"Ada apa ini, kenapa Arumi dan ibu menangis?" Aku yang sedang menutup wajah dengan kedua tangan, langsung membuka. Tangis semakin pecah ketika melihat ayah. Ya, Ayah nampak kaget melihat aku dan ibu dalam keadaan menangis. "Kamu kenapa menangis, Nak? Ada apa, sayang?" ujar ayah dengan lembut. Kini ayah telah duduk di sampingku. Aku langsung memeluknya dan menangis dalam pelukan. Ayah mengusap punggung belakangku, memberikan ketenangan. "Tadi ada pegawai pos yang datang. Dia membawa ini," ujar ibu dengan suara serak. Ayah perlahan melepas pelukan dan mengambil map yang diberikan oleh ibu. "Apa maksudnya ini, Bu, Arumi?" ujar Ayah dengan terbata. Matanya masih menatap surat. Mungkin ayah sedang mencerna setiap kata yang tertulis. Aku yakin, ayah sangat kaget membaca surat yang kini berada di tangannya. "Mas Amar ingin bercerai, Ayah. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku tidak tahu apa yang sedang Mas Amar pikirkan, sehingga berniat bercerai denganku. Dan aku tidak tahu
Aku memejamkan mata. Meresapi semua kalimat yang terucap dari bibir ayah. Benar yang ayah katakan, aku harus bangkit. Tetapi mampukah aku bangkit? Aku sudah tidak tahu cara untuk bangkit. "Sekarang tanda tangani surat ini, Nak. Tunggu ibu cari pulpen," ujar ibu lalu berdiri dari duduknya. "Mulai hari ini kamu harus berjanji untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ayah tahu itu sulit. Tetapi ayah yakin kamu pasti bisa. Lupakan Amar. Dia bukan lelaki terbaik untukmu. Ayah percaya, diluar sana ada jodoh terbaik yang sudah Allah persiapkan." Aku langsung memeluk ayah. Hati kecil mengucap ribuan syukur. Allah sangat baik, memberiku rezeki terlahir dari keluarga yang sakinah. Jika tidak mendapat support dari ayah dan ibu, aku mungkin sudah memilih untuk mengakhiri hidup. Aku tidak kuat untuk bangkit. Aku tidak kuat untuk bersemangat. "Ayah yakin kamu bisa melupakan Amar." Ayah kembali berkata dengan suara yang lembut. Benarkah aku bisa melupakan Mas Amar? Rasanya sangat sulit. Aku
*** "Dek, kenapa belum makan." Aku tidak menyadari ternyata Mas Riki telah ada di kamarku. Sudah tiga hari dia berada di sini. Mas Arca juga hari ini akan pulang kampung. Mereka rencananya ingin ikut di persidangan besok. "Aku belum lapar, Mas," ujarku pelan. Mataku tetap berfokus pada pemandangan luar jendela. Mas Riki mengusap pelan puncak kepalaku. Dia lalu berkata, "kamu harus semangat, Dek. Kami semua ikutan sedih kalau melihatmu terpuruk seperti ini. Mas tidak rela adik kesayangan Mas jadi begini. Katakan pada Mas, Dek, apa yang bisa mas lakukan untuk membuat kamu ceria seperti dulu lagi." "Aku butuh waktu, Mas. Semuanya terlalu cepat. Aku masih beradaptasi dengan keadaan ini. Besok aku akan bercerai dengan Mas Amar. Aku masih tidak menyangka dengan takdir yang terjadi dalam hidupku." Dadaku kini terasa sesak. Setiap kali mengingat kenangan tentang Mas Amar, rasanya ingin menangis. "Sampai kapan? Sampai kapan kamu begini terus, Dek? Apa dengan kamu terpuruk, rumah t
Saat Mas Riki sedang merapikan rambutku, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Sepertinya Mas Arca telah tiba. "Sudah, jangan sedih lagi. Mas kamu yang satu lagi sudah datang. Jangan sampai dia pergi mengamuk ke rumah Amar karena lelaki itu telah menghancurkan kehidupan adiknya." Aku berusaha tersenyum mendengar guyonan Mas Riki. Aku memang sangat beruntung memiliki dua kakak lelaki yang sangat menyayangiku. Namun ternyata Allah mengujiku pada urusan percintaan. Aku bukan perempuan beruntung karena tidak mendapatkan lelaki penyayang seperti ayah dan kedua kakakku. Telah terdengar suara ribut di luar kamar. Terdengar dari suaranya, ibu bahagia atas kedatangan Mas Arca. Suara yang sama terdengar seperti saat ibu menyambutku dan Mas Riki. "Arumi, Mas mu sudah datang, Nak!" Suara ibu terdengar sangat besar. Bahkan tetangga sebelah bisa saja mendengar. "Yuk kita keluar. Jangan terlalu betah berada di kamar." Setelah berkata, Mas Riki langsung menarik tanganku dengan pelan
"Kehadiranmu di sana sangat penting, Dek. Kamu harus kuat. Dan kita semua harus datang di persidangan besok," ujar Mas Riki sambil menatapku. "Bagaimana kalau aku menangis di persidangan, Mas? Dan dipastikan, aku akan menangis. Bagaimana tidak, aku belum siap dengan perpisahan ini. Namun dipaksa untuk siap." Semua orang terdiam. Aku lagi-lagi kembali menangis. Ya, aku tak ingin datang di persidangan karena rasanya akan sangat sakit. "Semua ini salahku. Dulu, aku memang yang pertama mengatakan pada Mas Amar ingin bercerai. Namun, dalam hati kecil mengharapkan agar Mas Amar tidak mengikuti keinginan ibunya dan bisa berubah. Bukan karena benar-benar ingin bercerai. Mungkin Mas Amar mengira jika aku memang sudah ingin pisah darinya. Makanya mengambil keputusan ini," ujarku sambil menangis tersedu. "Kamu tidak salah, Dek. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Amar bukan lelaki bijak dan dewasa. Jika dia lelaki yang bisa berpikir dewasa, seharusnya dia mengerti maksud keinginanmu. Kalau pe
Detik jam terus berputar. Kini sudah lewat jam tiga dini hari. Aku belum bisa juga memejamkan mata. Memang sekarang aku sangat susah tidur. Tetapi sudah tiga hari ini, aku bisa tidur di jam 1 malam. Ya, aku masih saja memikirkan yang terjadi nanti. Jiwa tidak tenang. Sebenarnya aku belum siap untuk bertemu Mas Amar. Tetapi demi orang tua dan kedua kakak, aku akan berusaha. "Bagaimana nanti jika aku tidak bisa menahan tangis di persidangan? Bagaimana nanti jika keluarga Mas Amar mengejekku karena melihat badanku yang semakin kurus? Bagaimana nanti jika istri kedua Mas Amar merendahkan aku, karena aku tak secantik dirinya? Dan bagaimana nanti jika ibu mertuaku berkata-kata kasar," ujarku lirih di kesunyian malam. Aku diselimuti banyak ketakutan. Apa semua orang yang akan bercerai merasakan hal yang sama? Tetapi di luar sana banyak perempuan yang bahagia ketika keluar dari ruang persidangan. Apa di dunia ini hanya aku perempuan lemah, menangis saat akan menghadapi perceraian? Mung
"Orang di kampung ini tidak ada yang tahu kalau kamu akan bercerai, Nak." Ibu menoleh padaku sejenak. Lalu kembali mengaduk nasi. "Dunia ini sempit, Bu. Kita tidak tahu, mungkin saja ada yang menyebarkan. Apalagi keluarga Mas Amar mulutnya naudzubillah. Mereka pasti sudah lama menyebarkan, sejak surat cerai dikirimkan padaku," ujarku sambil menatap kosong ke depan. Ibu menarik napas lalu berkata, "ya sudah, tidak apa-apa. Kamu di rumah saja dengan ibu." Sepertinya ibu sedang berusaha agar aku tidak terpuruk terus. Hanya saja aku masih takut bertemu orang-orang. Aku takut menghadapi pertanyaan memojok dari banyak orang. Bukannya berburuk sangka dengan keadaan, hanya saja waspada agar tak terjadi itu penting. "Dek, yuk temani mas jalan pagi. Mas mau olahraga," ujar Mas Arca yang kini telah rapi dengan pakaian olahraganya. Baju yang dia pakai itu baju lama. Ternyata masih saja pas di badannya. "Nggak ahh. Aku di rumah saja, Mas. Semalam aku tidak bisa tidur. Mana bisa olahraga." Ma
Aku terdiam cukup lama. Ya, aku sangat tidak ingin ayah dan ibu jatuh sakit. Apalagi karena memikirkan aku. Hanya saja saat ini aku sungguh membutuhkan waktu untuk bisa tertawa dan bahagia seperti dulu. Di dunia ini mana ada sih orang yang bisa tetap tertawa bahagia saat sedang dilanda masalah? Aku rasa hanya orang gila yang melakukan itu. "Mas mengerti, Dek. Semua ini pasti sangat berat untuk kamu lewati. Hanya saja kalau kamu tidak pernah mencoba untuk bangkit, kapan kamu bisa. Untuk bisa kembali semangat, kamu perlu mencoba. Dan selagi Mas masih di sini, mas ingin membantumu. Kamu boleh sedih, tetapi jangan berlarut dalam kesedihan. Itu sama saja kamu tidak setuju dengan takdir yang Allah buat untuk kamu." Aku menoleh, melihat Mas Arca. Bibir tergerak untuk berucap, "kenapa Allah mentakdirkan aku berjodoh dengan Mas Amar, jika pada akhirnya kami harus di pisahkan. Aku hamba yang terlalu banyak berbuat dosa ya, makanya Allah memberikan ujian yang sangat berat? Allah tidak sayang
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t