Hari ini Ernest menginap di kediaman Belle bersama pamannya, maksud wanita itu suaminya yang merangkap jadi paman. Guna membantu Belle memenuhi kebutuhan Marlon termasuk makan, minum, juga alat cukur. Bagaimanapun ini semua adalah kesalahannya, Ernest terlalu membatasi Belle agar tak melakukan pekerjaan rumah. Dulu.
Nah! Sekarang, Ernest jadi menyesal, sebab kesalahan beliau si sulung Belle jadi kaku mengurus Marlon. Apalagi kini Belle sudah berbadan dua. Bebannya bertambah hingga sulit bergerak, untung Marlon suami yang penyabar.
Seperti ini ...
"Bell, apa kau melihat dasi kerjaku? Seingatku kemarin aku taruh di meja." Tiba-tiba Marlon menanyakan dasinya, datang menjeda kegiatan Belle di dapur.
"Tidak."
"Bisa kau membantuku mencari?" Lelaki seumuran suami Ernest itu mulai memohon, sementara Belle hanya mendengus.
"Bell ..."
"Tidak, Paman, cari saja sendiri, aku sedang sibuk! Lagipula kau ini pelupa sekali. Kupikir kepalamu juga akan hilang
Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle."Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle
"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh untuk bangkit.Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang. Lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kakinya sendiri terasa kram.Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai. Mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal da
Satu pekan sudah Marlon dan Belle saling berdiaman. Keduanya enggan bicara bahkan melakukan hal masing-masing seperti hidup sendirian meskipun tidur masih seranjang. Belle sama sekali tidak membuka mulut soal apa yang dilihatnya, begitu pula Marlon tetap diam seolah tak ada kejadian.Dia juga tampak masa bodoh dengan kediaman si kecil Belle. Sebagai suami setidaknya Marlon bertanya mengapa sang istri mendadak sariawan?Di ujung ranjang king size Belle duduk, membongkar tas perlengkapan mandi bayi yang baru Rose berikan. Sesekali mencuri pandang ke arah paman Marlon. Beliau terlihat fokus pada layar laptop yang menyala. Jari jemari Marlon juga bergerak cepat mengetik sesuatu, melihat itu Belle jadi merasa sedikit iba."Lihat ayahmu Sayang, dia sudah bekerja satu harian, tapi begitu sampai rumah masih berkutat pada tugas. Menyebalkan bukan?" Sambil mengelus perutnya Belle mengadu pada si buah hati, mengharapkan dukungan.Ketika Marlon menoleh buru-buru Belle be
Semenjak paman Marlon menikahi bibi Candice, di rumahnya sendiri Belle merasa seperti orang lain. Tak ada lagi kenyamanan bahkan selalu terabaikan. Di sini Belle mencoba tidak menyalahi siapa pun. Dia sangat menyayangi dirinya, dan ingin menjadi dewasa. Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari ini? Di depan kedua bola matanya Belle melihat sang suami mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama Candice, lalu mencium keningnya.Belle tersenyum getir, di dalam cermin wajah gadis itu terlihat biasa saja, tapi hatinya memendam luka yang teramat sakit. Hamil besar bukanlah menjadi alasan untuk bertahan. Mungkin, kalau Belle belum mencintai paman Marlon semuanya akan terasa mudah. Tapi sekarang jika dia meninggalkan rumah, itu sama saja membiarkan si ular Candice berkuasa."Hei, selamat pagi." Suara berat paman Marlon tiba-tiba menyapa, Belle menoleh dan tersenyum.Kini lelaki dewasa itu telah berseragam rapi, dengan kemeja formal dikalungi dasi acak-acakkan. Terlihat
Perkiraan dokter meleset, bukan salah perhitungan. Akibat menertawai Candice kemarin pagi, perut Belle jadi mengencang sampai mengalami pendarahan. Untung saja ada paman Marlon dan Rose. Kalau tidak mungkin Belle sudah celaka, atau di alam lain. Cup! Cup! Aaah, sayang, dengan ekspresi gemas Belle mentowel-towel pipi anaknya. Empuk seperti kue bantal, yang direspon dengan teriakkan tangis."Oeek! Oeek!" Spontan Belle membeliak, tentu kalang kabut. Jahitan di perutnya masih basah, maka jika bergerak walau sedikit saja akan sakit."Paman ...." Belle menjerit kencang, sesekali meringis sambil memegangi perut. Ini sungguh sakit sekali.Saat Belle menjerit, sontak tangisan anaknya semakin parah, bahkan terdengar sampai ke ruang tengah. Yang mengakibatkan kuku Candice ketumpahan cat. Suaranya mirip sang nenek, besar dan ngebass. Bikin heboh seisi rumah.Paman Marlon dan si jelek Candice secara bersamaan muncul dengan panik, hal itu membuat kepala Belle panas dingin.
Dengan penuh kelembutan Belle menyuapi William, si anak hanya bisa mengoceh selama makan. Usianya sudah memasuki bulan keempat. Gemas. Kerap kali Belle mencubit pipi bulat anaknya. Senang melihat William tumbuh super aktif. Ternyata memiliki anak tidak buruk bahkan sangat menyenangkan.Ugh, sayang! Mengecup kedua pipi William secara bergantian, Belle tertawa saat melihat lipstiknya menempel pada si kecil."Ululu, anak Mommy, nanti besar jangan nakal yaa," ucap Belle memperingati, seraya mengusap sekitar mulut William dari sisa makanan yang menempel.Saat Belle sedang bermain dengan William, suara bel yang ditekan berulang kali cukup mengusik kuping. Ting tong! Ini sudah untuk kesekian kalinya, namun Candice belum juga bergerak membukakan pintu. Candice ke mana sih? Belle bangkit, mau tak mau membawa William serta. Terkadang jadi ibu rumah tangga memang agak ruwet."Iya, sebentar!" balasnya setengah menjerit. Meski tahu orang di luar tak akan mendengar, dia te
Semakin lama keadaan rumah seperti neraka paling panas bagi Belle. Tidak ada lagi paman Marlon yang penyayang, bertutur kata lembut, dan perhatian. Semenjak salah paham. Ini sudah lebih dari 1x24 jam. Pamannya masih enggan buka mulut meski berkali-kali Belle ajak berbicara. Di saat pulang kerja juga tak menjenguk William, malah mendekati Candice bahkan mereka bersenda gurau.Hal itu membuat hati kecil Belle menjerit, menyalahi diri sendiri. Sebab begitu mudahnya dia jatuh cinta pada lelaki yang tak punya perasaan. Mengumpat. Di sini Belle bagaikan patung yang tak dianggap, Marlon sangat kejam. Dia bebas memperlakukan tak adil. Tapi, tolong ... akui William sebagai anaknya, karena Belle berani bersumpah."Paman," cicit Belle seperti tikus kejepit, demi William, dia memberanikan memanggil. "Bisakah kau menimang William sebentar, daritadi dia menangis, sepertinya putramu merindukan ...""Merindukan dokter Liam, begitu?" Oh, astaga! Belle menggeleng keras, kakinya mele
"Aku benar-benar minta maaf soal kemarin." Liam memohon maaf untuk ke sekian kali. Mungkin tidak begitu penting. Sekadar Basa basi."Lupakan saja!" tandas Marlon dengan nada tegas, lantas angkat kaki tanpa memedulikan reaksi Gloe dan Candice.Lelaki itu sungguh tampak menderita, Liam pikir ini belum seberapa dengan apa yang telah dia lakukan kepada Belle dan William. Tidak ambil pusing Liam pun mengerjakan tugasnya sesuai kesepakatan tanpa menitik beratkan masalah mereka. Memberi nyonya Gloe obat beserta terapi kecil untuk persendian kakinya yang mendadak lumpuh.Gloe tak banyak berbicara sejak kepulangan Marlon, wanita tua itu seakan-akan menyalahkan Belle di atas kesalahan mereka semua. Sementara Candice sibuk dengan cat kukunya, berdandan ala selebgram. Cekikikan di depan kamera ponsel dan yang lebih menjengkelkan Candice tak begitu peduli dengan ibu mertuanya. Hal itu membuat Liam emosi.Bagaimana tidak? Nyonya Gloe terjatuh sementara si menantu melongo, ber
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl
Dengan dagu yang terangkat tinggi Belle menghadap Victoria, tatapannya setajam silet, dan wajahnya yang manis seketika berubah sangar. Inilah wanita murahan yang telah menggoda Paman Marlon, dia pikir Belle takut dengannya. Oh tidak! Sekalipun Belle hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak berpendidikan tinggi, dia termasuk wanita yang cerdas bahkan pemberani.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia jelas bingung dan serba salah, terlebih lagi ini masih dalam kawasan Kantor.Seharusnya, Marlon tidak membawa Belle, tetapi karena istri kecilnya itu memaksa, jadi dia tidak ada pilihan selain mengikuti keinginannya yang aneh."Ayo, tadi katanya ada yang mau diomongin sama Victoria," ujar Belle sambil melipat tangannya di dada, dia mendorong pundak Paman Marlon ke arah Victoria yang syok melihat kehadirannya.Pria itu mengangguk, lalu dia melewati Belle, dan duduk bersebelahan dengan Victoria. "Bagaimana dengan rapat pagi ini, Vic?""Semuanya berjalan baik, Tuan, hanya saja mereka
Mobil hitam milik Marlon berhenti di depan sekolah Internasional yang dipilihnya setahun lalu, King William begitu tampak ceria dan bersemangat, tentu setelah beberapa hari bolos sekolah karena suatu hal. Dengan wajah yang berseri-seri anak kecil itu melompat dari mobil, lalu melambaikan tangannya kepada sang ibu."Kau tidak jadi mengantarnya, Bell?" tanya Paman Marlon dengan bingung, karena Belle tidak kunjung turun menyusul William, bahkan dia malah membalas lambaian tangannya."Tidak jadi.""Loh, kenapa?" Marlon tampak berpikir, dia semakin bingung melihat tingkah Belle yang aneh."Aku ingin ikut ke Kantor bersama, Paman," jawabnya.Untuk seperkian detik Marlon terdiam, dia menatap tajam, lalu menggeleng dengan gusar."Kenapa, tidak boleh ya? Takut ketahuan selingkuh? Atau mungkin malu punya istri yang aneh begini." Belle mengomel seraya memajukan bibirnya yang tipis, terlalu kesal membayangkan berbagai persepsi yang baru saja dilontarkannya.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak
"Ugh, menyebalkan!" Belle mencibir Marlon yang tengah berolahraga di gazebo depan, sedangkan dia baru saja selesai dengan ritual mandinya.Pria memang seperti itu, katanya saja tidak akan melakukan apapun jika si wanita enggan, tetapi yang terjadi Paman Marlon tetap memaksanya untuk bercocok tanam.Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Belle mengamati Paman Marlon yang merenggangkan otot-otot tubuhnya, dia memang kelihatan seksi dan panas di usia yang tidak lagi muda. Mulai dari otot lengan, otot tubuh, sampai otot yang di bawah semua terbentuk dengan sempurna."Bell, kau sudah selesai, Sayang?" tanyanya sesaat mendapati dirinya yang bersandar di ambang pintu.Wanita itu mengangguk, Belle masih berdiam diri tanpa mengubah posisinya sedikitpun. "Sudah, dan aku sangat menyesal karena tidur denganmu tadi malam.""Menyesal atau nagih?" Marlon menyeringai lebar."Menyesal." Dengan wajah yang merah padam Belle membuang muka, dia paling tidak bisa jika Paman Marlon sudah menggodanya.