Pertanyaan Ji Hwan itu tak mampu langsung dijawab oleh Amara. Meski ingin, dia tak bisa langsung menyatakan persetujuan. Berbeda dengan Sophie yang tak keberatan membuat keputusan saat itu juga.
“Aku sih, oke, Ji Hwan. Asalkan Amara juga pergi,” ujarnya sambil mengangguk mantap.
“Makasih, Soph. Cuma ada om, tante, dan sepupu-sepupu dari keluarga papaku.” Ji Hwan mengalihkan tatapan ke arah Amara dan menatap gadis itu dengan penuh harap.
“Nggg, nanti kukabarin lagi, ya? Aku belum tau apa bakalan bisa datang atau nggak, Ji Hwan. Karena aku nggak tau apa keluargaku punya acara atau sebaliknya,” respons Amara. Itu jawaban paling aman untuk saat ini.
Sophie membuka mulut sebelum Ji Hwan merespons. “Lagian, tahun baru masih dua mingguan lagi, kan? Mudah-mudahan Amara nggak ada acara apa pun.”
Sebelum mereka berpisah, Ji Hwan sempat bicara pada Amara dengan suara pelan. “Kuharap kamu
Selama beberapa detik, Amara merasa lumpuh. Dia tak mampu melakukan apa pun kecuali mengerjap. Gadis itu tak sanggup bergerak untuk keluar dari mobil. Padahal, pintu sudah terentang dan Cello tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya bergerak. Cowok itu tak memegang tangan Amara, misalnya. Cello cuma menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa diterjemahkan maknanya oleh Amara.“Kamu sengaja nyari masalah? Nggak takut kalau aku beneran lapor polisi? Kenapa kamu seenaknya masuk ke dalam mobilku? Dulu kan kamu udah janji kalau bakalan ninggalin Jakarta,” cerocos Amara begitu dia mampu untuk membuka mulut.“Aku tau, Mara. Apa pun yang kuomongin, nggak akan bikin kamu mau maafin aku. Atau ngubah hubungan kita supaya bisa kayak dulu lagi. Tapi, menurutku, tinggal di Australia sama sekali nggak ngeberesin masalah kita. Aku tersiksa karena banyak alasan. Mulai dari rasa bersalah karena pernah gelap mata dan bikin kesalahan fatal sama kamu. Sampai ninggalin tang
Seperti biasa, Sophie langsung mengendus ada yang tidak beres dengan sahabatnya begitu mereka bertemu. “Kamu kenapa? Berantem sama Ji Hwan?” tebaknya.“Kami belum pernah berantem,” aku Amara.“Jadi, kamu kenapa?” ulang Sophie. “Kamu agak pucat dan keliatan suntuk, Mara.”Amara mendesah. Dia memeriksa jam tangan dan tahu bahwa dirinya tak punya waktu untuk membahas apa yang terjadi beberapa jam silam dengan Sophie.“Nanti aja deh ceritanya. Kelasnya udah mau dimulai,” katanya. Kalimat Amara baru saja tuntas saat dosen yang akan mengajar memasuki ruang kelas. “Tuh, kan! Pak Amri udah datang. Mari kita belajar,” dia mencoba bergurau.Selama mengikuti perkuliahan, Amara kehilangan konsentrasi. Hal yang sama pun terjadi saat kuliah pertamanya tadi. Wajah dan kata-kata Cello berputar di benak Amara terus-menerus. Gadis itu juga menyesal karena tak melakukan apa pun.Semestinya
Sophie terdiam selama beberapa saat. “Kamu harus lapor polisi, Mara. Orang kayak gitu jangan dibiarin. Aku kok cemas dia bakalan nguntit kamu ke mana-mana.”“Soph, jangan nakut-nakutin, dong!” Amara bergidik.“Astaga, aku nggak nakut-nakutin! Tapi itu kan mungkin terjadi,” Sophie membela diri. “Kalau kamu berniat mendatangi rumah orangtua si Monster untuk ngelaporin kelakuan anaknya, aku ikut. Atau, kalau kamu mau lapor ke polisi, aku pun ikut.”Kata-kata Sophie itu memberi ide pada Amara. “Kenapa selama ini aku nggak pernah terpikir untuk ngomong sama orangtuanya Cello, ya? Waktu dia pertama kali datang ke sini, mamaku yang ketemu sama mereka. Padahal, harusnya aku bisa ikutan. Karena masalah yang mereka bahas itu berkaitan sama hidupku.”Sophie beranjak dari tempat duduknya. “Yuk, kita keluar dulu. Sebentar lagi kelasnya akan dipakai. Aku nggak mau kita diusir dari sini,” selorohnya
Amara menyetir setenang yang dia bisa. Ide untuk bertemu dengan Connie tak pernah terpikir sebelumnya. Amara sendiri tidak tahu apa yang akan ditemukannya nanti. Dia cuma bisa berharap semoga orangtua Cello mau berusaha lebih keras untuk menjauhkan putra mereka dari Amara.“Kamu kenal baik sama mamanya si Monster, ya?” tanya Sophie setelah mobil yang mereka tumpangi menjauh dari halaman parkir Fakultas Ilmu Komunikasi.“Kenal baik, malah. Karena udah lama temenan sama dia, kenal sama orangtuanya sejak lama. Sesekali, aku main ke rumahnya bareng temen-temen yang lain. Terakhir kali ketemu Tante Connie, waktu keluarga si Monster datang ke rumahku untuk ngebahas rencana pernikahan dan sebagainya itu,” ungkap Amara.Gadis itu tetap menatap ke depan, meruahkan konsentrasinya ke jalanan. Sophie terdiam beberapa saat sebelum kembali buka suara.“Apa korban perkosaan itu memang sulit banget dapat keadilan ya, Mara?”Pert
Connie tampak benar-benar terperanjat. “Apa? Cello datang ke kampusmu lagi?”Amara tidak tahu apakah perempuan itu memang benar-benar tidak mengetahui tingkah putra kesayangannya atau hanya berpura-pura. “Iya, Tante. Ini yang kedua kalinya. Yang pertama, beberapa bulan lalu. Tante dan Mama pernah ngomongin masalah itu, kan?”“Iya, Mara. Waktu itu Tante nggak tau kalau Cello balik ke sini. Sekarang pun kondisinya sama. Tante kira dia masih di Australia. Kemarin itu, Tante dan Om nyari dia keliling Jakarta, akhirnya ketemu. Tante udah wanti-wanti supaya Cello jangan bikin ulah lagi. Dia harus balik ke Australia sesuai janji yang udah disepakati,” urai Connie dengan wajah pucat. “Cello udah janji kalau dia nggak akan bikin semua orang kecewa lagi. Tapi nyatanya? Dia malah balik lagi ke Jakarta.”“Tante beneran nggak tau dia sekarang ada di mana?” Amara ingin memastikan.“Nggak tau sama sekali,
Kalimat Amara memeranjatkan Connie. Hilang sudah senyum yang tadi menghiasi bibir perempuan itu dan berganti dengan ekspresi kaget yang memucatkan wajahnya. Connie duduk di kursinya dengan agak terhuyung. Butuh beberapa saat bagi perempuan itu untuk menenangkan diri.Sementara Amara duduk setenang mungkin sambil menatap wajah perempuan yang dulu begitu dihormatinya itu. Amara sendiri tidak tahu dari mana asal keberaniannya mengucapkan kalimat yang bisa dianggap bernada ancaman itu. Mungkin karena gadis itu sudah lelah menjadi korban dan ingin membela dirinya sendiri. Dia tak bisa bergantung pada orang lain meski itu ibunya sendiri.Merry sudah melakukan segalanya yang dia bisa. Namun ternyata Cello masih nekat muncul di depan Amara. Dari obrolan singkat dengan Connie barusan, dia setuju dengan ucapan Sophie. Bahwa tampaknya Connie tak terlalu menganggap serius kejahatan berat yang sudah dilakukan oleh putra kesayangannya.“Mara, kamu mengancam Tante?&rdquo
Amara berjuang untuk tidak langsung merespons dengan frontal meski sebagian kata-kata Connie sudah membuat hati gadis itu terluka. Dia juga berjuang untuk menarik napas panjang demi untuk menenangkan diri. Karena hanya dengan pikir jernih sajalah Amara bisa memberi respons yang sesuai dengan keinginannya. Kali ini, dia bertekad untuk memastikan Connie mengetahui opini Amara sejelas mungkin.“Tante, sekarang saya bisa bicara?” tanya Amara dengan nada datar.“Silakan, Mara.” Connie sempat mengerling ke arah Sophie. “Tante rasa, lebih baik kita ngobrol berdua aja. Itu jauh lebih baik karena ini masalah keluarga.”Amara nyaris tertawa mendengar kata-kata perempuan yang pernah begitu dihormatinya itu. Mengapa baru sekarang Connie mencemaskan kehadiran Sophie? Kenapa tidak sejak awal kedatangan mereka ke bank ini?“Sophie tetap di sini aja, Tante. Karena saya nggak nyembunyiin apa pun di depan dia. Sophie tau semua yang
Setelah meninggalkan kantor Connie, Amara baru menyadari bahwa bahunya mendadak terasa jauh lebih ringan dibanding biasa. Tanpa ragu, dia memberi tahu Sophie tentang perasaannya. Sang sahabat merespons dengan menguraikan dugaan yang ada di kepalanya.“Mungkin karena akhirnya kamu bisa ngomong mewakili diri sendiri secara langsung, Mara. Apalagi, kalau diingat, kata-katamu di depan Tante Connie itu, lumayan pedas. Eits, jangan kira aku merasa kalau kamu kelewatan. Sama sekali nggak. Responsmu tadi udah pas banget. Memang harus dijawab kayak gitu. Aku aja tadi udah gatal pengin komen saking nggak nyangkanya. Kok bisa kasusmu dibilang ‘maksa tidur’, sih? Kenapa bisa nggak ada empatinya gitu sama korban? Padahal sesama cewek,” cerocos Sophie dengan nada tinggi.Amara membenarkan kata-kata Sophie dalam hati. Namun dia menahan diri untuk tak langsung berkomentar. Gadis itu menghela napas terlebih dahulu. Karena di saat yang sama, perbincangannya denga
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih