Bab 7. Bukan Lelaki Peka

Detik jam terus berputar, kini jam di dinding menunjuk pukul satu malam. Aku menatap lelaki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku, dia telah terlelap. Secepat itukah dia bisa tidur saat menghadapi masalah besar? Ya, menurutku ini adalah masalah yang sangat besar.

Kenapa hanya aku yang bersedih? Mas Amar terlihat biasa saja. Aku merapikan rambutnya, bibir pun berkata, "aku sangat mencintaimu, Mas. Bagaimana mungkin aku bisa berbagi dengan perempuan lain? Aku tidak mungkin kuat melihatmu bermesraan dengan istri barumu. Aku meminta cerai bukan karena marah atau tak cinta. Aku hanya terlalu lemah."

Mata yang sudah kering, kini basah lagi. Mengingat kembali ucapan Mas Amar beberapa jam lalu, membuat hati sangat teriris.

"Aku tahu, ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Tetapi aku juga layak untuk kamu bahagiakan, Mas. Aku bahkan selalu berbohong pada kedua orangtuaku, mengatakan jika bahagia tinggal di sini. Tetapi sungguh, itu hanya perkataan bohong agar kamu tetap berwibawa dihadapan orang tuaku … Aku rela diam saat dihina oleh ibu dan semua saudaramu, demi kamu, Mas. Apa kamu tidak bisa melihat ketulusanku? … Kenapa semua yang aku lakukan, tidak kamu hargai?"

Hingga kini aku belum juga bisa tidur. Mengingat semua kenangan yang sudah aku dan Mas Amar lewati selama ini. Aku  bahagia, meskipun belum melahirkan seorang anak. Memiliki suami lembut seperti Mas Amar merupakan suatu anugerah untukku.

Namun, apakah aku masih mengagumi Mas Amar  setelah kejadian ini? Mungkin tidak! Aku tidak punya alasan lagi untuk kagum pada lelaki yang terlalu mementingkan perasaan ibunya lalu tega menyakiti seorang istri. Sungguh aku tidak bisa. Aku bukan perempuan sekuat itu.

Sebenarnya aku justru senang memiliki suami yang berbakti pada ibunya. Karena aku juga terus berusaha agar tetap berbakti pada kedua orangtuaku. Tetapi, tidak harus dengan mengorbankan perasaanku. 

"Aku sayang bangat sama kamu, Mas. Dan karena rasa sayangku, aku bahkan tidak peduli dengan setiap rasa sakit yang diperbuat oleh keluargamu. Tidakkah kamu bersimpati padaku?" lirihku sambil membelai wajah Mas Amar. 

Jika sudah tertidur pulas, Mas Amar tidak akan mengetahui keadaan sekitar. Aku sudah delapan tahun tidur satu ranjang dengannya. Telah banyak yang aku ketahui tentangnya. Bahkan kedua orangtua dan saudaranya belum tentu mengetahui itu.

Hingga jarum jam sudah menunjuk pukul tiga dini hari, aku belum juga bisa tertidur. Aku lalu bangun, untuk meminta pertolongan pada Allah. Membentangkan sajadah menghadap kiblat. Aku memulai dengan takbiratul ihram. Air bening keluar dari kelopak saat melaksanakan sholat.

"Ya Allah. Jika memang aku yang harus mengalah, kuatkan hati ini untuk ikhlas. Aku tidak bisa jika terus berada di sini. Selama ini Mas Amar yang selalu menjadi alasan aku tinggal menetap. Kalau dia sudah memiliki wanita lain, belum tentu aku bisa kuat … tidak ada jaminan Mas Amar akan tetap mencintaiku. Bisa saja dia mengingkari janjinya, mencintai perempuan itu,” lirihku ditemani air mata yang terus berjatuhan. Aku menangis sesegukan di atas sajadah.

"Sayang!" Aku terhenti ketika mendengar suara dari belakangku. Suara yang selalu aku rindukan setiap detik. Namun kini menjadi suara yang belum ingin aku dengar.

Aku bahkan tidak menyadari, ternyata Mas Amar telah bangun dari tidurnya. Aku tak ingin menggubris. Biasanya ketika melihatnya sudah bangun, aku akan memeluknya dengan manja. Tetapi kini, bahkan raga tidak kuat untuk berada di dekatnya. Mungkin aku tak akan pernah bermanja-manja lagi.

"Kamu tidak tidur dari semalam?" ujar Mas Amar dengan lembut.

Tak perlu aku menjawab. Aku yakin Mas Amar pasti sudah tahu jawabannya. Tak mungkin aku bisa tidur dalam keadaan suasana hati yang sedang kacau.

"Jangan terlalu dipikirkan, sayang. Kalau kamu seperti ini terus, kamu bisa sakit. Aku tidak mau kamu jatuh sakit … Kamu hanya perlu merestui aku untuk menikah lagi. Itu tidak sulit 'kan? Kamu akan tetap tinggal di sini bersamaku. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Jadi, apa yang harus dipermasalahkan? Aku menikahi perempuan lain karena ibuku yang meminta. Tolong pahami aku!"

Sungguh lelaki ini sangat tidak peka. Apa yang baru saja Mas Amar katakan membuatku murka. Seharusnya dia bisa memilah dan memilih, apa saja yang wajib dipatuhi oleh seorang anak. Tidak semua perintah seorang ibu harus disetujui.