Rambutnya terbebas indah dengan manik-manik bintang berbagai ukuran. Hal itu dipermanis dengan sesuatu mirip bando bermotif bunga sakura rambat. Warnanya yang putih bersih tampak memimpin rambut hitam legam.
Sayangnya keindahan itu tidak ditunjang dengan raut riang Alice. Perempuan itu tidak bersahabat untuk bernafas dengan korset yang mencengkam. Bergemulai anggun dengan fantovel. Serta berterbit elegan dengan senyum yang membosankan. Ini tidak benar.
Tawa renyah yang seakan mampu melubangi indra pendengaran menusuk jauh ke ulu hati Alice. "Tersenyumlah Putri Alice. Biarkan keindahanmu melemahkan hati Pangeran." Senyum itu tidak pernah redup. Siapa lagi yang berani menertawakan anggota kerajaan kalau bukan pengikut Alice yang satu ini. Kalau saja Alice tidak menjadi tameng beberapa kali di masa lalu. Pasti perempuan di belakangnya ini telah tewas terbakar.
Alice berbalik di posisi dulunya. Saat ini dirinya membel
"Tapi Putri. Seberapa kuatpun kau melindungi dirimu sendiri. Menyelinap dari penjagaan ketat. Kita tidak bisa melupakan jati diri kita, yang hidup berkelompok." Insley mengingatkan lagi. Entah untuk kesekian kali dalam hidup demi keselamatan Alice. Meski pendengar tidak bergeming.Sejujurnya tidak ada pembagian kasta dalam hutan LeNight. Setiap pemimpin kelompok yang menjadi raja atau panutan, itulah yang bertanggung jawab sebagai pembuka jalan. Dan seluruh pengikut tentu harus bergerak seirama dengan rajanya. Tapi sayangnya ada beberapa peraturan yang tidak selaras dengan keinginan Alice. Sampai ia menjadi salah satu yang menyimpang. Andai saja pemikiran Alice yang miring tidak di imbangi kenyataan bahwa dirinya adalah anak raja, tentu ia sudah dibuang dari kelompok atau lebih sadisnya dibakar.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan peraturan kelompok Mercia. Ayahnya sang Raja tentu ingin memperluas kekuasaan dan hubungan kekeluargaan sep
Aturan konyol dalam kelompok. Alice tidak bisa ditunjuk memeragakan apapun. Ini bukan typenya sama sekali.Alice tidak begitu tau siapa leluhurnya terdahulu yang mencetuskan perluasan kekuasaan sampai membuat suatu kerajaan. Yang jelas dahulu sekali Mercia hanya sekumpulan kecil tanpa nama serta dipimpin satu kepala. Tetapi seiring berkembangnya waktu mereka mulai mencetuskan ide untuk pembagian tugas. Memperbanyak kawanan dengan menyatukan beberapa kelompok dari perkawinan. Tujuannya hanya satu, pembagian tugas dengan satu pemimpin satu tujuan. Dengan begitu juga tidak akan ada saingan antar spesies.Tidak ada yang berani menentang peraturan ini. Sekali membuka suara menyimpang maka kau harus membuat kelompok baru, sendirian, yang sesuai dengan pemikiranmu.Sampai sekarang menjadi sebuah kerajaan besar dan Alice menjadi bagian terhebat putri Raja. Ia tidak bergeming kagum. Anehnya ia memiliki sikap dan kelakuan yang
"Dia punya sesuatu. Yang tidak kita miliki. Ini bukan soal cahaya, ini juga soal peratuan," Adolph merendahkan suaranya. Hal itu dilakukan atas dasar memperkecil api yang telah menyekat keduanya sejak awal."Hanya orang-orang konyol yang mampu diperbudak oleh aturan leluhur," gumamnya tanpa menutup-nutupi udara.Dilihatnya Ardolph yang tampak tegas dengan rahang dan mata biru. Alice tau jika ayahnya tersebut akan berteriak masuklah ke kabin dan jalani hukumanmu! Sesuatu yang tidak asing lagi baginya. Alice tidak masalah jika harus dicambuk seratus kali.Tapi kali ini Alice tidak ingin mendebat lagi. Ia akan mencari celah yang lain. Celah untuk mendapat semua informasi."Haruskah pembicaraan ini berlanjut ke topik Ratu?" Suaranya lebih rendah satu ketuk dari sebelumnya. Ia bahkan tidak pernah tau bagaimana rupa seseorang yang melahirkannya. Hanya dari sebingkai lukisan. Yang bahkan berbeda jauh dar
Suara riuh yang terus saja berpindah arah mengelitik telinga Ananta. Diam dalam kehanyutan tanpa tau banyak hal membuat ia seakan terpenjara hebat. Pada akhirnya ketika Ananta sudah cukup lelah dengan bisunya membuka mulut sepersekon tekatup lagi.Ia dengar suara decitan kursi dari arah depan. Dyn duduk memulai duduk santai sembari membuka salah satu buku yang ia bawa dari salah satu ruangan rumah tersebut."Apa yang sedang kau lakukan?""Tentu saja membaca. Hmm," Dyn melirik Ananta sekilas. Sadar akan kenyataan jika lawan bicaranya berbeda dari kebanyakan. Terkadang ia sedikit penasaran mengapa Ananta bisa buta. Tetapi apa pedulinya? "menyelidiki sesuatu.""Cahaya biru laut?" Pertanyaan Ananta menggantung ditempat. Beberapa sekon tanpa jawaban. Ananta beranggapan jelas bahwa itulah yang sedang menjadi fokus Dyn saat ini.Ananta tidak memiliki misi apapun begitu masuk dan menginja
Sesekali meringis ngilu ketika Insley mengobati luka di punggungnya. Menarik nafas dalam yang entah kenapa kamar itu mendadak terasa sesak menurut Alice."Kau bukakan jendelanya dulu!" Alice berujar tidak sabaran. Sedari tadi ia memerintahkan Insley untuk membuka jendela. Tetapi pesuruhnya yang lemot ini tidak memberi respon yang positif."Tidak tuan Putri. Takutnya nanti ada orang yang mengintip. Aku bisa panggilkan yang lain untuk mengipasi," Insley hendak beranjak dari hadapan Alice yang tenggah meringkuk di ranjang sambil tengkurap, tetapi dengan gesit dicekal Alice.Sampai Putri kesayangannya itu menekan anak-anak giginya, "buka jendelanya sekarang juga! Atau kupotong lehermu bersama pria kurang ajar yang mengintipku!" di akhir kalimat Alice berteriak kencang kepada Insley.Tergesa-gesa menghampiri jendela, semilir syahdu udara merasuk secara perlahan. Insley mendekat ke arah Alice lagi, membersihkan
Geraman bintatang buas kembali terdengar makin kencang. Buku yang tadinya berada diatas meja mendadak terpelanting ke tanah bersamaan dengan meja yang di dorong kuat. Menciptakan bunyi keras yang membuat Ananta semakin terkejut.Ada yang aneh di sini. Ananta tidak bisa melihat apapun. Dyn menghilang setelah berujar, "seharusnya aku tau sejak awal!"Dan segalanya digantikan dengan geraman binatang buas. Pikiran Ananta mendadak buntu terserang panik. Ia hanya bisa mundur. Memegang kuat-kuat tongkat penunjuk arahnya sebagai satu-satunya senjata jikalau ada yang menyerangnya.Ananta tau ini hal yang genting dan perlu diwaspadai. Aroma dari tubuhnya menghilang. Ananta bahkan baru tersadar sepersekon yang lalu kalau aroma tanah dan mawar telah lenyap dari tubuhnya. Diganti dengan bau alami keringat manusia.Tidak ada suara jejak kaki, hanya geraman yang semakin keras semakin mendekat. Ananta makin mundur hingga
Serigala yang tadinya bersuara dengung pilu mirip anjing saat kedatangan Alice tersebut entah kenapa Ananta tidak mendengar hewan itu lagi. Kemana perginya.Setelah tragedi Ananta tergeletak tak berdaya dengan kondisi tubuh yang tidak bisa dibilang baik. Alice memboyong pemuda tersebut masuk kembali ke pondok. Duduk rehat di depan pintu yang bertangga. Merasakan udara malam yang dingin mencengkam.Rupanya kejadian di mana Ananta di serang beberapa waktu lalu malam telah larut. Siang atau malam, keduanya sama saja gelap.Suara tepakan kaki dari dalam pondok berangsur mendekat. Memilih duduk beriringan di samping Ananta."Tidak banyak yang tersedia di pondok selain air putih dan buah. Aku menyuruh Dyn ke Kota untuk membeli makanan."Ananta memusatkan telinganya ke arah sumber suara. Bukan nada sesal yang menjadi perhatiannya kali ini. Kata 'kota' yang di sebut Alice, apa itu hanya desa Merci
Derap langkah memasuki pondok secara tergesa. Ananta lebih menajamkan pendengarannya. Memasang sikap waspada diruang tamu yang sebelumnya telah ditata Alice beberapa saat yang lalu.Dan entah karena apa. Alice yang saat ini tengah duduk di depan Ananta berangsur berdiri kemudian berujar, "apa yang terjadi?" Alice menyelidiki seluruh inci tubuh Dyn yang saat ini tidak membawa apapun. Pesanan Alice, membuat perempuan tersebut mengeratkan rahang.Dyn melirik sekilas pada Ananta, sadar akan itu keduanya berangsur menepi setelah Alice berpamitan pada Ananta sebentar. Meninggalkan pemuda itu dalam kebingungan.Ananta ingin berdiri, mendekat kemudian bertanya. Tetapi ia tidak berhak atas apapun. Membiarkan derap langkah keduanya berangsur menjauh keluar rumah. Yang perlu ia waspadai lebih lagi, Ananta tidak bisa percaya pada siapapun.Rasa kantuk yang sepersekon lalu merapat kini ditepis brutal oleh kecemasan. Tengah malam tetapi Ananta tidak juga merehatkan tub
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m