari diskon. Tau gitu tadi gua pilih semua yang paling mahal aja." Lula terus mengomel sepanjang perjalanan menuju mobil."Hahaha salah sendiri daritadi lu repot." Hari ini Ben benar-benar dipenuhi kebahagiaan, karena bisa menghabiskan waktu bersama Lula yang terus bertingkah lucu.Mereka berdua memasukkan kantung belanjaan satu persatu kedalam mobil dari trolly. Sedangkan Lula yang terlihat kelelahan itu tetap terus menerus mengomel pada Ben."Ayo beli minum dulu!" Ben mengusap keringat di wajah Lula dengan lembut, ia kemudian menarik tangan Lula dan membawanya masuk kembali kedalam mall untuk membeli minuman. Lula yang dari tadi terus mengomel seketika terdiam karena sikap Ben yang tiba-tiba lembut padanya, membuat jantungnya kembali berdegup kencang."Duduk disini ya! gua pesenin hazelnut milk tea large ya?" Ben menarik kursi untuk Lul
"La! Raden tidur tuh!" Benny keluar dari kamarnya, ia kemudian menutup pintu kamarnya pelan agar tak membangunkan Raden."Iya kah? kalau udah mandi terus kenyang pasti langsung ngantuk tuh anak." Lula terlihat duduk di sofa ruang tengah rumah Ben."Kenapa lu nyari gua?" Ben berjalan mendekat dan duduk disebelah Lula. Ia meraih remot tv yang ada dimeja dan menyalakannya untuk menghilangkan keheningan antara mereka berdua."Nih sinyal laptop gua ilang lagi." Lula membuka laptopnya untuk menunjukkannya pada Ben."Oh kayak dulu itu ya? nih laptop penyakitnya emang gini La." Ben meraih laptop yang ada dipangkuan Lula. Ia kemudian fokus memperbaikinya, bukan hal yang sulit baginya karena dulu dialah yang sering memperbaiki kerusakan pada laptop Lula.Mereka berdua fokus menatap layar laptop secara bersamaan. Dalam hati Ben merasa senang karena bisa kembali dekat dengan Lula menjalani kembali masa-masa indah dulu."Ini pasti
Mata Lula masih terpejam. Namun, tangannya sudah bergerak-gerak disampingnya seperti sedang mencari sesuatu. Ia tiba-tiba mengerjapkan matanya ketika sadar tangannya tak menemukan sesuatu. Ia memutar kepalanya kesamping, dan benar saja. Ia tak menemukan Raden ditempatnya."Buuuk! Ibuuuk." ia bergegas keluar dari kamarnya sambil berteriak mencari Ibunya."Kenapa sih teriak-teriak?" Ibu terlihat sedang sibuk memasak di dapur."Raden ilang Buk. Raden mana?" ia benar-benar khawatir karena ini pertama kalinya ia tak menemukan Raden disampingnya saat pertama kali ia membuka matanya."Ngomong apa sih kamu? Raden didepan tuh!" Ibu tak tahan mendengar Lula yang terus-menerus berteriak tak jelas. Mendengar perkataan Ibu, Lula segera berlari keluar mencari keberadaan anaknya."Nak! Raden! Raden!" ia celingukan mencari keberadaan Raden."Mamaaa!" Raden yang sedang berada di punggung Ben terlihat melambaikan tangannya kearah Lula.